Susmintari Dwi Ratnaningtyas

Karena yang terucap akan mudah lenyap dan yang tertulis akan abadi seperti prasasti....

Selengkapnya
Navigasi Web
21. KACA MATA EMAK

21. KACA MATA EMAK

#Goresan Penaku / H-426

#Lana POV

“Aku kecewa sama kamu, Lana. Sangat kecewa.” Pemilik netra itu mendekat. Rahangnya yang mengeras cukup menjadi penanda kemarahannya. Tapi aku tak peduli lagi. Cukuplah selama ini aku diam, terhina, dan terinjak harga diriku. Sekarang Salwa menjadi kekuatanku untuk melawannya. Bukan berarti aku mau melawan suamiku. Bukan. Aku hanya mencoba mengingatkan jika perlakuannya kepada istrinya selama ini salah.

Aku yang selalu diam dianggapnya tak mempunyai keberanian. Padahal yang sebenarnya, aku hanya mencoba menghargai dan menghormatinya sebagai seorang imam. Meskipun selama ini keberadaanku tak pernah dianggapnya ada.

“Kalo kamu mau pergi, pergilah. Aku sudah tidak membutuhkanmu,” katanya dengan sinis. Dadaku terasa nyeri. Selama ini aku memang terbiasa tertolak. Tapi ucapannya di depan Salwa kali ini terasa menohokku. Sakit sekali rasanya direndahkan sedemikian rupa oleh suami sendiri di hadapan perempuan lain yang dipujanya.

Kutarik napas panjang untuk menghalau segala rasa tak nyaman itu. Kini saatnya untuk pergi jauh dari kehidupannya. Tak ada lagi Naura, buah hati yang dulu memberiku kesabaran untuk bisa bertahan.

“Ayo, Wa,” kataku sambil menarik lengan Salwa.

“Hei ....”

“Apalagi, Mas Riko? Bukankah tadi kamu menyuruh aku untuk pergi?”

“Iya, bener. Baguslah, depresimu ndak membuatmu jadi tuli dan hilang ingatan.”

Dia tertawa keras sambil memegang kepalanya. Mungkin pukulan bilah bambu tadi masih dia rasakan nyerinya ketika terguncang karena tertawa. Aku menatapnya tajam. Entah, aku benar-benar muak dengan sikapnya.

“Kamu boleh pergi, tapi Salwa harus tetap di sini. Susah payah aku menyusun strategi untuk bisa membawanya kesini. Tapi kamu dengan mudah akan membawanya pergi. Mana mungkin aku membiarkan itu terjadi? Kamu memang bukan perempuan cerdas, tapi jangan terlalu bodoh beginilah.”

Dia semakin keras tertawa. Kepalanya sampai ikut terangkat dengan pundak terguncang. Aku semakin muak. Salwa lebih banyak terdiam. Wajahnya memucat. Mungkin lemparan gelas tadi cukup keras mengenai pelipisnya hingga membuatnya pusing.

Mas Riko masih terus menertawakan kebodohanku. Dia seperti lupa jika ketidakadilan yang dibangunnya selama ini telah melecut keberanianku. Kurangkul lengan kanan Salwa dan kami segera berlalu. Mas Riko mencoba menahan Salwa dengan menarik tangan kirinya yang terkulai lemah. Aku tak menyerah. Kutarik tubuh Salwa dengan lebih kuat. Kami tertatih melangkah sebelum Mas Riko akhirnya berhasil menyamai langkah kami.

“Biarkan mereka pergi, Nak.”

Suara itu, seketika kami menoleh dan mendapati kecemasan di raut wajah dan tatap netranya.

(bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren cadas... lanjut ukhti.... barokalloh...

14 Apr
Balas



search

New Post