suhari

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
798.Ibadah Harus Benar

798.Ibadah Harus Benar

Allah Swt ciptakan manusia dengan tujuan yang sangat jelas. Allah Swt tidak sedang bermain-main dengan semua ciptaan-Nya.

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثاً وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mukminun: 115). Semua diciptakan dengan perencanaan yang matang dan tujuan yang sangat jelas. Nabi Muhammad saw menginformasikan betapa matang dan seriusnya Allah Swt dalam merencanakan menciptakan makhluk.

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah mencatat takdir setiap makhluk 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.”(HR. Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash ra). Begitu pula dengan manusia diciptakan Allah Swt dengan tujuan yang sangat jelas,yakni beribadah kepada-Nya.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56).

Menyembah Allah Swt berarti beribadah dengan menjalankan semua perintah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Semua tugas dan bentuk ibadah manusia telah ditentukan Allah Swt lewat utusan-Nya. Allah Swt tidak akan menerima ibadah yang tidak ada dasarnya. Sebaik dan sebanyak apa pun perbuatan yang diniatkan ibadah tapi berdasar hasil kreasi manusia pasti tertolak. Allah Swt hanya akan menerima ibadah jika ditujukan kepada-Nya semata atau ikhlas dan sesuai yang Nabi Muhammad saw contohkan. Selain syarat dan rukun yang ada,ibadah juga membutuhkan beberapa hal sehingga dianggap benar dan ada harapan untuk diterima Allah Swt. Syaikh Abdul Qâdir Al Jîlâny (w.561 H), dalam kitabnya, Al Ghun-yah, juz 1 hal 9 menyatakan bahwa suatu ibadah dikatakan benar jika terpenuhi syarat-syaratnya, dan yang terpenting ada tiga hal; cinta (al hubb) kepada Allah dan Rasul-Nya, takut (al khauf), dan berharap (al raja’) kepada Allah Swt.

Kecintaan kepada Allah Swt akan memurnikan amal ibadah dari kepentingan individu atau kepentingan duniawi. Sebagaimana seorang pecinta akan fokus perhatiannya kepada yang dicintainya. Kecintaan kepada Allah Swt harus diusahakan sedemikian rupa agar bisa merasakan kenikmatan beribadah. Tugas utamanya adalah membangkitkan rasa cinta tersebut. Karena pada dasarnya rasa cinta tersebut telah ada dalam dirinya. Ibnu Taimiyah ra menjelaskan tanda cinta kepada Allah Swt dengan mengatakan.

حَبُّ اللَّهِ وَرَسُولِهِ مَوْجُودٌ فِي قَلْبِ كُلِّ مُؤْمِنٍ لَا يُمْكِنُهُ دَفْعُ ذَلِكَ مِنْ قَلْبِهِ إذَا كَانَ مُؤْمِنًا . وَتَظْهَرُ عَلَامَاتُ حُبِّهِ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ إذَا أَخَذَ أَحَدٌ يَسُبُّ الرَّسُولَ وَيَطْعَنُ عَلَيْهِ أَوْ يَسُبُّ اللَّهَ وَيَذْكُرُهُ بِمَا لَا يَلِيقُ بِهِ . فَالْمُؤْمِنُ يَغْضَبُ لِذَلِكَ أَعْظَمَ مِمَّا يَغْضَبُ لَوْ سُبَّ أَبُوهُ وَأُمُّهُ

“Cinta pada Allah dan Rasul-Nya telah ada dalam hati setiap orang beriman. Tidak mungkin seseorang menghilangkan rasa cinta tersebut jika memang ia adalah orang yang beriman. Tanda cinta pada Allah dan Rasul-Nya begitu nampak jika ada seseorang yang mencela Rasul dan menjelek-jelekkannya, atau ada orang yang mencaci maki Allah atau menyebut tentang Allah dengan sesuatu yang tidak pantas. Maka orang beriman akan benci dengan hal-hal tadi. Kebenciannya tersebut lebih besar dari kebenciannya ketika ayah atau ibunya dicacimaki.” (Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’: 16/343). Kerugian besar bagi yang membuang potensi besar dan menjanjikan tersebut demi keselamatan hidupnya. Ibadah yang tidak disertai rasa cinta menjadi hambar dan terkesan sekedar menggugurkan kewajiban semata. Ibadah semacam ini sangat melelahkan dan menyiksa diri.

Rasa takut kepada Allah Swt dalam beribadah akan menjadikan seseorang tidak takut kepada selain-Nya. Tidak akan berani melakukan aktivitas yang tidak diridhai-Nya baik saat sendirian atau ramai, juga tidak akan pernah peduli dengan celaan para pencela. Rasa takut menjadikan kewaspadaan dan penuh kehati-hatian dalam berbuat. Mufassir As Sa’di ra menyatakan, “Konsekuensi dari orang yang takut pada Allah adalah meninggalkan larangan dan melaksanakan perintah. Itulah yang mendapatkan dua surga. Dua surga itu terdapat bejana, perhiasan, bangunan dan isi lainnya yang terbuat dari emas. Salah satu dari dua surga itu diperuntukkan karena meninggalkan yang diharamkan. Dan surga lainnya diperuntukkan karena melakukan ketaatan yang diperintahkan.” (Tafsir As Sa’di: 880). Dasarnya adalah firman Allah Swt.

وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ

“Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga” (QS. Ar Rahman: 46). Ibnu Katsir ra menyatakan mengenai ayat di atas, “Siapa yang takut pada maqom Rabbnya nanti kelak pada hari kiamat, sehingga ia: menahan hawa nafsu,tidak melampaui batas,tidak mementingkan urusan dunia,tahu bahwa mengejar akhirat itu lebih baik dan akhirat itu kekal,menjalankan kewajiban pada Allah,menjauhi larangan Allah,maka orang seperti itu pada hari kiamat akan dikaruniai dua surga. Dari ‘Abdullah bin Qais, Rasulullah saw bersabda.

جَنَّتَانِ مِنْ فِضَّةٍ ، آنِيَتُهُمَا وَمَا فِيهِمَا وَجَنَّتَانِ مِنْ ذَهَبٍ آنِيَتُهُمَا وَمَا فِيهِمَا ، وَمَا بَيْنَ الْقَوْمِ وَبَيْنَ أَنْ يَنْظُرُوا إِلَى رَبِّهِمْ إِلاَّ رِدَاءُ الْكِبْرِ عَلَى وَجْهِهِ فِى جَنَّةِ عَدْنٍ

Dua surga itu bejana dan apa yang ada di dalamnya dari perak. Dua surga itu bejana dan apa yang ada di dalamnya dari emas. Tidaklah di antara kaum dan di antara mereka melihat Rabb mereka, melainkan ada pakaian sombong di wajah-Nya di surga ‘Aden (yang tetap).” (HR. Bukhari dan Muslim). (Tafsir Ibnu Katsir: 4/344-345).

Sedangkan raja’ (harapan) kepada Allah Swt adalah menginginkan sesuatu yang ada dan pernah dijanjikan Allah swt. Raja’ sangat diperlukan dalam beribadah karena akan menjadikan semangat dan maksimal dalam beraktivitas untuk meraih apa yang dijanjikan untuknya, dengan iman, kecintaan dan rasa takut kepada-Nya. Ibadah menjadi malas dan kurang bergairah jika tidak ada target atau janji Allah swt yang hendak diraihnya. Dalil raja` adalah firman Allah Swt.

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah ia beramal saleh dan tidak menyekutukan dengan suatu apa pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110). Raja’ yang benar adalah dengan melakukan amalan ketaatan kepada Allah Swt dan mengharap pahala dari ketaatan tersebut. Atau dengan bertaubat dari maksiat dan mengharap diterima taubat-Nya. Raja’ harus disertai tindakan (amalan)nyata. Raja’ tanpa amalan jelas salah dan terlarang karena jatuh pada angan-angan yang tercela.

Seorang muslim harus waspada selalu ketika beribadah. Jangan sampai merasa telah memenuhi ketiga kriteria tersebut, mengaku cinta, takut, dan harap kepada Allah Swt, padahal kenyataannya tidak demikian. Seseorang belum dikatakan mencintai Allah Swt kalau hatinya tidak ingin mentaati-Nya, tidak ridha dengan hukum-hukum-Nya, bahkan mencari-cari alasan agar hukum tersebut tidak diterapkan, sebagaimana pernyataan Al-Zujaj (w. 311 H), “Cintanya manusia kepada Allah dan Rasul-Nya adalah menaati keduanya dan ridha terhadap segala perintah Allah dan segala ajaran yang dibawa Rasulullah saw.” Sementara Imam Baidhawi (w. 685 H) berkata, “Cinta adalah keinginan untuk taat”. Begitu pula rasa takut kepada Allah Swt belum dianggap jika berani menentang aturan-aturan Allah Swt dan rasul-Nya, abai terhadap amanah yang dibebankan, atau lebih takut kepada makhluk dari pada kepada-Nya. Seseorang belum bisa dikatakan berharap (raja’) kepada Allah Swt kalau tidak dibarengi dengan kesungguhan beramal baik, harapan tanpa disertai dengan usaha hanya pantas disebut sebagai angan-angan (amâni). Berkata Imam al Hasan al Bashri (w. 110 H): “Diantara manusia ada golongan yang mereka terbuai dengan angan-angan (akan mendapat ampunan) hingga akhirnya mereka keluar dari dunia tanpa membawa kebaikan. Salah seorang diantara mereka berkata: “aku telah berprasangka baik terhadap tuhanku”, dia berdusta! jika memang dia telah berprasangka baik tentunya dia juga akan beramal baik, kemudian dia membaca ayat ke 23 surat Fushshilat:

وَذَلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap Tuhanmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Tafsir Al Qurthubi, juz 15 hal 353). Semoga semua ibadah kita benar dan Allah Swt terima. Amin []

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen ulasannya, Pak. Salam literasi

21 Apr
Balas

Trims,Pak Dede. Salam literasi

23 Apr

Trims,Pak Dede. Salam literasi

23 Apr

Mantap ulasannya keren

21 Apr
Balas

Trims,Bu Rismalasari

23 Apr

Alhamdulillaah, keren mantap tulisannya, barakah puasanya, sehat dan sukses Pak Suhari

21 Apr
Balas

Trism,Bu Zuyyinah. Amin. Semoga Ibu juga demikian. Amin

23 Apr



search

New Post