Sulistiyo

Saya seorang Guru Garis Depan (GGD) yang ditempatkan di Pedalaman Sumba Timur NTT...

Selengkapnya
Navigasi Web
MENEMBUS BELANTARA SUMBA (Selesai)
Pelita

MENEMBUS BELANTARA SUMBA (Selesai)

Waktu menunjukkan pukul 16.00 WITA. Tiba-tiba ada seorang pria muda menyambangi kami.

“Selamat sore pak guru, ini pak guru baru?” sapanya kepada kami.

“Iya bapak, kami guru GGD di SMP” jawab kami

“Aduh…jangan marah pak guru, saya ada cari makanan kambing di belakang, saya pak Adi” jawabnya sembari meminta maaf kepada kami.

Rupanya beliau adalah pak Adi. Guru honorer di SMP Umandundu yang diberi amanah oleh kepala sekolah untuk menyambut kami. Beliau tak tau kami sudah datang karena mengambil makanan kambing di kebun belakang rumahnya. Pak Adi kemudian membawa kami menuju mes pak Suparjo. Pak Suparjo sudah merelakan mesnya untuk kami tempati selama beberapa hari. Beliau sudah memberikan kunci pada kami.

Sampai di mes. Kuletakkan tas dan barangku. Lalu membersihkan tempat tidur yang penuh dengan debu. Mes yang tidak berplafon membuat angin leluasa membawa debu masuk ke dalam. Setelah bersih, aku merebahkan badanku sejenak. Meluruskan tulang belakang yang terasa kaku dan pinggang yang terasa ngilu.

Sesaat kemudian kami pergi ke mata air untuk mandi, mengambil air, dan wudhu. Mata air berada di belakang kompleks sekolah. Jaraknya sekitar 100 meter dari mes. Pak suparjo sudah memberitahuku sebelum berangkat. Kami melewati jalan setapak di sebelah rumah bapak warga. saya sempat kaget ketika melihat pancuran kecil di bawah pohon pandan. Ternyata ini yang dimaksud mata air. “Bayanganku mata airnya besar, ternyata hanya pancuran kecil saja” gumamku dalam hati. Namun walaupun kecil airnya sangat sejuk. Cukup menyegarkan kembali badan yang lelah menempuh perjalanan seharian. Kami lalu bergegas mandi dan mengisi 4 jerigen yang kami bawa. Kemudian kami kembali ke mes.

Sampai di mes kami sholat secara bergantian. Perut terasa keroncongan. Kamipun segera menyalakan kompor untuk memasak nasi.

Sambil menunggu nasi matang. Kami duduk di depan mes. Bapak Dani datang menyapa kami.

“Selamat sore pak guru” sapa beliau.

‘’selamat sore juga bapak” jawab kami.

“Saya bapak dani, rumah di sebelah situ, ini pak guru baru ko” tanya beliau

“Iya bapak kami guru baru di SMP” jawabku

Kami ngobrol Panjang lebar bersama bapak dani. Di akhir obrolan beliau berkata, “Kalau perlu apa-apa jangan sungkan minta tolong kami pak guru, kami pasti akan bantu, Itu tempat tidur milik pak Suparjo dulu saya yang buat, jika pak guru butuh nanti tinggal beli paku saja” ujar bapak dani. Beliau ramah menyambut kami. Saya merasa bersyukur selalu di pertemukan oleh orang baik.

Hari sudah mulai gelap. Udara dingin khas pegunungan mulai terasa. Tak terasa waktu magrib sudah lewat beberapa menit. Aku tidak mendengar suara adzan. Karena memang tidak ada masjid atau mushola. Tidak ada penduduk muslim di desa ini. Semua beragama kristen protestan. Bapak Dani pulang. Kami masuk ke dalam rumah menyalakan lampu pelita yang menggantung di di dinding . Kamipun segera melaksanakan sh olat magrib bersama. Pak Aprisal sebagai imamnya.

Usai sholat magrib kami berbagi tugas. aku memasak mie instan. sedangkan pak Aprisal menyiapkan tempat tidur. Membuka banner yang kami bawa dari Waingapu. Banner tersebut oleh-oleh dari Jakarta saat pelepasan GGD oleh Presiden RI bapak Joko Widodo. Banner itu digelar di atas balai bambu. Untuk alas tidur kami. Hanya itu saja alas tidur kami malam ini, karena kasur dan tikar milik bapak Suparjo terkunci di lemari. Setelah makan kami menunaikan sholat Isya’ kemudian kami merebahkan badan dan bersiap untuk istirahat.

Ketika itu kami sama-sama susah untuk memejamkan mata. Mulut kami saling terkunci. Aku masih belum percaya bisa sampai di tempat ini. Tempat yang sangat jauh tanpa listrik dan jaringan. Di benakku penuh dengan tanya, “Apa aku bisa hidup di tempat seperti ini, apakah aku tidak salah memilih” aku harus meninggalkan orang tua, istri dan sanak saudara. Hati saya sangat gundah malam itu. Rupanya pak Aprisal juga sedang memikirkan hal serupa. Dia juga tidak bisa tidur. Entah apa yang dia pikirkan. Mungkin sama denganku.

Malam semakin larut. Suasana begitu hening dan sunyi. Hanya terdengan suara anjing yang mengonggong. Udara dingin menusuk hingga ke tulang. Tanpa sadar akupun masuk ke alam bawah sadarku, akupun tertidur. Beberapa kali aku terjaga karena tetesan embun dari atap rumah. Aku hanya berharap pagi segera tiba. Agar bisa menghangatkan badan di panas matahari. Dan menyapa anak-anakku di sekolah.

Sumba Timur, 29. 05. 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bahagia rasanya mendapatkan mata air. Keren Pak Guru

29 May
Balas



search

New Post