Mbak Narti, wanita muda dengan status pegawai pabrik yang beranak satu, hidup bersama suami dan satu anak.

"Ton..., a'..., Nak...." Sambil sesekali ngobrol sesama ibu muda, Mbak Narti menyuapi Toni, jagoannya yang baru lima tahun.

"Sudah, Bu lah....kenyang." Begitu buntut acara makan sore Toni, hampir setiap sore makan tidak tuntas. Entah Toni yang tidak suka makan, lauk tidak enak, atau ibunya yang kebanyakan mengambilkan.

"Iki to, Bu.... Toni makan kok mesti sisa," kata Bu Narti kepada ibu-ibu di sekitarnya.

"Diemplok dewe to, Mbak...!" jawab Bu Sis yang duduk di sampingnya sambil senyum, seakan sudah tahu maksud pertanyaan Mbak Narti. Hanya basa-basi.

Seperti didukung, lima sendok nasi pun masuk mulut.

"Ha..ha..., Mbak Narti... Mbak Narti.... pingin langsing ga jadi...."

""Eman-eman yo...., masa mbuang nasi terus."

Rupanya Mbak Narti gagal langsing gara-gara sering makan sisa suapan nasi anaknya. Di rumah pun sering makan nambah lantaran sayang membuang nasi, sayur, atau lauk yang sekiranya masih layak makan.

Ketika suami juga sering nyindir, ia hanya sambil mesam-mesem dan menceramahi suaminya.

"Makanya Bapak miara ayam, kalau ada sisa makanan, gak saya makan terus. Kasihkan ayam. Ayam sendiri. La whong tetangga yang punya ayam, jauh di desa sebelah. Wis lah... aku bakal langsing."

Suami yang sudah satu tahun menganggur, akhirnya nyerah dengan sindiran istrinya. Esok harinya mulai dengan memelihara dua ekor ayam di belakang rumah. Sepadang ayam sering mendapatkan kiriman sisa suapan Toni dan aneka makanan yang tidak habis dari tuannya. Belum lagi sering menerima nasi-nasi sisa dari tetangga. Daru, suami Narti, kini punya kesibukan dan sudah ganti status, profesinya seorang wiraswastawan alias peternak ayam.

Dua tahun lewat, Mbak Narti tidak cuma langsing, bahkan sudah menjadi istri peternak ayam sukses. *

Edisi cerpen semangat ekonomi kerakyatan.