Surti Harjanti, S.S

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Tanggal Muda

Pak'e n Bu'e the Series

Tanggal Muda

Kembali lagi bersama pak'e the series. Mungkin kalian berpikir kok kejelekan orang tua diumbar. Eh, menurutku, gimanapun pak'e dan bu'e nggak mengubah rasa sayang kami kepada beliau. Justru dengan memahami hal-hal itu, membuat kami menyadari bahwa orang tua kami adalah manusia biasa, bukan malaikat. Kemudian, seperti beliau berdua menyayangi kami tanpa syarat, kami pun demikian pula.

Naaaah, kali ini aku mau bercerita tentang kebiasaan pak'e setiap tanggal muda. Saat itu masih tahun sembilan puluhan awal. Terbayang kan, bagaimana kondisi saat itu.

Saat itu ada enam anak pak'e bu'e yang masih sekolah. Mas Hari kuliah di Malang, mas Anto kuliah di Jogja, Mbak Yani SMEA, mas Ahmad SMP, aku dan Rizky SD. Tentu terbayang bagaimana rasanya menyekolahkan kami.

Ada satu hal yang teringat setiap tanggal muda, yaitu wajah pak'e yang keruh, merengut. Mengapa? Karena tanggal muda berarti waktunya membayar SPP kami. Aku dan Rizky sering senewen melihatnya. Sedangkan mbak Yani lebih memilih menghindar, bahkan pernah menunggak SPP selama tiga bulan. Saking takutnya minta uang.

Hanya aku dan Rizky yang berani meminta. Namun pak'e punya trik untuk menghindari kami. Beliau sering berlama-lama membersihkan kantor guru dan ruangan kelas. Mau tidak mau kami harus segera berangkat sekolah agar tidak terlambat.

Pulang sekolah, Rizky ngomel-ngomel nggak jelas. Katanya malu belum bayar SPP (padahal gurunya nggak nagih loh).

"Pak'e ki mesti, angger tanggal enom mrengut wae, yen ora yo ngilang (pak'e nih selalu begitu, tiap tanggal muda merengut terus, kalau nggak ya menghilang)," gerutunya.

Saat itulah pak'e bisa tersenyum. Akhirnya, keluar juga uang sepuluh ribu untuk SPP-ku dan Rizky. Alhamdulillaah.

*****

Jika kalian bertanya-tanya, sepelit itukah pak'e? Aku jawab iya. Namun jangan buru-buru menghujat, semua itu karena keadaan. Pak'e hanyalah pak bon di sebuah SMK di Solo. Gaji? Mungkin tanpa dibantu bu'e, takkan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sembilan orang. Namun mana kami tahu tentang hal itu? Kami hanya anak-anak kecil yang polos, hanya menilai dari yang kami lihat.

Setelah kami beranjak dewasa, baru kami tahu perjuangan beliau berdua. Ibu sering menangkap ayam piaraan saat awal bulan. Bukan untuk disembelih, tapi untuk dijual, buat bayar sekolah.

Bu'e juga pernah nangis saat menerima slip gaji pak'e. Terharu, Guys. Bukannya plus tapi justru minus. Eh, itu sih bukan terharu ya, tapi ngenes. Ndilalah (eh, what is the Indonesian of ndilalah? Oh, ya, kebetulan). Kebetulan pak kepala sekolah memergoki ibu yang nangis. Setelah bertanya seperlunya, beliau langsung kasih uang beberapa puluh ribu buat bu'e. Alhamdulillaah.

Saat kami masih di daerah Sumber, ada keluarga yang baik hati dan menawarkan untuk membiayai dua saudara kami. Istilahnya dijadikan anak angkat. Namun pak'e menolak karena merasa bahwa itu tugas beliau untuk memberikan pendidikan kepada putra-putrinya.

We always love you pak'e dan bu'e. Semoga kita nanti tetap menjadi satu keluarga di surga.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Sukses selalu. Salam literasi

12 Sep
Balas

Keren. Sukses selalu Mbak Surti.

14 Nov
Balas

mantap bu...

12 Sep
Balas



search

New Post