Suryati, M.Pd

Saya lahir di Pariaman, tanggal 21 Februari 1974. Sekarang saya menjadi guru di SMPN 24 Padang...

Selengkapnya
Navigasi Web
Sabar Sebagai Kata Terakhir

Sabar Sebagai Kata Terakhir

SABAR SEBAGAI KATA TERAKHIR

OLEH SURYATI, M.Pd.

 

Sosok ayah adalah sosok yang selalu menginspirasi bagi saya. Sosok tegar dan kuat tanpa mengenal lelah, selalu berjuang untuk keluarganya. Ayah yang saya panggil dengan sebutan apa memang telah berjuang sejak dalam kandungan. Saat masih dalam kandungan, apa sudah tidak lagi mengenal sosok ayahnya. Sebagai anak sulung, apa berjuang bersama adik-adiknya. Kehidupan yang keras membuat apa tumbuh menjadi lelaki tangguh. Pekerjaan apa saja dilakukan asalkan halal dan bisa menyambung hidup.

Apa bekerja mencari kayu ke hutan. Pada saat itulah apa berkenalan dengan seseorang yang menjadi bosnya. Bos apa ini membuka pabrik kerupuk palembang yang terkenal saat itu. Apa mulai bekerja pada bosnya. Selain sebagai pekerja, apa juga menjualnya di pasar-pasar.

Walaupun tidak tamat SD, tetapi apa itu pintar. Apa menyuruh istri tercintanya, yang saya panggil ama, untuk menambah keterampilan. Ama disuruh kursus menjahit. Berkat dukungan dari apa, ama menjadi penjahit terkenal sampai saat ini.

Banyaknya saingan menyebabkan pabrik kerupuk tempat apa bekerja mengalami kemunduran. Bos apa mencoba buka pabrik es. Ternyata pabrik es ini berkembang dengan pesatnya. Apalagi saat itu yang mempunyai lemari es hanya orang kaya saja. Daerah yang panas menyebabkan es yang dijual sangat laris manis.

Kehidupan kami pun mulai membaik. Ini semua berkat kegigihan apa dalam bekerja. Apa juga sering diajak berdiskusi demi kemajuan pabrik. Kedekatan ini tidak disia-siakan oleh apa. Kebetulan apa mempunyai sedikit ilmu tentang emas dan pengolahannya menjadi perhiasan. Apa mengajak bosnya untuk bisnis emas tersebut. Gayung pun bersambut, bos apa langsung tertarik. Semakin hari penjualan emas semakin meningkat.

Kehidupan kami juga semakin menjadi lebih baik. Ama juga sudah mempunyai penghasilan. Apa selalu berpesan, agar rajin belajar. Sebagai anak sulung saya ingin mewujudkan keinginan apa. Akhirnya saya bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Alhamdulillah, kuliah saya berjalan dengan lancar. Menjelang tahun terakhir, tiba-tiba saya sakit. Kedua orang tua pun sangat panik karena kami berjauhan. Setelah mendapat kabar yang dikirim teman melalui telegram pada masa itu, apa langsung berangkat ke Padang. Saya dibawa berobat dan Alhamdulillah sembuh.

Apa pamit untuk pulang kampung. “Jangan sakit lagi ya, Apa tidak kuat untuk bolak-balik ke Padang,” ucap apa saat berpamitan.

Entah itu sebagai tanda, saya juga kurang tahu. Apa mulai sering sakit. Apa tidak pernah lagi datang ke Padang. Saat itu saya hanya bertekad, segera tamat kuliah dan pulang kampung. Saya semakin semangat menyelesaikan skripsi agar segera lulus. Semakin hari ternyata penyakit apa semakin parah. Akhirnya apa dibawa berobat ke Bukittinggi.

Pada hari itu, Jumat, 6 Februari 1998, perasaan saya tidak nyaman. Mobil yang membawa saya ke Bukittinggi serasa sangat pelan sekali jalannya. Sesampai di rumah sakit tentara Bukittinggi, saya setengah berlari masuk ke dalam. Tidak sabar untuk melihat  apa yang ternyata terbaring lesu.

Tiba-tiba apa minta diantar ke kamar mandi. Pada hal apa tidak kuat untuk berjalan. Sesampai di kamar mandi, apa memaksa jongkok di klosed. Saya dan adik mencoba menuruti kemauan apa. Saya jongkok di depan apa untuk meletakkan kakinya agar pas sambil memandang wajah beliau.

Apa berkata, “Sabar.”  Walaupun hanya terdengar samar. Saya mengangguk dengan senyuman. Setelah bersih apa berdiri dengan lincahnya. Tubuh apa terlihat sangat ringan, bahkan kami tidak kesulitan lagi untuk membimbing apa. Beliau minta dirapikan bantal dan selimutnya. Adik saya langsung bertanya, apakah sudah nyaman atau belum. Apa langsung menjawab dengan anggukan kepala dan langsung terkulai lemah.

Kami semua kaget dan segera membaca dua kalimat syahadat. Apa telah pergi. Anggukan kepala sebagai perpisahan untuk kami. Air mata mulai mengalir. Namun, selalu terhenti dengan kata sabar yang selalu melintas di pikiran. Sabar, itulah pesan apa yang langsung saya terima sebagai pesan terakhirnya. Semoga saya selalu menjadi orang yang sabar dan apa husnul khatimah.

 

BIODATA PENULIS

 

 

 

 

 

 

Perempuan bernama Suryati, M.Pd. lahir di Pariaman pada 21 Februari 1974. Bertugas sebagai guru IPA di SMP N 24 Padang. Dia dapat dihubungi melalui email [email protected] dan whatsapp 082283025273.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Hidup itu harus di perjuang Bu Ichu

10 Feb
Balas

Benar mami

10 Feb

Hidup itu harus di perjuang Bu Ichu

10 Feb
Balas

Allaahummaghfirlahum... Al faatihah...Untuk APA kita...

10 Feb
Balas

Terima kasih, Ibu

10 Feb

Alfatihah untuk Apa ya buk Chu..

01 Mar
Balas

Alfatihah utk Apa, berkat beliau juga Abakku bertemu dengan adiknya yang bertahun2 menghilang. Karena Apa berkawan akrab dgn adik Abakku

11 Feb
Balas

Alfatiha buat ayahanda tercinta

12 Feb
Balas

Alfatihah untuk Apa Chu, semoga beliau husnul khotimah

13 Feb
Balas



search

New Post