Gadis gadis kecil itu bernama Eny, Evi, Rumiyati, Sulastri, dan supiyah. Seperti biasanya setelah pulang sekolah, ganti baju solat duhur terus berkumpul bersama untuk bermain. Bermain dakon, gejlik, loncat tali, entik (lempar kayu), gatheng, kelereng, dan bag sodor, yang merupakan permainan khas waktu itu.

Desa karanganyar, kecamatan Wates, kabupaten Kediri adalah tempat tinggal kami, desa yang asri yang terletak 15 km sebelah barat lereng gunung Kelud. Di sebelah timur pojok desa terdapat sumber air yang airnya selalu mengalir jernih mengairi persawahan yang membentang hijau dengan aneka ragam tanamannya.

Penduduk desa yang lugu penuh dengan suasana kekeluargaan dan kebersamaan, ditambah Kondisi tanah berpasir hadiah dari letusan gunung Kelud, menjadikan sumur sumur desa sumber airnya sangat jernih. Dengan tanah pertanian yang subur. Daerahku Terkenal sebagai penghasil nanas, papaya, dan tebu. Usia rata rata penduduknya mencapai 80 tahun. Di bawah usia itu mereka masih tampak muda dan energik. Mereka masih aktif bekerja di lahan pertanian.

Setiap hari kami bermain dengan kompak dan riang, khas anak anak si bolang di perkampungan, bermain menyatu dengan alam dengan alat bermain seadanya, saling menghargai, saling berbagi dan bercanda ria bersama. Karakter kamipun dibentuk dengan suasana desa yang hangat, bersahabat dan bersahaja.

Sore itu kami bersama sama berangkat mengaji di sekolah madrasah, membawa buku iqro, memakai baju muslim, sandal dan beberapa perlengkapan lainnya. Disamping kiri madrasah terdapat masjid besar, yang di depannya terdapat bedung yang sudah berusia 100 tahun, ditabuh meriah menjelang jumatan dan takbiran pada saat takbir hari raya Idul Fitri. Menjadikan suasana Idul fitri di desa kami berbeda dengan tempat lainnya. Di sekeliling masjid dan madrasah banyak tertanam pohon sawo kecik dan pohon kersen yang membuat asri dan rindang.

Baru sampai di kelas. Mendadak si Rina tomboy dating. “Ayoo..cari kersen !” kulirik jam dinding masih jam 15.15, biasanya kami masuk jam 15.30. Seketika Anak anak berlarian mengikuti Rina dengan semangat. “Nunggu ustad masih lama!” Teriak Rina lagi. Gadis gadis itu pun mulai naik pohon kersen satu persatu, sebentar kemudian bergelantungan memetik buah kersen dan menikmati buah kersen masak yang manis di atas pohon.

Tiba tiba Rumy yang tidak ikut memanjat pohon berteriak. “Ustad zainuri dating…!” Kamipun mulai panic dan bersiap siap untuk turun. Semua sudah turun, Tiba tiba terdengar suara Rina dari atas pohon kencang kencang “Tolooong aku ndak bisa turun!” Semua menoleh kearah rina yang cukup tinggi berada di atas pohon. Kamipun panik. Rina tinggi sekali naiknya. Ustad Zainuri yang baru datang pun ikut panik. Lalu ustad langsung berlari di samping bangunan madrasah mengambil tangga, agak tenang rasanya. Lalu tangga itu disandarkan di pohon kersen, naik dan menuntun Rina untuk turun pelan pelan. “Antara gemes dan kasihan, Supiyah kemudian berkata, “Lain kali kalau naik kersen jangan tinggi tinggi Rin!”sambil tertawa, kamipun tertawa bersama sama.

Peristiwa itu tidak pernah kami lupakan sampai akhirnya kami kerja di luar kota, Membuat kami saling tertawa kalau bertemu. Peristiwa masa kecil yang membuat kami selalu rindu dengan kampung halaman. Pohon kersen itu kini sudah tidak ada tetapi tetap tertanam di hati kami. “Pohon kersen pengikat hati, mudah mudahan menghibur.