Sury

Buruh pabrik PT Sai Apparel Industries Semarang adalah profesiku sebelumnya, dan sekarang menjadi pendidik hanyalah suatu kebetulan, mungkin karma dari aya...

Selengkapnya
Navigasi Web
Bukan Tak Mampu

Bukan Tak Mampu

Saat pandemi ini membuat semua serba sulit. Hampir semua lini kehidupan terdampak. Pendidikan dan perekonomian paling terhantam. Sekolah bukan lagi tempat belajar mengajar. Pengangguran semakin banyak. Kriminal merajalela. Keresahan warga semakin terasa. Satu kata untuk menggambarkan keadaan saat ini. Susah.

Pemerintah bekerja keras memberikan solusi. Termasuk memberikan bantuan atau subsidi. Untuk masyarakat terdampak covid19 diberikan bantuan langsung tunai Rp600.000 selama tiga bulan. Pemerintah tingkat bawah, desa diberikan wewenang mengatur siapa saja yang berhak menerima. Di sinilah timbul kecemburuan sosial. Di antara penerima ada yang termasuk kriteria mampu diberikan, namun yang tidak mampu tidak menerima. Begitu kira-kira pemahaman masyarakat yang kecewa.

Seorang teman perangkat desa mengaku bingung memilih dan memilah penerima bantuan. Masyarakat menuntut pemerataan. Dana desa tidak mencukupi. Rumit. Akhirnya kecemburuan sosial itu terjadi. Hal ini akan dapat diminimalisasi jika ada kerja sama dan komunikasi yang baik antara pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat itu sendiri. Namun kembali lagi pada kemampuan pemerintah desa dalam menyikapi. Kebijakan apapun akan tetap menuai kritik.

Kekecewaan masyarakat dalam hal bantuan dampak covid 19 ini santer dibicarakan di media sosial maupun dalam perbincangan gang-gang kampung. Seperti sore itu, ketika saya melewati sebuah gang. Beberapa orang tengah berbincang. Saya berhenti untuk sekarang menyapa.

Tetiba salah satu di antaranya bertanya; "Mbak, perangkatnya ini bagaimana ya, kami tidak diberikan bantuan padahal tidak mampu. Lihat kami menganggur. Sudah tua pula. Mengapa tidak kasihan kepada kami?" tanyanya diiyakan lainnya.

"Sementara dibantu anak-anaknya to, Bu." saya jawab sekenanya.

"Anak saya juga menganggur. Kemarin baru pulang dari korea. Tuh, orangnya." kali ini sambil menunjuk anak perempuannya yang sedang memainkan gawainya.

"Sabar ya, Bu.."saya mencoba menenangkan.

Saya pamit dengan terlebih dahulu mengamati bangunan rumah yang sepertinya baru direnovasi. Keramiknya terlihat mengkilap. Dalam hati saya berkata, "Rumah bagus begini bagaimana bilang tidak mampu?. Pulang dari Korea tentu berdolar."

Inilah cermin sebagian masyarakat Indonesia. Saya jadi ingat cerita teman tentang toko roti di Australia. Disana, setiap toko tutup, roti yang tidak terjual berapapun dibagikan pada orang-orang yang membutuhkan meskipun bisa dijual besok. Orang yang mampu tidak akan mengambilnya. Mereka berasumsi, jika mereka mengambil, maka hak orang yang sangat membutuhkan menjadi terhalangi atau tidak kebagian.

Masyarakat kita jika dapat bersikap seperti itu tentu tidak akan terjadi kecemburuan sosial pada pembagian bantuan. Orang yang masih mampu, memiliki simpanan atau masih bisa berusaha tidak mau menerima bantuan, maka yang benar-benar tidak mampu pasti akan menerima. Yang terjadi di sini, kadang mereka yang mampu mengaku tidak mampu. Ironis.

Semoa Allah memberikan petunjuk dan kekuatan kepada kita dalam menghadapi musibah ini. Amin

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren

04 May
Balas

Terima kasih Bu

22 Jul



search

New Post