Sungkowo

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Buah Jambu Berpenghuni

Jambu di halaman rumah kami selalu berbuah. Tidak musiman. Sebab, hampir setiap waktu mengeluarkan buah. Secara beruntun. Sebagian ada yang sudah memerah tua. Sebagian ada yang masih muda. Sebagiannya lagi ada yang masih berbentuk bunga. Jadi, begitu yang tua dipetik, sudah mulai ada yang tua lagi, dan yang berbentuk bunga sudah berubah menjadi buah. Siklus berbuahnya jambu kami memang menyenangkan. Karena memungkinkan kami dapat makan jambu setiap waktu.

Kami pun dapat membagikannya kepada tetangga. Tidak banyak. Sedikit-sedikit. Yang penting tetangga dapat merasakannya. Pola hidup demikian menjadi kebiasaan baik yang masih dapat ditemukan dalam masyarakat sebagai kearifan lokal. Kami antartetangga sering barter. Memang waktu barter tidak bersamaan. Sebab, kondisi yang memungkinkan kami dapat berbagi apa yang ada pada kami pun tidak dalam waktu yang sama.

Hanya, pada saat tertentu kadang kami tidak berani membagikan jambu kepada tetangga. Ya karena kadang jambu kami tidak berkualitas baik. Bukan karena ukurannya kecil. Bukan pula karena rasanya masam. Ukuran jambu kami biasa. Segenggam tangan orang dewasa. Rasanya juga manis. Bahkan, ketika usianya belum tua saja sudah dapat dimakan. Hanya terasa sedikit sepet. Namun meninggalkan rasa segar apalagi pada saat musim kemarau.

Lalu? Ya, masyarakat di tempat kami sering menyebut karena di dalamnya (dalam jambu) ana wonge. Ana wonge artinya ada penghuninya, yaitu ulat. Tapi, entah karena alasan apa masyarakat di daerah kami lebih familier mengatakan dengan sebutan ana wonge. Jika seseorang menyebutkan istilah itu terkait dengan buah-buahan, orang lain langsung memahami bahwa dalam buah tersebut ada ulatnya. Saya belum mengetahui mengapa masyarakat di daerah kami, tidak langsung menyebut ana ulere, ada ulatnya. Padahal, jika menyebut dengan istilah tersebut akan lebih tepat. Karena memang penghuni di dalam daging buah jambu adalah ulat, bukan orang.

Tapi, begitulah kenyataannya. Bahkan, penyebutan itu tidak hanya terkait dengan buah jambu yang di dalamnya dihuni ulat, tapi terkait dengan buah-buah yang lain. Misalnya, mangga dan nangka. Buah mangga dan nangka yang di dalamnya didiami ulat, orang sering menyebutnya ana wonge. Buah yang seperti itu tidak layak dikonsumsi orang tentunya.

Oleh karena itu, jika buah jambu kami ana wonge, kami tidak berani membagikannya kepada tetangga. Padahal, umumnya buah jambu, termasuk buah jambu kami, yang di dalamnya ada ulatnya, di bagian luarnya tampak bagus. Mulus. Yang tentu menarik bagi siapa pun yang melihat. Maka, saat ada orang-orang lewat di depan rumah kami, tak heran jika ada di antara mereka memuji keranuman buah jambu yang ketinggian pohonnya telah melewati atap rumah itu.

Jika kami kebetulan berada di dekat pohon dan melihat mereka, kami menawarinya memetik atau bahkan kami petikkan, tapi seraya berpesan mohon maaf jika ada ulatnya. Tapi, sebagian dari mereka sudah ada yang memahami bahwa jambu seranum yang dilihatnya berpenghuni ulat. Jika mereka kebetulan bertemu dengan kami di depan rumah, mereka mengatakan bahwa buah jambu kami ada ulatnya. Terhadap mereka kami tidak memiliki beban apa-apa. Karena sekalipun kami tawari atau petikkan, mereka tidak akan mau.

Mereka pasti orang-orang yang berpengalaman, setidak-tidaknya, dalam dunia perjambuan. Atau, orang-orang yang memiliki pohon jambu yang pohonnya selalu berbuah, tapi pada saat tertentu tidak layak untuk dikonsumsi karena ana wonge.

***

Kami, terutama saya, tidak pernah merawat secara khusus pohon jambu yang tumbuh subur di halaman rumah. Termasuk saat berbuah. Ia hidup secara bebas. Tanpa pernah kami memupuknya. Tanpa pernah kami menyiraminya. Tapi, terkait dengan kebutuhan air, ia tidak kekurangan sebab air tandon selalu mencukupinya. Jika air tandon, penampung air kebutuhan harian kami, meluber penuh, airnya mengalir sampai di bawah pohon jambu. Sehingga tanah tempat pohon jambu bertumbuh selalu segar. Termasuk ketika pada musim kemarau. Jelasnya, untuk kebutuhan air, pohon jambu tidak pernah kekurangan.

Jika pohon jambu milik petani profesional, mengalami fase penyemprotan pada fase tertentu, pohon jambu kami tidak. Pohon jambu kami tidak pernah mendapat semprotan apa pun. Termasuk pada musim bunga. Ia hidup alami. Saya tidak pernah, dengan sengaja, memberi penguat dari bahan kimia.

Toh demikian, kadang pada saat tertentu, ia berbuah mulus luar dalam. Sehingga kami dan tetangga dapat menikmatinya, tanpa takut ada penghuni di dalamnya. Sayang, kami kurang dapat menandainya saat kapan ia berbuah tanpa ana wonge.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post