Susmintari Dwi Ratnaningtyas

Karena yang terucap akan mudah lenyap dan yang tertulis akan abadi seperti prasasti....

Selengkapnya
Navigasi Web
10. KACA MATA EMAK

10. KACA MATA EMAK

#Goresan Penaku / H-409

Suara tangisku tertahan. Aku tak ingin terlihat lemah di hadapan Riko. Bisa jadi dia akan semakin jumawa melihat aku menangis dan mengiba. Mengharapkan bantuannya hany akan membuatnya semakin gede rasa.

Tak ada siapapun di dalam mobil selain kami berdua. Dia membiarkan aku masuk dan memilih duduk di bagian tengah. Sedang dia di belakang kemudi, duduk sendirian. Netranya terlihat beberapa kali melirikku dari spion dalam. Seluruh pintu mobil sudah dikuncinya otomatis. Aku mengerti, tak ada gunanya terlalu banyak tanya, terlalu sering menangis, atau bahkan teriak-teriak. Dia akan semakin bangga melihatku ketakutan. Satu-satunya yang bisa aku lakukan hanya mengucap doa dalam hati.

Riko melajukan mobil dengan tenang. Tak terlihat ada amarah meskipun aku tahu saat ini dia sedang menyimpan bara dendam kepadaku. Dari belakang aku melihat rambut ikalnya yang tak terawat. Entah, kehidupan rumah tangga seperti apa yang dilakoninya hingga dia nampak begitu kumal.

“Di sisi kananmu ada rice box dan air mineral. Makanlah. Habiskan. Jangan sampai kamu sakit. Urusan kita masih panjang.”

“Aku mau salat dulu, Riko. Tolong berhenti di masjid atau musala.”

“Semua sudah aku pikirkan. Sekarang silakan kamu makan dulu.”

Tak ada kata lagi. Mobil melintasi jalanan terjal dan berkelok sebelum akhirnya sampai di jalan raya. Kulirik paper bag di sisi kananku. Aku memang lapar. Dari pagi tadi perutku belum terisi apa-apa. Aku harus makan. Setidaknya aku harus kuat untuk bisa lepas darinya.

“Makanan dan minuman itu aman. Jangan berpikir aku mencampurnya dengan racun. Aku masih punya urusan denganmu. Sebelum itu selesai, setidaknya aku tak akan membiarkanmu sakit.”

Seolah mengerti dengan yang aku pikirkan, tiba-tiba Riko berkata. Suaranya pelan, tapi jelas sekali ada sindiran dalam nada bicaranya. Sindiran yang sampai saat ini benar-benar tak aku pahami apa maksudnya.

Kuteguk air mineral yang kuambil dari dalam paper bag itu setelah berdoa dan mengucapkan terima kasih pada Riko. Dia tak menjawab. Bahkan ketika aku minta izin untuk makan.

Aku belum menyelesaikan makanku kala mobil memasuki sebuah rumah di pinggiran kota. Rumah besar dengan halaman luas itu nampak tak terawat. Beberapa bunga dan dahan pohon mengering dan hampir terlepas. Sampah berserakan dimana-mana.

“Habiskan makanmu dulu. Tapi jangan terlalu lama. Aku tidak bisa menunggu.”

Aku mengangguk. Entah dia melihat atau tidak. Kuteruskan menyuap makananku meski rasa hatiku tak menentu. Aku harus menghabiskan makanan ini. Seperti yang senantiasa diajarkan Emak agar tak menyisakan makanan. Kata Emak itu salah satu bentuk syukur karena di luar sana banyak sekali orang yang bahkan harus mengemis untuk bisa makan demi bertahan hidup.

Aku baru saja menyelesaikan suapan terakhirku kala kudengar suara tawa seorang perempuan. Riko terlihat tersentak lalu sekilas menatapku. Aku baru akan bertanya siapa perempuan itu ketika tak lama kemudian suara tawa perempuan itu berubah menjadi tangis dan teriakan yang menyayat hati.

“Siapa dia?”

(bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post