Sulistiana

Saya Sulistiana guru Bk di SMA N 1 Kebomas Gresik. Salam Kenal ...

Selengkapnya
Navigasi Web
IDENTIFIKASI KASUS

IDENTIFIKASI KASUS

Setiap anak yang terlahir, tidak serta merta membawa masalah pada dirinya.

Sebagai digagas oleh teori tabula rasa. Manusia terlahir dalam keadaan bersih. 

 Segala sumber pengetahuan diperoleh sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat indranya terhadap dunia di luar dirinya.

"Begitu bunyi teorinya, demikian pula dengan keberadaan Ilyasar,"  jawabku pada guru lain yang menanyakan kelangsungan Ilyasar di sekolah.

"Berarti semua siswa juga begitu, dong!" Aku mengangguk pasti,  menyadari bahwa genderang perbedaan sedang dimulai.

"Bagaimana jika dikaitkan dengan Tatib sekolah, Bu?" Aku menarik napas sebelum menjawab. Aku harus mampu mengendalikan diri saat konsistensi dipertanyakan.

"Tetap menjadi landasan dalam mengambil keputusan keberlangsungan belajar siswa, Bu. Tetapi tidak secara serta merta. Mempertimbangkan bagaimana masalah itu muncul, melihat sejauh mana siswa berupaya memperbaikinya, bagaimana orang tua mensuport, dan juga suport dari sekolah."

"Lama dong, Bu, kalau begitu prosesnya?"

"Sedikit lebih lama memang iya, tetapi tidak akan dihantui perasaan bersalah dan menyesal."

"Maksudnya?"

"Human eror itu manusiawi jika tahap-tahapnya dilakukan dengan benar dan bisa dipertanggung jawabkan." Sejenak aku menghentikan penjelasan.

"Prinsipnya, jangan sampai kita merasa bersalah karena tergesa memutuskan. Ini berkaitan dengan mental anak ke depannya. Jika semua upaya telah dilakukan dan tidak berhasil, orang tua juga harus mengikhlaskannya." Aku menatap penuh harap untuk kesediaan dukungan.

"Tentu saja semua tetap bergantung kepada Bapak Kepala Sekolah, Bu. Pada kesepakatan bersama saat diadakan gelar studi kasus," pungkasku.

Kulihat kasus Ilyasar menggelinding dengan cepat dan makin membesar. Permasalahan paling utama adalah motivasi belajar, didukung karakter misuhan yang meresahkan bagi guru. Aku harus secepatnya membuat profil untuk digelar studi kasus. 

"Apa ada perkembangan baru tentang Ilyasar, Bu? Di ruang guru ramai membicarakan kasusnya." Tanya Pak Il sesaat aku selesai berdiskusi dengan guru mata pelajaran.

"Saya tidak semata-mata mempertahankan siswa, Pak. Penggalian informasi masih terus dilakukan.  Setelah saya rekap dalam profil siswa, studi kasus digelar. Biarlah rapat yang menentukan berdasar data yang ada," jawabku menjelaskan.

Aku menyadari peliknya kasus Ilyasar. Biasanya siswa yang aku kondisikan untuk berubah. Akan tetapi, sehubungan dengan kasus Ilyasar, orang tua yang paling utama harus berubah. Maukah Bu dokter melakukannya? Itu kunci awal bagi motivasi belajar Ilyasar. Ilyasar belum memiliki jati diri akan keberadaannya di dalam keluarga.

"Sudah menemukan latar belakang orang tuanya, ya?" tanya Pak Il saat melihatku lebih berhati-hati dalam berpendapat. 

Aku menimbang sebentar,  Pak Il berhak mengetahui latar belakang Ilyasar karena wali kelasnya. Jika aku menceritakan semua informasi yang ada, siapa tahu memiliki ide yang tak terpikirkan olehku. Berbekal pendapat itu, kuceritakan apa yang sudah aku ketahui dari sopir pribadinya.

"Astagjfirullahal adzim! Bisa begitu ya, Bu dokter? Dia  cantik dan tampak lembut. Mriyayeni begitu," ujar Pak Il tak mampu menutupi keterkejutan

"Pak Il mengenalnya?"

"Tidak! Hanya sempat melihat turun dari mobil bersama Pak dokter saat mengembalikan berkas. Memang yang tampak ngurus semua Pak dokter. Sebelum akhirnya sang sopir  yang melanjutkan."

Kami sejenak terdiam. Aku memikirkan apa yang disampaikan oleh Pak Il. Seorang wanita berkelas dengan keturunan mulia, tapi dapat melakukan hal yang tidak dapat  dinalar. Dalam hal ini, siapa yang sakit dan butuh pertolongan? Ilyasar atau istri Pak dokter? Aku menggeleng-geleng sendiri.

"Rumit ya bu?" Pak Ilham menerka arti gelengan kepalaku.  Aku tersenyum. Tak hendak menjelaskan yang ada di pikiranku terkait tentang Ilyasar dan Istri Pak dokter.

"Terus bagaimana langkah selanjutnya, Bu?" tanya pak Il.

"Masih ingin mengembalikannya pada orangtua?" godaku.

"Jangan begitulah, Bu. Oke, saya salah. Tidak melakukan  rekam jejak masa lalu."  Diam  sejenak. "Tapi tentang perilaku Bu dokter, itu sudah bukan kapasitas BK, Bu. Sepertinya Istri Pak dokter itu sakit!"

Jedar!!!

Aku terkejut dengan pendapat Pak Il yang mampu berpikir taktis terkat kaus Ilyasar.. Dapat melihat alur suatu masalah. Berdiskusi dengan orang seperti itu sangat membantu tugasku.

"Harusnya Pak Il jadi guru BK, deh!" Gurauku.Kami berdua tergelak sebelum mulai kujabarkan rencanaku.

"Langkah pertama nih Pak, kembali memanggil siswa. Semoga pada panggilan kali ini siswa berani membuka diri." Aku menjabarkan rencana layanan.

"Kemudian panggilan orangtua dan  home visit untuk bertemu dengan Bu dokter," pungkasku mengakhiri.

"Hiiiii...," sela Pak Il tetiba. "Saya kok tiba-tiba berpikir tentang kepribadian ganda ya, Bu?" lanjutnya sok tahu.

"Ah, Bapak bisa aja. Lagi pula kata Pak Il itu bukan rana BK.  Maksud saya, kita hanya urus siswa!"

"Good! Emang Bu Ika jempolan dalam membuat konsep layanan!" Aku tertawa dengan pujiannya.

"Maksudku, biar arah kita gak kemana-mana gitu, Pak." Jelasku.

"Iya, sudah benar itu."

"Yang pelik adalah menyampaikan hal  sebenarnya kepada Pak dokter. Menyampaikan bahwa anaknya suka misuh dan mencaritahu apakah di rumah juga demikian," kataku sambil menerawang.

Tidak sekali aku melakukan panggilan orang tua dan kegiatan home visit. Setiap melakukannya seolah sedang meneliti raport polah asuh orang tua. Hal itu tidaklah muda, apalagi dengan orang tua sekelas dokter.

"Bu Ika merasa tidak enak, ya?" tanya Pak Il saat melihatku merenung. Aku tidak segera menjawab, tapi memang merasa demikian.

"Hanya merasa sungkan saja."

"Iya, saya paham hal itu, Bu. Mungkin kita mulai dengan menyampaikan fakta skor pelanggaran siswa. Kita lihat inisiatifnya untuk terbuka. Jadi tidak terkesan mempermalukan," usul Pak Il, dan itu membuatku gembira.

"Wah, Pak Il luar biasa idenya. Terimakasih, ya?" seruku gembira.

"Sama-sama, Bu Ika. Baiklah, semua sudah kita rencanakan. Saya ngajar dulu, Bu!" Kata Pak Il sambil beranjak menuju kelas. 

"Asiaaap," timpalku bagai bahasa siswa.

Akan tetapi, belum  mencapai pintu ke luar beberapa anak bergerombol menuju ke arahku.

"Ada apa ini?" tanya pak Il.

"Ilyasar mencuri, Pak. Ditemukan HP milik Nina yang hilang, ada dalam tasnya!" jawab Edo, ketua kelas.

Pak Il tidak jadi ke luar. Dia menoleh dan menujuku.

"Tolong tangani dulu ya, Bu. Saya mengajar dulu. Sepertinya kasusnya bakal bertambah. Yang sabar,   ini ujian," ujarnya lirih menyemangatiku.

Aku tak mampu menjawab. Belum selesai lelah berdiskusi, menyusul kasus baru dari siswa yang sama. Aku harus mampu menekan egoku.

Jika ada salah satu organ tubuh yang sakit, menjadi rentan bagi organ tubuh yang lain. Apakah demikian pula dengan kepribadian?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

mantap, keren bu cerpennya mengedukasi. Semangat dan salam literasi, saya foolow ya bu, nanti follow balik ya

23 Nov
Balas

Terimakasih...saya jg telah follow balik...smg bisa mjd teman di jalan allah...aamiin..

23 Nov



search

New Post