Cita-Cita Setinggi Tanah, Usaha Setinggi Langit
“Benar, Bu. Cita-cita saya ingin makan di restoran Padang,” jawab Agus ketika gurunya mengonfirmasi cita-citanya.
Sebelumnya, semua murid menyebutkan cita-citanya. Jono ingin jadi tentara. Setiap tahun, dia berambisi menjadi ketua kelas. Puji ingin membahagiakan orang lain. Sri, didukung ibunya, maunya menjadi artis. Bahkan, dia hanya mau dipanggil “Mey”, sebab, panggilan "Sri” tidak keren menurutnya. Hanya Agus yang cita-citanya nyeleneh: makan di restoran Padang.
Tentu saja itu jadi bahan tertawaan. Bagi Agus, cita-cita yang dia sampaikan itu bukan gurauan. Itu muncul dari keinginan yang sangat dalam.
Ayah Agus bekerja di pabrik tahu, sedangkan ibunya adalah pembuat tahu bacem terenak di daerahnya. Setiap hari, Agus makan dengan tahu bacem. Sarapan, makan siang, makan malam, semuanya ditemani tahu bacem. Meski tahu bacem terenak, Agus bosen juga makan setiap hari. Dia ingin mencicipi makanan yang lain. Agus ingin makan masakan Padang yang kata orang sangat lezat.
Ternyata, bukan sekadar menyebutkan cita-cita. Bu Guru memberi tugas membuat karangan tentang cita-cita yang ingin dicapai. Waktu untuk mengerjakan tugas ini adalah tiga minggu.
Bagi Agus, ini jadi sebuah masalah. Bagaimana dia mau menulis tentang makan di restoran Padang kalau belum pernah mengalaminya? Mengajak orang tuanya makan di restoran Padang? Itu juga jauh panggang dari api. Bagaikan pungguk merindukan bulan. Pasti akhirnya bertepuk sebelah tangan.
Namun, Agus maju terus, pantang mundur. Dia memutar otak supaya bisa makan di restoran padang. Nah, di sinilah keunggulan cita-cita Agus. Saat teman-temannya masih berangan-angan, Agus sudah melakukan usaha untuk mencapai cita-citanya.
Agus rela mengorbankan waktu bermainnya untuk mendapatkan uang. Dia mencari keong, kemudian menjualnya. Agus juga menjadi pengantar tahu dan ayam potong. Agus tidak jajan dan membeli mainan. Semua uangnya ditabung. Untuk tempat menabung, dia meminta bantuan Puji memotong bambu.
“Oalah, Gus. Mbok bilang kalau mau bikin celengan. Kok ndak beli saja?” tanya Puji setelah tahu tujuan Agus memotong bambu.
“Kalau buat beli celengan, uangku berkurang,” jawab Agus.
Apa yang dilakukan Agus membuatnya mendapat banyak pengalaman dan pelajaran. Dia belajar berinteraksi dengan orang lain, bekerja keras, mempunyai visi, memecahkan masalah, dan melihat peluang.
Yah, begitulah. Jadi, apa yang akan Anda lakukan setelah anak atau murid menyatakan cita-citanya?
Cita-Cita Setinggi Tanah layak menjadi tontonan keluarga.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen ulasannya, Pak. Salam literasi
Terima kasih. Salam.
Tulisannya selalu bagus, terus terang saya banyak belajar dari bapak. Terima kasih...
Luar biasa. Duh, sy banyak lewat film-film bagus.
Hehehe... Masih bisa hunting
Keren mantap selalu..salam hormat Pak dari saya
Keren mantap selalu..salam hormat Pak dari saya
Terima kasih, Bu. Saya sangat tersanjung
Keren dan luar biasa. Dari hal sederhana memberi pembelajaran bermakna. Terima kasih atas ilmunya, Pak.
Terima kasih juga, Bu
Sangat menginspirasi.
Terima kasih
Kereeen...seperti sederhana tapi menginspirasi n real.
Terima kasih
Keren dan sangat menginspirasi pak
Terima kasih
Saya suka kalimat "bagi agus citanya bukan sekedar gurauan,...."Memberi nasehat tersirat kepada kami... bagaimana memberi inspirasi buat anak untuk berani mengungkapkan ide terdalamnya. Terima kasih pak