Sandekala

Deru bercampur debu jalanan melengkapi bisingnya perjalanan. Laju motor dengan kecepatan 20 KM/jam sedikit aku kurangi. Sekejap menangkap jam tangan lewat sudut mata, hmm sudah sangat sore. Pantas saja semburat merah mulai terlihat dari rimbun pepohonan sepanjang jalan. Sepi, hanya satu dua saja kendaraan membersamai perjalananku walaupun mereka dengan laju yang sangat kencang.

Haus mulai mendera kerongkongan, padahal setengah jam lalu menyempatkan diri menghabiskan air dalam botol. Ah, malahan terasa gatal tenggorokan ini, batuk-batuk kecil tak menyudahi rasa gatal. Alhamdulillah nampak depan mata ada yang berjualan segera aku hentikan motor ini.

“De, segelas saja dan esnya jangan terlalu banyak,” ujarku seraya memarkirkan motor disebelah gerobak tua milik gadis kecil tersebut berjualan. Sekilas terlihat anak itu menyinduk air berwarna merah, strawberry sepertinya. Aku amati anak perempuan berambut dibawah bahu tersebut. Tangan dan jemarinya bersih, putih. Hmm seperti bukan tangan seorang pedagang. Sayang, wajahnya terhalang oleh rambutnya.

Agak lama juga, padahal aku sudah sangat haus dan hari sudah semakin sore. Kendaraan sudah jarang terlihat. Tapi gadis kecil itu asyik membelah es, jemarinya lincah mencacah es. Mataku menatap sekeliling. Di seberang jalan nampak rumah yang cukup besar namun sayang tidak terawat. Dari tanaman rambat yang tumbuh disebagian tembok dan pagar rumah tersebut, sepertinya rumah itu sudah lama tak berpenghuni. Sayang sekali pikirku, rumah pinggir jalan, besar pula pasti harganya mahal. Ah, otak marketingku mulai bekerja.

“Ade, sudah sore kok masih berjualan?”

“Hmm, ya,” jawabnya singkat seraya jemarinya asyik memcacah es menjadi bagian kecil-kecil. Lantas dia menyodorkan segelas es sirup berwarna merah, segar! Segera aku teguk. Agak aneh rasanya, sesekali bau amis menyengat hidungku. Gadis penjual es itu terdiam dan sepertinya dia menatap lurus ke seberang jalan, ke rumah itu.

“De, tau gak itu rumah siapa? Kosong ya?” tanyaku.

Terdengar helaan napas berat dari gadis kecil itu, berat. Lantas dia menunduk namun wajahnya tetap terhalangi oleh rambutnya, telinganya terlihat menyembul di antara rambutnya yang kurus panjang. Putih.

“Kosong,” jawabnya pelan.

“Penghuninya semua terbunuh, ayah, ibu, kaka, adik dan …,“ kembali gadis kecil itu menjelaskan dengan pelan sambil menggatung kalimat terakhirnya.

“Lho, kok ade berani sih jualan di sini, mana sudah sore, sebentar lagi juga maghrib,” ujarku seraya menghabiskan minuman seteguk lagi. Walaupun rasanya aneh dan sedikit tercium bau amis, akhirnya habis juga.

“Rumahnya di mana De?” tanyaku seraya membayar minuman yang telah aku habiskan.

Gadis kecil itu tak menjawab hanya telunjuknya menunjuk ke arah rumah kosong diseberang jalan lantas kemudian dia menoleh ke arahku seraya menyeringai. Ah, bumi terasa gelap. Bruk!