Suriyadi Al-Difaqi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
(Cerpen) Jejak Sepeda Ayah
Sumber Gambar; pxfuel

(Cerpen) Jejak Sepeda Ayah

AlDifaqi- "Ibu, kapan Ayah pulang?"

Begitulah pertanyaan yang muncul dari anakku tatkala kami berdua duduk di bawah pohon jambu milik Pak Haji Dulloh. Anakku satu-satunya, Jaelani namanya. Berusia 5 tahun saat Ayah pergi untuk terakhir kali kami mengantar keberangkatannya.

Setiap pagi Ayah berangkat dengan sepeda tuanya ke kebun belimbing milik Pak Nanang. Konon, sepeda itu Ayah dapatkan dulu dari seorang bos tempat Ayah bekerja sebelum Ayah pensiun. Hadiah berkat sikap rajin dan disiplin yang sudah Ayah lakukan selama bekerja di pabrik pembuatan tahu.

Sebelum berangkat, biasanya Ayah mengajak Jaelani untuk keliling lapangan depan rumah dengan sepeda. Sebab itulah kini Jaelani merindukan kehadiran Ayah yang sudah dua tahun pergi tanpa kabar.

Aku sudah berulang kali menanyakan kabar Ayah kepada siapa pun yang mengenal Ayah. Tak ada yang tahu kabarnya. Bahkan bos yang dulu memberi Ayah sepeda tak tahu keberadaan Ayah sekarang. Sungguh sangat misterius.

Teringat obrolan Ayah malam hari sebelum keberangkatannya.

"Ayah paling lama pergi sebulan Bu..." kedua mata Ayah menatap langit-langit kamar

"Memang Ayah mau pergi kemana?" Ibu memegang tangan Ayah

"Ayah coba cari pekerjaan di kota sebelah. Konon Ayah dengar ada seorang bos besar sedang membutuhkan tukang kebun di rumahnya, Ayah ingin coba melamar pekerjaan."

"Ayah di sini saja, kan sudah dapat pekerjaan merawat kebun belimbing Pak Nanang."

"Tak cukup Bu. Esok Jaelani akan masuk sekolah. Kita perlu biaya banyak. Kalau mengandalkan gaji Ayah di kebun Pak Nanang, tak akan cukup."

Ibu menggelengkan kepala. Butir-butir air keluar dari kedua kelopak mata indahnya.

"Ibu tenang saja bersama Jaelani di rumah. Ayah akan segera pulang."

Kedua tangan Ibu memegang erat kedua telapak tangan Ayah. Mereka berpelukan.

"Selama Ayah pergi, Ibu berjualan nasi uduk saja depan rumah. Sekedar untuk mengisi kegiatan dan menambah biaya harian."

"Ayah tak usah pergi. Biarlah di rumah bersama Ibu dan Jaelani. Ibu sudah bahagia berada bersama Ayah."

"Tapi kita perlu uang Bu, untuk biaya masuk sekolah Jaelani."

Ibu terdiam.

"Sudahlah, sekarang Ibu istirahat. Kasihan Jaelani menunggu di kamar."

Ayah mengajak Ibu berdiri. Ibu tak bergeming dari tempat duduknya. bulir-bulir air masih menetes dari kedua matanya.

"Ibu..... kapan Ayah pulang?" Pertanyaan Jaelani menyadarkanku dari lamunan obrolan bersama Ayah.

"Kita tunggu ya sayang...." Aku mengusap kepala jaelani

"Aku ingin naik sepeda bersama Ayah lagi. Aku ingin keliling kampung bersama Ayah." Tangis Jaelani seketika.

Aku pun menangis memeluk Jaelani. Berharap ada keajaiban Ayah datang dengan sepeda tuanya dan membawa kami pulang dengan riang.

Entah sampai kapan

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post