“Mobil baru, Da?” tanyaku sesaat setelah duduk bersebelahan dengan sopir.

“Eh, Iya. Baru hari Ahad kami jemput ke dealer.” jawab Uda Masri. Sopir mobil yang aku tumpangi setiap senin waktu berangkat ke sekolah.

“Beli berapa, Da?”

“Seratus delapan puluh juta, Bu.”

“Ooh.”

“Seratus delapan puluh juta? Itu uang semua atau bisa ditambah daun  bayur.”

“Ya, uanglah, Bu. Bagaimana bisa beli mobil pakai daun.”

Begitulah kelakarku pagi itu. Melihat mobil baru yang akan kutumpangi setiap pagi senin untuk berangkat ke sekolah. Uda Masri akan ke pasar senin mengantar penumpang. Dan aku naik di pasar, karena aku mengajar di kampung Uda masri.

Ia orang yang baik. Sepanjang jalan, ia akan bercerita tentang keluarga dan anak-anaknya. Selain membawa penumpang ia juga membawa hasil kebun. Berupa cengkeh, pala, kulit manis dan lainnya.

Selain itu ia memiliki sebuah truk untuk mengangkut pasir. Saat ia tidak membawa penumpang ke Balai atau pasar mingguan ia akan menjemput pasir pesanan warga sekitar.

Yah, ia seorang pekerja keras. Pantaslah ia mendapat rezeki yang berlimpah. Istri soleha dan anak-anak yang sehat dan pintar. Ia juga orang yang tidak pernah melalaikan kewajiban sebagai hamba Allah .

Saat itu aku baru saja diangkat menjadi CPNS. Aku merasa sangat bersyukur dan beruntung. Mempunyai gaji tetap walaupun dengan jumlah yang belum seberapa. Mempunyai mobil rasanya sangat jauh dari impian. Apalagi harganya yang selangit.