Sulistiana

Saya Sulistiana guru Bk di SMA N 1 Kebomas Gresik. Salam Kenal ...

Selengkapnya
Navigasi Web

DI MANA IBUNYA? (9)

Saat tidak memiliki penilaian buruk pada seseorang, separuh kesabaran telah dimiliki.

Aku selalu bertahan untuk berlaku demikian.

Telah memanggilnya dua kali. Dua kali pula tidak menemuiku. Gelisah. Takut dengan batas kesabaran diri sendiri.

"Kenapa tidak dijemput saja ke kelas?" tanya Bu Wita yang akan memasuki kelas Ilyasar, saat aku berkeluh kesah.

"Hanya ingin menjaga harga diri di depan teman-temannya saja, Bu. Biar tidak terkesan penjemputan kriminal seperti di sinetron gitu," kataku menjelaskan situasinya.

Saat ini Ilyasar sedang menjadi perhatian karena kebiasaan buruknya. Sudah menjadi rahasia umum bagi guru dan siswa, aku fokus meneliti datanya. Jika khusus melakukan penjemputan, khawatir sekelas akan menyorakinya. Aku tak ingin mentalnya lebih dahulu menjadi down. Tak baik untuk suatu layanan bantuan.

"Aku akan melihat dari jauh saat siswa izin keluar dari kelas. Melihat kemana dia menuju," lanjutku menerangkan. Bu Wita berdiri, bersiap masuk kelas.

"Baiklah. Semoga beruntung kali ini," balasnya sambil tersenyum lucu. Aku memberi tanda oke dengan menautkan jari telunjuk dan jempol membentuk lingkaran kecil.

Tak lama kemudian terdengar bunyi sepatu Bu Wita menjauhi ruang guru.

Tok!

Tok!

Tok!

Tok!

Sol sepatu kulitnya berirama tak tergesa.

Dengan berdebar mataku terus tertuju pada kelas XII MIPA-2, di mana siswa belajar. Jantungku berdebar kencang seolah menunggu pengumuman undian berhadiah yang sangat diharapkan.

Tak berapa lama bayang Ilyasar ke luar dari kelas. Seorang anak lelaki tinggi kurus. Dari jauh badannya laksana boneka kayu. Dia berjalan dengan santainya. Aku terus memandangnya dari kejauhan.

Siswa tampak melewati kelas, dan berjalan menuju ruangan kerjaku. Tampak berhenti sejenak depan pintu. Tapi.., hup! Dia tidak memasukinya. Melainkan lurus ke arah kantin. Ruang kerjaku bersebelahan dengan ruang kantin sekolah.

Aku menahan hati.

5 menit!

7 menit!

Diri

mulai

ge-li-sah!

Hendak menjemputnya ke kantin. Tetiba terlihat bayangnya menuju ruanganku. Secepat kilat aku setengah berlari menuju ruang BK.

"Assalamualaikum...," sapaku ringan.

Ilyasar telah duduk di depan meja kerjaku. Sesaat aku muncul, dia berdiri menyongsong dan mengulurkan tangan. Salim. Sejenak aku menatapnya sambil mengatur napas untuk menata intonasi.

"Dari kelas?" pancingku.

"Tidak, Bu. Saya ke kantin sebentar. Beli gorengan. Saat sampai ruang BK, Ibu tampak tidak ada. Saya gunakan ke kantin sebentar beli gorengan. Maaf!" jawabnya.

Wajahnya menatapku dengan ekspresi datar. Aku tidak dapat menggambarkan rasa di baliknya. Wajah yang datar tanpa senyum tetapi sopan. Wajah yang jauh dari kesan hangat, tetapi tidak dingin. Aku menunduk. Bingung dengan kesan pertama.

/Heeeem, dia menjawab dengan jujur. Kejujuran adalah sebuah kebaikan. Jadi apa yang membuatnya dua kali tidak datang menemuiku?/

"Panggilan yang pertama saya datang, Bu. Saat itu Ibu sedang ada tamu. Saya menunggu di masjid. Tapi ketiduran!" jelasnya saat kutanyakan alasan tidak menemuiku saat panggilan pertama.

"Panggilankedua, saya melihat Ibu sedang bercakap-cakap dengan bapak kepala sekolah. Jadi saya kembali ke kelas. Kalau menunggu di masjid, takut tertidur lagi," jawabnya dengan tatap mata lurus padaku. Sejenak aku merenungkan alasannya yang masuk akal.

"Baiklah, terimakasih atas kejujuranmu. Saya menghargainya!" pujiku sebagai rewardnya. Otakku memerintahkan itu.

Memang benar, terkadang prasangka dapat mengaburkan sebuah fakta. Dan membuat jarak. Pertemuan pertama itu sekedar perkenalan agar siswa merasa nyaman dengan keberadaanku. Selain juga sebagai klarifikasi data yang ada dalam buku pribadinya.

"Bab absensi adalah yang sebenarnya, Bu. Papa saya bisa dipanggil. Itu tanda tangan Papa. Saat tidak masuk tanpa keterangan itu karena terlambat. Saya memutuskan tidak masuk dan bermain game di warnet....,"

Aku mendengar semua uraiannya dengan seksama.Matanya menyorot tenang meski tampak hampa. Bibirnya tanpa senyum, tak ada gelisah dalam sikap duduknya.

"Sedang informasi untuk buku pribadi belum saya lengkapi menunggu papa senggang. Ternyata menjadi lupa," urainya tentang banyaknya lembar pertanyaan yang dilewatkan. Aku merasa dia lebih menyebut Papa daripada Mama. Satu hal yang tidak biasa.

Aku ingin bertanya tentang diberi izin ke koperasi tetapi tidak kembali ke kelas. Tapi segera kuurungkan. Tidak ingin dia menilai itu sebagai laporan negative. Biarlah kapan-kapan kutanyakan saat hubungan kami terasa lebih dekat. Saat ini siswa baru mengenalku meski dia tahu Aku sebagai gurunya. Buku pribadi aku ulurkan untuk kembali dilengkapi.

Esoknya, tanpa diminta Papanya datang menemuiku sambil menyerahkan Buku Pribadi Siswa. Tentu saja aku kaget. Kehadirannya tanpa Aku undang.

Aku mendapati sesosok lelaki elegan. Bahkan tampak tampan di mataku. Setinggi suami dengan senyum yang hangat. Tampak kharismatik, membuatku sedikit jengah.

"Selamat pagi, Bu. Dengan Bu Ika, ya. Saya Papanya Ilyasar," salamnya saat menghadapku. Suaranya berat dan bahasanya tenang. Sikapnya rileks. Berbeda dengan walimurid lain yang seringkali canggung jika menemui guru anaknya. Apalagi guru BK.

"Monggo, Pak. Silakan duduk. Saya benar Bu Ika. Guru BK Ilyasar di kelas tiga," sahutku memberi penjelasan.

"Maaf jika anak saya telah merepotkan Bu, Ika" ujarnya berbasah-basi.

"Saya bahkan belum merasa mengundang secara resmi, Pak. Terimakasih sekali atas dukungannya," sahutku mengimbangi. Papa Ilyasar mengangguk ramah. Senyum selalu tersungging di wajahnya.

"Semalam anak saya menyampaikan telah diminta datang ke ruang Bk. Dia sudah bercerita semuanya. Tentang Buku Pribadi yang tidak diisi dengan lengkap, juga tentang absensi. Jadi tidak ada salahnya saya menyempatkan diri menemui lebih dahulu. Kebetulan juga sedang sedikit longgar, Bu," jelasnya tentang kehadirannya.

"Jadi maaf jika mengejutkan. Dengan cara ini Saya memang harus mengenalkan diri." Lanjutnya.

Aku menemukan sosok yang jauh dari kepribadian sang anak. Ramah, hangat, rileks dan menyenangkan.

Aku bercerita panjang lebar tentang Ilyasar di sekolah. Tentang kebiasaan pinjam tidak dikembalikan. Pergaulannya yang terbatas. Ngegame saat pembelajaran, dan lain sebagainya.Tapi belum menyinggung bab suka misuh di sekolah.

Saat menyampaikan semuanya, beliau tampak merenung panjang. Sesekali kepalanya mengangguk lirih.

"Mungkin putra bapak perlu dilengkapi dengan peralatan belajar manual." Papa Ilyasar mengangguk kuat-kuat.

"Pasti, Bu. Segera Saya laksanakan," sahutnya tegas.

Sesaat beliau berpamitan. Tanpa sengaja aku menatap lekat matanya saat berpamitan. Dalam ekspresi tanpa senyum aku melihat sepasang mata yang tidak bahagia. Aku menyimpan temuan itu dengan hati-hati.

Esoknya, Ilyasar membagi peralatan sekolah pada seluruh siswa di kelas. Setiap anak diberi satu paket alat tulis yang terdiri dari balpoin, penggaris dan stipo.Teman-temanya bersorak riuh rendah.

"Sering-sering aja Bu orangtuanya dipanggil. Siapa tahu besok kita bisa dapat angpaw," salah satu temannya berujar.

Aku hanya tersenyum tipis. Kulihat Ilyasar tak berekpresi sebagai biasa. Wajahnya sama seperti kemarin, datar. Mata itu juga tampak murung.

Aku jadi berpikir. Mengapa yang datang adalah Papanya. Biasanya seorang laki-laki sangat enggan datang ke sekolah terkait kasus putranya. Ibu yang biasa datang, jika aku butuh bertemu dengan pihak orang tua.

Di mana ibunya?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post