Belajar Dari Anak Didikku

#TantanganGurusiana

#TantanganMenulisHari_41

Pagi yang hujan membuat perjalananku ke sekolah mengalami sedikit hambatan. Mesti hati-hati mengendarai motor menghindari genangan air dan juga lebih bersabar menghadapi kemacetan. Hujan tak menurunkan semangat kami para pengguna jalan untuk bergegas ke tempat tujuan, masing-masing kita berpacu dengan waktu.

Sampai di sekolah sudah pukul 7.25, siswaku sudah menanti di depan kelas. Beberapa menghampiriku yang masih merapikan mantel yang basah. "Buu, Alwi dan Noval basah bajunya" Pertiwi melapor. Buru- buru kutinggalkan motorku menuju kelas. Kuhampiri, Alwi dan Noval di bangku belakang. Rompi yang mereka pakai sedikit basah, Kuminta mereka membukanya agar kemeja tidak berimbas basah.

"Gak, mau buu " Noval menggeleng, matanya terlihat berkaca-kaca. Anak ini memang tidak merasa nyaman jika terlihat berbeda dengan temannya yang lainnya.

"Kalau tidak mau, Noval boleh pulang sekarang" Dia kembali menggeleng. Tangisnya lepas, segera kubantu melepas rompi, kemudian kugantung di sudut ruang kelas.

"Kamu, bisa sakit kalau pakai baju basah, Nak” Bujukanku tak memeabuat tangisnya berhenti. Kutinggalkan dia, pelajaran harus segera dimulai. Beberapa lama kuacuhkan kulihat Noval mulai tenang dan sibuk mengerjakan latihan yang kuberikan. Sesekali dia ke mejaku, meyakinkan apakah pekerjaanya sudah benar.

Suasana kelas yang tenang tak berlangsung lama, keriuhan kembali terjadi. Segera kuhentikan aktivitasku memeriksa pekerjaan siswa ketika melihat Faiz dengan penuh emosi memukul Rahmat . Segera kutarik Faiz, tangisnya menjadi, tangannya berusaha meraih Rahmat yang terihat ketakutan

“Faiz kalau begini Ibu yang marah, tenaang!” Kutinggikan suaraku saat dia berusaha melepaskan diri dari dekapanku. Perlahan dia mulai tenang. Tak biasanya siswaku yang penyabar ini bersikap seperti ini. “Kamu kenapa, Sayang ?” Kuusap wajahnya yang bersimbah air mata.

Faiz terisak seakan menyimpan duka yang teramat dalam, dia mengadu

"Rahmat ejek mama'ku bu.."

"Iyakah nak, kalau orang tua dihina, tentu semua orang akan sakit hati. Rahmat bilang apa memangnya, sayang? Serius kutatap wajah polosnya

"Na panggilki namanya mamakku" masih tersisa isak tangisnya.

"Oh, bukan di ejek itu, Nak. Hmm, Sepertinya Rahmat penggemar mama mu" kelas menjadi riuh. Faiz sudah kelihatan lebih tenang.

"Anak-anakku, suka tidak kalau kalau ayah ibuta dipanggil namanya, saja. Seperti eh, Sarif, Muna...?

"Tidaak, Buu? Mereka menjawab serempak

"Nah, tidak suka, kan? Kalau memanggil orang tua ada adabnya. Seperti Mamanya Caca. Dipanggilnya Ibu Lela, atau tante Lela. Lebih sopan, kan?"

"Saya panggilkan Bunda Lela , Bu" Rasya berkomentaar

"Nah itu juga bagus, Nak. Rahmat, kenapaka di panggil-panggil mamanya Faiz, Mauki minta ditraktir?Jangan lagi Nak, yaa?

Rahmat mengangguk, kulirik Faiz yang terlihat mulai tersenyum. Tak berapa lama kulihat mereka sudah baikan kembali.

Sebagai guru sayapun banyak belajar dari anak didikku, lihatlah bagaimana Noval bisa segera berubah suasana hatinya kemudian menerima keputusanku sebagai gurunya. Faiz yang begitu terluka bangkit melawan harga diri orang tuanya yang tercoreng (menurut versinya), Juga bagaimana Faiz dan Rahmat bisa berlapang dada saling memaafkan, kemudian bermain bersama melupakan masalah yang baru saja mereka alami.