Susmintari Dwi Ratnaningtyas

Karena yang terucap akan mudah lenyap dan yang tertulis akan abadi seperti prasasti....

Selengkapnya
Navigasi Web
23. KACA MATA EMAK

23. KACA MATA EMAK

#Goresan Penaku / H-430

#Riko POV

Kulihat Lana menangis. Raganya melunglai. Beberapa kali isaknya menguar dengan keras, mengguncang tubuh Salwa yang tergolek di depannya. Tapak kakiku semakin mendekat, lalu saat dengan jelas kulihat darah segar yang keluar dari tubuh Salwa, seketika amarahku memuncak. Kulayangkan beberapa pukulan kepada anak buahku. Lama-lama membabi buta. Aku seperti marah dengan diriku sendiri.

Bondan datang dan mencoba menarikku. Tapi aku tak peduli. Rasanya nalarku sudah berhenti sama sekali. Tak ada lagi yang bisa kupikirkan kecuali kecewa yang sangat mendalam.

“Bos, sudah. Tolong jangan ngawur begini,” teriak Bondan sambil terus mencoba melerai emosiku. Tapi sekali lagi, larangan Bondan justru seakan menjadi bahan bakar yang dengan cepat menyulut amarahku.

“Siapa yang menyuruh menyakiti Salwa?” tanyaku dalam gemuruh amarah yang masih terus menggelegar. Aku lalu menatap Bondan, membiarkan dua orang yang tadi menjadi sasaran amarahku lari dengan membawa remuk di sekujur tubuhnya.

Tak ada jawaban yang bisa aku dengar. Hanya tangis Lana dan isak Emak yang terus mencoba membangunkan Salwa. Hatiku teriris, merasa tak berguna. Bagaimana mungkin dalam waktu yang bersamaan aku bisa menyakiti hati tiga orang perempuan sekaligus? Hati Lana, Salwa, dan Emak.

“Mas Riko, tolong telpon ambulans atau bawa tenaga medis ke sini sebelum Salwa semakin banyak kehilangan darah. Atau Mas akan menyesal akan kehilangan dia sebelum sempat memiliki? Mas cinta dia, kan? Bertahun-tahun Mas Riko terobsesi kepadanya, tegakah Mas membiarkan dia pergi selamanya karena kesalahan Mas?”

Aku terkejut. Baru kali ini Lana berkata keras kepadaku. Lebih terkejut lagi, dia seolah mengisyaratkan izin untukku menikahi Salwa. Aku terdiam, kutatap wajah Lana dalam jarak sedekat ini. Dadaku sesak, tangisku hampir tumpah. Inilah istriku yang tak pernah kuanggap ada. Istri yang tak pernah kuberikan perlindungan dan kasih sayang bahkan makan pun seringkali tak layak untuk dikudap. Istri yang jangankan kuperhatikan penampilannya, bahkan sekantong plastik bedak paling sederhana pun tak pernah aku belikan.

“Kamu menunggu apa, Mas Riko? Apakah egomu lebih tinggi dari pada rasa kemanusiaanmu? Aku tahu kamu takut polisi menemukan tempat ini dan membongkar semua kejahatanmu. Jika begitu, izinkan kami yang pergi. Membawa Salwa sebelum terlambat. Tolong sediakan mobil dan sopirnya. Aku pinjam, kelak jika semua urusan selesai, aku akan kembali kesini dan membayar sewanya dengan tenagaku. Aku akan mengabdikan diri kepadamu sebagai pembantu.”

Lana kembali berkata. Kesungguhannya menolong Salwa yang baru dikenalnya, yang seharusnya dia benci karena kuhadirkan sebagai pesaingnya, sungguh membuatku semakin terkapar pada rasa malu.

“Mak, tolong aku untuk mengangkat tubuh Salwa ya? Aku akan menggendongnya.” Lana berseru. Aku terkesiap ketika melihat wajah Salwa memucat dan terlihat putih seperti kapas. Tak ada napas yang berembus. Jantungnya juga tak terlihat berdetak.

“Salwa, kenapa kamu tak bergerak begini, Nak? Jangan tinggalkan Emak, Nak.”

“Salwa, bangunlah. Jangan tinggalkan kami.”

(bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap ulasan yang keren

16 Apr
Balas

Luar biasa Bunda penuh inspirasi dan mencerahkan

16 Apr
Balas



search

New Post