Suparman Toaha

Suparman Toaha, lahir, di Urung, 10 November 1978 ...

Selengkapnya
Navigasi Web
SALAHKAH AKU ?
https://www.google.com/search?q=FOTO+BERFIKIR&oq=FOTO+BERFIKIR&aqs

SALAHKAH AKU ?

Aku adalah seorang wali kelas. Saya dipercayakan menjadi orang tua wali di kelas IPS 1. Di sekolah kami, wali kelas akan mengantar anak walinya sampai selesai atau tamat. Jadi saya memulai tugas tersebut dan mendampingi anak-anak saya sejak kelas X.

Di awal kelas X, semuanya berjalan normal. Berbagai kesepakatan dalam kelas telah dibangun bersama. Sesekali ada yang menyimpang dari kesepakatan, namun melalui pendekatan baik kepada murid maupun dengan orang tua murid dan akhirnya penyimpangan tersebut dapat diatasi. Di akhir tahun pelajaran kelas X yang ditandai dengan rapat kenaikan kelas, semua anak wali saya dinyatakan naik kelas dan tak satupun dari rekan guru yang mempersoalkan keputusan tersebut.

Setelah masa libur akhir semester, maka tibalah tahun ajaran baru. Anak wali saya yang dulunya paling yunior di sekolah sekarang mulai memiliki yunior satu tingkat. Perilaku mereka pun mulai sedikit demi sedikit dipengaruhi oleh pertambahan usia mereka. Pola pikir mereka sedikit lebih dewasa dari sebelumnya (di kelas X).

Melihat kondisi tersebut, maka sebagai wali kelas saya harus siap beradaptasi dengan perubahan-perubahan itu. Saya tidak lagi memperlakukan mereka sama waktu masih di kelas X. Saya merubah pendekatan yang sesuai dengan perkembangan mereka, walaupun tidak semua dari kelas X diubah secara keseluruhan.

Seiring berjalanya waktu, ternyata tantangan memang lebih besar. Berbagai persoalan harus diselesaikan secara serius dan tuntas. Tidak jarang saya berkunjung ke rumah-rumah murid untuk berdiskusi dengan orang tua tentang kondisi terakhir anak-anak mereka. Bahkan tidak cukup hanya sampai di rumah, suatu ketika saya harus menemui orangtua anak wali saya dalam hutan karena beliau kerjanya sebagai operator sensor. Namun hal tersebut memiliki kesan tersendiri dan saya sangat menikmatinya.

Di awal semester genap (kelas XI) sebuah peristiwa terjadi. Salah seorang dari anak wali saya mengalami kecalakaan serius. Motor yang dikendarainya bertabrakan dengan motor pengguna jalan lain. Karena kerasnya benturan salah seorang dari mereka sampai meninggal. Namun, beruntung anak wali saya tidak sampai ikut meninggal. Walau demikian, dampak dari kecelakaan tersebut sangat parah. Anak wali saya mengalami patah tulang kaki, patah tulang tangan, rahang juga tidak lurus lagi, dan yang paling parah adalah kepalanya mengalami keretakan yang mengakibatkan dia mengalami koma selama kurang lebih 1 bulan lamanya.

Kejadian tersebut membuat kami bersedih, tidak jarang kami menjenguknya, namun tidak bisa berkomunikasi karena masih koma. Namun setelah dia melakukan pengobatan di Sorong, kami tidak lagi mengetahui perkembangannya secara langsung. Kami hanya sesekali mendapat berita dari siswa yang kebetulan bertetangga dengan dia.

Karena sakit, tentu siswa tersebut tidak pernah mengikuti pembelajaran di semester genap bahkan dia juga tidak bisa mengikuti ulangan semester genap. Atas dasar itu lah, ketika rapat kenaikan kelas, maka diputuskan bahwa siswa yang bersangkutan dinyatakan tidak naik kelas karena tidak mengikuti hampir seluruh proses pembelajaran di semester genap termasuk ulangan semester. Selain itu pertimbangan dewan guru adalah memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk fokus berobat.

Saat itu, sebagai wali kelas, saya hanya bisa meminta agar kata “tidak naik kelas” diperhalus menjadi “cuti berobat” yang artinya, ketika yang bersangkutan sudah dinyatakan sehat, dia hanya mengikuti semester genap saja dan tidak perlu mengulang lagi dari semester ganjil. Usulan saya saat itu diamini oleh seluruh dewan guru termasuk kepala sekolah.

Di Pertengahan semester ganjil kelas XII, orang tua siswa yang dulu kecelakaan mendatangi rumah saya. Beliau mengutarakan kondisi anaknya yang sudah mulai mengalami kemajuan. Dia sudah mulai merespon ketika diajak berbicara, dia juga sudah mulai berjalan walaupun dibantu dengan tongkat. Selain itu, Orang tua yang bersangkutan menanyakan status anaknya di sekolah.

Mulailah saya menceritakan ulang suasana rapat kenaikan kelas beberapa bulan yang lalu, termasuk keputusannya. Mendengar cerita itu, wajah orang tua tampak ada kekhawatiran, seolah-olah ingin memohon sesuatu. Dan ternyata benar. Orang tua tersebut mengatakan bahwa setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan dalam mendampingi anaknya dalam pengobatan dan sudah dalam masa pemulihan dan sesuai dengan pesan dokter agar siswa tersebut tidak diperdengarkan informasi yang bisa membuat sarafnya terganggu. Dia pun bermohon atas nama keselamatan anaknya agar keputusan rapat kenaikan kelas bisa dirubah. Sang orang tua menambahkan “bagaimana perasaan anaknya jika ketika di sekolah dan masuk kelas namun tidak lagi dengan teman kelasnya yang dulu, tapi berganti dengan adik kelasnya, maka dapat mempengaruhi emosinya yang selanjutnya dapat mempengaruhi sarafnya. Beliau khawatir jika anaknya mendengar informasi tersebut, penyakit anaknya bisa kambuh kembali.

Diskusi panjang pun terjadi antara saya dengan sang orang tua murid. Akhirnya hati saya juga mulai luluh dan kehabisan argumen karena seolah-olah ikut merasakan apa yang dirasakan sang orang tua murid. Saya pun kemudian mengatakan, kalau saya akan berusaha untuk menemui kepala sekolah dan mengusulkan permintaannya pada rapat dewan guru.

Tidak butuh waktu lama, dikesempatan pertama saya langsung menemui kepala sekolah dan menceritakan kondisi tersebut. Kepala sekolah juga awalnya berpegang teguh pada keputusan rapat kenaikan kelas, namun setelah berdiskusi panjang akhirnya kepala sekolah menyarankan untuk dibahas pada rapat dewan guru. Secara kebetulan, dalam waktu beberapa hari setelah saya menemui kepala sekolah diadakan rapat dewan guru. Walaupun rapat tersebut sudah ada agenda tersendiri, namun saya jadikan momentum tersebut mendiskusikan persoalan siswa saya. Tidak butuh waktu lama, dan berdasarkan kemanusiaan semua peserta rapat tidak ada yang keberatan menganulir keputusan rapat kenaikan kelas yang awalnya anak wali saya dinyatakan “cuti/tidak naik kelas” akhirnya “dinaikkan” walaupun banyak agenda/program sekolah yang tidak diikuti secara utuh.

Berita itu saya sampaikan kepada orang tuanya. Perasaan bahagia terpancar dari wajah sang ibu. Dari dasar itu, anak wali saya kesekolah dengan tongkat dan dengan cara berbicara yang masih kurang jelas. Akhirnya dia mengikuti pembelajaran dan berhasil menyelesaikan pendidikannya bersama dengan teman-temannya yang lain.

Peristiwa tersebut menjadi pengalam tersendiri, bagi saya bahwa kebutuhan hidup lebih utama dari kebutuhan pendidikan. Peristiwa tersebut terjadi sebelum saya mengetahui apa itu dilema etika atau bujukan moral. Namun dari peristiwa itu saya merasa bahwa itu adalah dilema etika dimana adanya paradigma rasa keadilan melawan rasa kasihan dan paradigma jangka pendek melawan jangka panjang.

Selain itu, prinsip berfikir berbasis rasa peduli sudah terpenuhi dan memenuhi beberapa langkah dari sembilan langkah dalam pengambilan keputusan, seperti, 1)mengenali nilai-nilai yang saling bertentangan 2) menentukan siapa yang terlibat 3) mengumpulkan fakta 4) pengujian benar atau salah 5) pengujian benar lawan benar dan seterusnya.

Saya berharap saya tidak salah dalam pengambilan keputusan dalam peristiwa tersebut…

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Luar Biasa, sangat menginspirasi, sukses selalu pak guru

19 Mar
Balas

Salam literasi

19 Mar

Salam literasi

19 Mar



search

New Post