Sulistiana

Saya Sulistiana guru Bk di SMA N 1 Kebomas Gresik. Salam Kenal ...

Selengkapnya
Navigasi Web

RUMAH IMPIAN (6)

Setiap anak membutuhkan rumah dalam hidupnya. Tetapi tidak semua anak memiliki rumah sebagai yang diimpikan.

Aku sudah mencatat nama Ilyasar sebagai prioritas layanan. Tapi aku butuh datanya saat siswa duduk di kelas X dan XI. Ilyasar menjadi siswa tanggung jawabku saat duduk di kelas XII. Di sekolahku, setiap tahun kelas selalu di acak. Sehingga isi kelas selalu di setiap naik kelas.

"Apakah dulu waktu remaja SMA, kau juga suka misuh?. Apa lelaki muda biasa melakukannya?" tanyaku pada suami. Aku senang berbicara tentang pekerjaan bersamanya. Mudah sekali dia mengenali masalahku dan memberikan solusinya.

"Senang juga. Saat sedang gembira juga saat sedang marah." Jawabnya sambil mengerling lucu. Setiap melihat matanya aku senantiasa merasa rileks. Sepasang mata jenaka yang mampu mengimbangi kepribadianku yang cenderung serius.

"Kok bisa begitu. Itu kan dua sisi yang berbalik."

"Iya. Laki-laki memang begitu. Saat dia di puncak amarah pasti akan misuh. Demikian pula, saat gembira bertemu sahabat lama. Juga akan misuh!"

"Bagaimana rasanya setelah misuh?"

"Los! Saat aku mendapatkanmu, juga misuh!"

"Gak lucu!" sungutku mendengar godaannya.

"Hahahaha." Lepas tawa suami. Aku tahu arti tawa itu. Pasti aku tampak terlalu serius di depannya. Dari pacaran suami suka sekali menggoda jika aku terlihat terlalu serius dalam sesuatu hal.

"Menghadapi siswa laki-laki kau harus pake otak kanan. Yang misuh siswa laki, kan? Itu hal biasa," ungkap suami setelah puas menertawakan sikapku yang tampak serius di matanya.

Sejenak pandanganku berpindah di luar rumah. Dari teras tempat kami duduk, tampak hujan masih menyisahkan gerimis. Ngreceh. Hujan turun seharian. Udara menjadi dingin. Anginnya menusuk tulang sum-sum.

"Tapi yang laporan guru laki. Aku bahkan belum mengenal anaknya." Sahutku setelah yang kucari belum tampak.

"Oh ya? Kalau begitu memang sebuah kasus," sergah suami mulai serius.

Kembali Aku melepas pandangan ke jalan raya di depan rumah. Menengok ke kiri dan kanan saat jam dinding di ruang tamu berdentang sembilan kali. Hari semakin malam. Perlahan perasaan gelisah mulai muncul. Ini penyakit bawaan. Selalu khawatir.

"Assalamualaikum," kudengar suara yang membuatku resah. Aku menyambutnya serentak. Lega seketika. Mengulurkan tangan dan meraihnya dalam pelukan.

"Malam sekali?" tanyaku pada putra sulungku yang sudah duduk di bangku SMP kelas 3. Perjakaku!

"Sekalian nunggu hujan. Mama khawatir ya? Aku kan sudah besar. Sudah lebih tinggi dari Mama juga," jawab anakku ringan sambil berdiri tegak. Tingginya telah melampauiku. Anakku seperti suami. Tinggi dan berkulit sawo matang. Tapi kepribadiannya lebih condong sepertiku; serius. Dia sudah tidak suka jika aku selalu mengkhawatirkannya.

Beriringan kami semua masuk rumah. Pembicaraan tentang perilaku misuh menjadi terlupakan. Aku menemani anakku makan dan melayaninya. Dia makan dengan cepat dan lahap tanpa menimbulkan suara. Persis aku!

"Sikapmu padanya pasti tak akan membuatnya ingin misuh. Dalam keadaan marah sekalipun. Karena kau tidak pernah memberinya contoh demikian," ujar suami yang menyusulku ke ruang makan. Segera kutawarkan secangkir kopi. Kami duduk berhadapan dengan masing-masing kopi di hadapan. Anakku sudah menyelesaikan makannya dan berlalu menuju kamar.

"Maksudnya?" tanyaku kembali teringat diskusi yang terpotong.

"Misuh itu bagian dari budaya dan pembelajaran," jawab suami. Kali ini dia tampak serius.

"Dikatakan budaya jika terkait darimana anak berasal dan misuh dalam porsi yang seharusnya. Menjadi pembelajaran jika hal itu yang dilihat serta didengar anak," terang suami. Layaknya seorang profesor yang berceramah, aku tak ingin tertinggal bahkan satu kata sekalipun.

Saat suami serius aku melihat dia menjadi diriku. Tapi saat dia menggodaku, aku tak melihat diriku pada kepribadiannya. Kami memang dua pribadi yang berbeda. Tapi suami pandai menyatukan perbedaan itu. Kejenakaannya seringkali mampu mencairkan keseriusanku.

"Aku juga berpikir begitu. Tapi mungkinkah seorang berpendidikan tinggi lengah memberikan lingkungan bagi masa perkembangan anak?"

Rumah adalah madrasah pertama bagi anak.

Begitu sering aku dengar. Tapi Aku lebih suka menyebutnya rumah adalah padepokan bagi anak. Di mana anak tidak hanya tinggal dan belajar. Tetapi secara khusus anak juga digembleng ilmu tertentu yang mendasari ilmu selanjutnya, suatu saat nanti.

Apakah Ilyasar tidak memiliki padepokan itu?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post