Susi Agustini

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Inkonsistensi Pendidikan di Indonesia

Inkonsistensi Pendidikan di Indonesia

Inkonsistensi Dunia Pendidikan Indonesia oleh : Susi Agustini, S.E., M.Si

Saya ingin menulis uneg-uneg tentang dunia pendidikan dari kaca mata yang sederhana. Yang pertama sebagai pelayan jasa pendidikan itu sendiri yaitu sebagai guru. Yang kedua sebagai penerima jasa atau penikmat dunia pendidikan selaku wali murid atau output pendidikan itu sendiri. Sebagai seorang guru, saya adalah aktor atau pemeran utama dalam maju mundurnya pendidikan. Namun sebagai seorang wali murid atau mantan murid saya bersifat lebih pasif dengan menerima apa adanya suguhan layanan pendidikan. Tentunya selama bertahun-tahun banyak sekali yang ingin saya tumpahkan mengenai uneg-uneg dalam dunia pendidikan di Indonesia ini.

Selama kurang lebih tiga dekade, semakin hari kualitas pendidikan di Indonesia semakin rendah. Berdasarkan Survey UNESCO, terhadap kualitas pendidikan di negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kualitasnya berada pada posisi paling buncit, yaitu urutan ke-14 dari 14 negara berkembang. Senada dengan hasil studi PISA (Program for International Student Assessment) tahun 2015 yang menunjukkan Indonesia baru bisa menduduki peringkat 69 dari 76 negara. Studi yang dilakukan oleh PISA lebih terfokus kepada studi literasi bacaan, matematika, dan IPA. Sedangkan dari hasil studi TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study), menunjukkan bahwa siswa Indonesia berada pada ranking 36 dari 49 negara dalam hal melakukan prosedur ilmiah. Ketika banyak negara Asia menjulang di daftar buatan Organisasi Kerja sama Ekonomi Pembangunan (OECD), peringkat Indonesia justru jatuh di urutan 69, hanya unggul 7 peringkat dari Ghana yang ada dibawah. Dibandingkan dengan Thailand yang berada diposisi 47, dan Malaysia berada di urutan 52 sebagai negara-negara yang berada dalam kawasan negara Asia.

Pendidikan merupakan sesuatu yang bersifat fundamental. Salah satu hal yang sangat penting bagi kehidupan seseorang. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap tingginya kualitas hidup seseorang. Tidak hanya itu pendidikan juga berperan besar bagi kemajuan dan perkembangan bangsa. Sebagai ujung tombak pembangunan bangsa, para guru memainkan peranan yang cukup sentral dalam dunia pendidikan. Sebuah bangsa yang maju dan besar tentu ditunjang dengan kualitas pendidikan yang memadai bagi warganya. Kualitas pendidikan yang memadai tentunya juga ditunjang oleh guru-guru yang memadai pula. Sehingga melalui pendidikan akan dihasilkan insan – insan terampil yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti yang luhur.

Di Indonesia sendiri, pemerintah melalui beragam pola dan program berusaha mendorong kemajuan pendidikan, dengan semangat untuk menghasilkan individu terampil yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. Selaras dengan pernyataan Ki Hajar Dewantara : “ Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya “ (Ki Hajar Dewantara, 1977:14).

Data - data hasil survey tersebut merupakan berita kurang mengenakkan dalam dunia pendidikan kita. Berbagai hal telah diupayakan oleh pemerintah dalam memperbaiki kondisi tersebut. Peningkatan kualitas pendidikan dilakukan namun lagilagi upaya tersebut belum menorehkan hasil yang signifikan. Banyak sekali faktor penyebab yang mempengaruhi kualitas pendidikan di negeri ini, diantaranya adalah : pertama adalah inkonsistensi kurikulum, Ganti menteri ganti kebijakan. Ganti kebijakan ganti kurikulum. Seperti itulah jargon yang sering kita dengar dalam dunia pendidikan. Jargon yang muncul sebagai ungkapan kekecewaan masyarakat terhadap inkonsistensi kurikulum.

Tidak hanya terbatas pada perubahan nama saja tetapi juga pada perubahan konsep. Sebenarnya revisi kurikulum itu perlu karena merupakan inovasi ataupun evaluasi dari kurikulum sebelumnya. Namun pengubahan kebijakan maupun program tentunya menguras anggaran pendidikan yang cukup banyak dari pos pengeluaran APBN. Apabila dilihat dari sudut pandang ekonomi, alangkah baiknya jika anggaran tersebut digunakan untuk bantuan pendidikan yang lebih berpotensi untuk kemajuan pendidikan seperti pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, serta fasilitas peningkatan mutu lainnya.

Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang bagus, namun sistem penilaiannya rumit dan terlalu kompleks. Jika dibandingkan dengan kurikulum pendidikan di negara maju, kurikulum yang dijalankan di Indonesia terlalu kompleks. Hal ini akan berdampak buruk bagi guru dan siswa. Siswa akan terbebani dengan segudang materi yang harus dikuasainya. Sehingga siswa harus berusaha keras untuk memahami dan mengejar materi yang sudah ditargetkan. Siswa akan lebih memilih untuk mempelajari materi sebatas kulit luarnya saja, dengan hanya memahami sepintas tentang materi tersebut.

Selain berdampak pada siswa, guru juga akan mendapat dampaknya. Tugas guru akan semakin menumpuk dan kurang maksimal dalam memberikan pengajaran. Guru akan terbebani dengan pencapaian target materi yang terlalu banyak, sekalipun masih banyak siswa yang mengalami kesulitan, guru harus tetap melanjutkan materi. Hal ini tidak sesuai dengan peran utama guru yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Karena terlalu dikejar target materi sesuai dengan silabus maka porsi mendidik, membimbing, mengarahkan akan berkurang. Peran sebagai pendidik akan terkikis yang ada hanya transfer of knowledge dengan mengabaikan unsur pendidikan.

Selain itu sistem penilaian yang kompleks dapat menyebabkan banyaknya tagihan tugas atau evaluasi yang dibebankan kepada siswa. Siswa menjadi tereksploitasi tenaga dan pikirannya, menjadi mudah stress. Tidak ada jeda dalam mengistirahatkan otaknya. Belajar seharian dan mengerjakan tugas dari sekolah sampai ke rumah. Tidak ada waktu untuk bermain, bercengkerama dengan saudara atau sekedar membantu orang tua. Saya mendapati anak saya berangkat sekolah dengan tas yang memberati punggungnya karena terlalu banyak buku yang dibawa. Saya juga mendapati anak saya terjaga sepanjang malam mengerjakan PR atau belajar untuk ulangan tanpa ada kesempatan tidur siang. Karena pulang dari sekolah sudah hampir menjelang maghrib. Sebagai orang tua saya tidak tega melihat anak saya tereksploitasi otaknya karena beban tugas yang berat dan bertumpuk – tumpuk. Namun di sisi lain saya adalah guru, yang dihadapkan pada situasi dilematis yang sama dengan guru di sekolahnya. Dengan sistem penilaian yang rumit dan kompleks produk kurikulum baru menuntut banyaknya tagihan tugas dan evaluasi lainnya.

Yang diharapkan dari perubahan konsep kurikulum, tentunya adalah perubahan yang memberikan dampak positif bagi kemajuan pendidikan Indonesia. Jika menoleh pada kondisi sekarang, dengan tugas yang bertumpuk-tumpuk karena setiap pertemuan gurunya selalu memberi oleh-oleh PR. Maka kesempatan untuk belajar sekedar merefresh ingatan saat menghadapi ulangan harian menjadi tidak ada. Sehingga siswa menjadi stress dan putus asa menghadapi materi yang begitu banyak yang akan diujikan keesokan harinya. Cara tidak baik akan digunakan ketika ulangan yaitu mencontek. Apalagi dengan kecanggihan tehnologi, siswa akan mendapatkan jawaban yang lengkap dan waktu cepat dari si mbah Google. Ternyata perubahan konsep kurikulum lebih banyak berdampak negatif pada pembentukan karakter siswa. Munculnya sifat tidak jujur, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai. Karena jika mendapat nilai kecil, takut dimarahi orang tua atau harus menempuh remedial yang bertahap dan lebih menyita waktu.

Kedua rendahnya mutu pendidikan, mutu pendidikan pada akhirnya dilihat pada kualitas keluarannya. Pada umumnya kualitas keluaran hanya diasosiasikan dengan hasil belajar yang sering dikenal dengan ujian nasional. Komitmen ini penting karena persoalan kejujuran saat ujian nasional selalu menjadi perhatian publik. Masih sering terjadi ketidakjujuran, kebocoran soal maupun kunci jawaban. Menjadi suatu polemik dalam dunia pendidikan dengan perdebatan panjang antara pro dan kontra terhadap pelaksanaan ujian nasional. Sebenarnya ada usulan moratorium ujian nasional yang digagas oleh Menteri Pendidikan yang baru, Bapak Muhajir Effendy namum ditolak. Menurut Muhadjir, UN tidak lagi menentukan kelulusan, evaluasi sebagai hak dan wewenang guru baik secara pribadi maupun kolektif sedangkan negara cukup mengawasinya saja. Ujian harus dipahami sebagai salah satu tahapan yang harus dilalui siswa untuk menapaki jenjang pendidikan selanjutnya.

Karena itulah, siswa harus diyakinkan bahwa essensi lebih penting dalam pelaksanaan UN adalah berperilaku jujur. Hasil belajar yang bermutu hanya dicapai melalui proses belajar yang bermutu pula. Jika proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil belajar yang bermutu. Persepsi yang salah terhadap mutu pendidikan. Banyak yang berpendapat bahwa mutu pendidikan diukur melalui hasil akhir belajar siswa, yaitu nilai UN (Ujian Nasional). Sesungguhnya mutu pendidikan yang baik hanya akan didapatkan oleh seseorang setelah melalui proses belajar yang berkesinambungan. Fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan, yaitu karena terlalu banyaknya target materi yang harus dikejar. Siswa mempelajari materi sebatas kulit luarnya saja, dengan hanya memahami sepintas tentang materi tersebut.

Memahami dan mengikuti dengan baik proses belajar sehingga diharapkan dapat menunjukkan hasil belajar yang bermutu. Meskipun hasil tes akhir terlihat memuaskan dari segi nilai, namun jika tidak mengikuti proses dengan baik maka tidak akan tercipta output yang bermutu. terampil, berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. Sehingga bisa disimpulkan jika proses pendidikan sangat menentukan mutu pendidikan. Sesuai dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri yaitu menyiapkan sumber daya manusia sebagai modal utama pembangunan bangsa. Oleh karena itu sistem pendidikan harus dapat menghasilkan output yang profesional sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Jika hal itu tidak dapat teratasi maka telah mencakup masalah relevansi pendidikan.

Masalah relevensi adalah masalah yang timbul karena tidak sesuainya sistem pendidikan dengan keperluan pembangunan nasional. Masalah ini berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan dengan yang diharapkan oleh institusi yang membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan yang menganggur dan tidak terserap dalam dunia usaha karena tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal. Padahal output pendidikan dalam hal ini, diharapkan dapat mengisi beraneka ragam sektor pembangunan seperti produksi, sektor jasa dan lain-lain baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas. Jika sistem pendidikan mampu memenuhi segala tuntutan pembangunan nasional tersebut maka relevansi pendidikan dianggap tinggi.

Permasalahan berikutnya, yakni guru. Guru merupakan ujung tombak pendidikan. Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa. Berdasarkan analisa dari badan pendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pacifik. Kondisi tersebut tentu saja sangat memprihatikan guru yang dianggap menjadi titik sentral kemajuan pendidikan namun justru masih memiliki kualitas yang sangat rendah. Dan budaya literasi di kalangan guru masih sangat lemah.

Menurut Suyanto (2006 : 1), “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar baca tulis alfabetikal maupun fungsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh kebanggaan komunitas dan bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan:“guru yang demikian tentu bukan guru sembarang guru. Ia pasti memiliki profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “digugu lan ditiru”. Menurut Suyanto (2006: 15-16) era globalisasi dewasa ini mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu memberdayakan para peserta didik. Tuntutan global telah merubah paradigma pembelajaran dari paradigma pembelajaran tradisional (teacher centered) ke paradigma pembelajaran baru (student centered).

Pembebanan tugas administrasi karena konsekuensi dari adanya perubahan konsep kurikulum membawa dampat negatif terhadap pengembangan diri kualitas seorang guru. Waktunya hanya tersita untuk mengerjakan tugas administrasi atau program-progam sekolah seperti akreditasi, sekolah adiwiyata, sekolah model, sekolah rujukan yang belum tentu berdampak secara langsung terhadap peningkatan mutu pendidikan siswa. Disamping itu administrasi yang rumit atas jaminan karier bagi seorang guru juga menjadi penyebab tersitanya waktu bagi guru untuk terus mengasah kemampuannya untuk menjadi tenaga didik yang berkualitas dan professional. Pengurusan kenaikan pangkat, administrasi pencairan tunjangan sertifikasi, dan administrasi kepegawaian yang bermacam – macam dinilai tidak efisien. Serta instrumen supervisi guru yang banyak juga menyita waktu, menguras tenaga dan pikiran.

Hal ini membawa kepada kondisi menurunnya pelayanan pendidikan kepada siswa. Jika jadwal supervisi pengawas sudah diumumkan, guru menjadi setengah hati dalam mendidik siswa. Siswa hanya diberi tugas di kelas, banyak kelas kosong karena guru-gurunya sibuk mempersiapkan perangkat dan instrumen-instrumen lainnya. Jika gurunya masuk kelas, mungkin sifatnya hanya menunggui siswanya mengerjakan tugas. Sedangkan si guru tidak berhenti menatap layar monitor laptop mengerjakan segala hal demi menyambut kedatangan si pengawas. Jika siswa datang mendekat ke mejanya untuk bertanya tentang materi yang tidak dimengerti guru menjawab dengan acuh tak acuh. Tidak fokus memberikan pelayanan kepada siswanya.

Tentunya bukan inilah yang diharapkan sebagai potret dunia pendidikan yang ideal di Indonesia. Bukan potret pendidikan yang hanya manis di permukaan tapi pahit dan getir di dalam. Bukan 32 instrumen yang didengung-dengungkan lembaga penjamin mutu yang dapat merekam mutu pendidikan. Sungguh hal yang ironis karena guru terpaksa lari ke sana ke mari untuk mempersiapkan 32 instrumen itu, ibarat orang menunggak hutang ditagih debt collector setiap kali pengawas datang. Karena jika nilai supervisi jelek takut berpengaruh pada tunjangan sertifikasi. Padahal jika nilai bagus belum tentu cerminan yang sesungguhnya. Karena mungkin masih ada manipulasi instrumen di sana-sini untuk mengejar nilai bagus dari pengawas.

Hal seperti di atas sangat disayangkan terjadi dalam dunia pendidikan, karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja. Target pendidikan yang terlalu menuntun pada standarisasi kompetensi. Dan inilah yang menjadi salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik terlayani baik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan.

Banyak hal lain yang sebenarnya yang ingin disampaikan dalam pembahasan standardisasi pendidikan di Indonesia. Juga permasalahan-permasalahan, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian serta data yang lebih akurat lagi. Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidak hanya sebatas pada uraian di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga dengan mengetahui secara mendalam, pemerintah, suru dan semua stakeholder saling bahu membahu dalam memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi lebih baik lagi dan bisa setara dengan negara-negara lain yang mutu pendidikannya menempati urutan terbaik di dunia.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap Bu! Moga pendidikan berkembang lebih baik

20 Jul
Balas

Saya catat, "essensi lebih penting dalam pelaksanaan UN adalah berperilaku jujur." Sepakat sekali bu Susi.

20 Jul
Balas

Terimakasih sudah mau berbagi, bu

20 Jul
Balas

Terima kasih kembali teman - teman telah sepakat dengan pemikiran saya

25 Jul
Balas



search

New Post