SYAFRUDDIN, S.Pd,MM

Syafruddin, S.Pd, MM., lahir pada tanggal 8 April 1970 di Rao Kab...

Selengkapnya
Navigasi Web
NEGERI SERIBU KUBANGAN TAMBANG
FOTO BY KOENTAW KOEPITAN

NEGERI SERIBU KUBANGAN TAMBANG

NEGERI SERIBU KUBANGAN TAMBANG

Suatu kali saya menyinggahi Bandar Udara Minangkabau (BIM) Padang untuk suatu urusan. Dalam penantian jadwal keberangkatan tertunda (delay), saya ngobrol dengan seseorang yang juga penumpang pesawat yang terkenal suka telat itu. Setelah tegur sapa dan berbicara berbagai hal dia bertanya, “Dimana bapak bertugas? Saya jawab dengan senyum “Sijunjung, mbak”. sambil membetulkan letak tas saya. “Oh, daerah penghasil emas itu ya”’ jawabnya seperti kagum. Mungkin dia pikir saya ini juragan tambang. Karena waktu itu saya memang agak steady. Agak mantaplah kata anak muda zaman kini. Pakai celana jeans, kaos oblong, di jari terpasang cincin lumuik Sungai Dareh dan memakai sepatu semi boot. Gagahlah pokoknya. Kayak juragan. Hehe..

Sijunjung memang identik dengan banyak tambang. Tapi belakangan ini paling identik dengan tambang emas. Menurut R. Datuk Bagindo Said, tokoh masyarakat di Sijunjung, dalam kurun sepuluh tahun terakhir ini tidak kurang 15 ton emas sudah keluar dari perut Sijunjung. Harga satu kilogram emas mentah sekitar 450 juta. Kalau 15 ton berarti sudah 6,75 triliun uang yang keluar dari rahim bumi Sijunjung. Luarbiasa.

Gundukan emas ini lahir melalui operasi caesar dengan pisau bedahnya eskavator. Operasi caesar itu dilakukan ditengah areal sawah dan kebun karet produktif. Alat berat buatan Jepang, China dan Korea ini meraung-raung di berbagai sudut kampung. Mencakar sawah masyarakat, lapar dan buas seperti seekor tyrannarosaurus sedang makan. Merobek hamparan sawah, menjadikannya lobang besar yang menganga. Di sekitar lobang ini teronggok bukit pasir dan bukit batu bagai ampas setelah makan. Tidak puas di areal sawah tyrannosaurus ini masuk kebun karet. Pohon karet yang rimbun roboh lunglai satu persatu. Akhirnya kebun karet rata seperti sawah. Kemudian berlobang. Lalu muncullah bukit pasir dan batu.

Emas dikeluarkan pula melalui sedotan vacum cleaner raksasa yang digerakkan mesin dompeng bahkan mesin truck Fuso. Kawasan operasi vacum cleaner ini berada di sepanjang daerah aliran sungai. Gulungan slang raksasa melingkar bak ular, dibenamkan ke dasar sungai dan menyedot lumpur dan pasir. Selanjutnya lumpur dan pasir yang berisi butiran emas disaring ke atas kapal yang mengapung di permukaan sungai.

Apakah ada dampak positif penambangan emas seperti ini? Ada. Pertama, berkurangnya pengangguran. Penambangan terbuka dan dekat perkampungan menyebabkan masyarakat yang belum bekerja bisa ikut dalam kegiatan tambang tanpa harus meninggalkan kampung halaman. Sejumlah anak muda yang baru tamat SLTA ataupun yang putus sekolah sejak SD atau SMP dapat ditampung pada ratusan grup penambang.

Kedua, terjadi perubahan pada kondisi rumah dan kepemilikan kendaraan. Kalau dulunya rumah mereka biasa saja, semi permanen atau permanen tapi kumal sekarang rumah para penambang umumnya sudah permanen dengan gaya minimalis yang mewah. Tukangnya pun didatangkan dari Pulau Jawa. Mereka juga memiliki kenderaan roda empat edisi terbaru. Kenderaan mewah yang dulu hanya kita saksikan di kota besar.

Ketiga, sebagian kecil dari mereka ada yang memanfaatkan dana dari tambang untuk pergi umrah dan haji plus. Mereka bisa menyisihkan penghasilan dari tambang ini untuk urusan religius. Keempat, investasi di bidang lain. Bagi mereka yang berpikiran maju, hasil tambang ini menginspirasi mereka merintis usaha baru karena yakin persediaan emas akan habis. Usaha itu seperti perkebunan, property dan perdagangan.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah penambangan emas seperti ini memiliki dampak negatif? Jawabannya banyak. Pertama, lahan pertanian rusak dan berkurang signifikan. Dalam waktu sepuluh tahun saja, sawah sudah berkurang separohnya. Sedang lahan kering seperti kebun karet hilang seperempatnya. Bagi daerah tertentu kebun karet telah musnah separohnya. Lahan ini rusak karena proses pembersihan lahan (land clearing) untuk kegiatan awal penambangan dan tambah parah selama kegiatan penambangan dan apalagi sesudah proses penambangan.

Kedua, areal yang sudah ditambang tidak direklamasi. Sawah dan kebun yang menjadi lubang tambang dibiarkan begitu saja ketika kegiatan penambangan usai. Seharusnya bekas penambangan diperbaiki lagi dengan menutup lubang tambang dan meratakan gundukan tanah, pasir dan batu yang sudah menggunung. Sehingga dapat dimanfaatkan kembali untuk lahan bertani. Kondisi saat ini lubang menganga itu telah menjadi danau dikala hujan, berlumpur mirip kubangan kerbau. Di beberapa lokasi tambang lainnya sudah ditumbuhi rumput liar dan duri. Lahan itu terlantar dan tidak terurus. Lebih cocok untuk arena berburu babi dari pada lahan bertani. Tetapi bila direklamasipun masalahnya belum selesai. Karena akan ada potensi masalah dalam menentukan batas tanah. Karena sawah itu ada pematang dan kebun memiliki pintalak sebagai batasnya. Sekarang ini pematang dan pintalak itu yang sudah tidak ada.

Ketiga, perubahan arah dan lebar sungai. Penambangan di daerah aliran sungai menyebabkan arah sungai berubah. Sungai berpindah dari posisi semula. Selain itu lebar sungai bertambah pula. Karena tanah yang berada di bibir sungai diruntuhkan oleh para penambang. Perubahan ini membawa dampak apabila terjadi banjir. Di musim hujan air di sungai akan meluber ke mana-mana. Air akan menggenangi wilayah-wilayah yang selama ini relatif aman dari banjir. Bahkan beberapa ruas jalan yang berada di pinggir sungai runtuh akibat penambangan ini.

Keempat, penambangan pada lahan berstatus pusaka tinggi menimbulkan perpecahan keluarga. Banyak kasus terjadi sebuah keluarga besar yang rukun akhirnya bercerai berai. Hal ini karena sebagian anggota keluarga merasa tidak puas atas bagi hasil penambangan. Selain itu ada pula kerabat lain yang merasa berhak atas hasil penambangan di lahan pusaka itu, tetapi mereka merasa tidak diajak dan ditinggalkan. Mereka melihat keluarga yang lain berpesta pora sedang mereka masih hidup dalam kondisi pra sejahtera. Akhirnya timbul silang sengketa dan mereka berperkara.

Kelima, muncul masalah sosial akibat pergaulan penambang luar dengan penduduk lokal. Penambang luar disini khususnya para penambang yang berasal dari Kalimantan. Meraka bekerja di tambang yang beroperasi di daerah aliran sungai. Para penambang asal Kalimantan ini memang dikenal jago menyelam untuk menempatkan slang penyedot pasir dan lumpur pada tempat-tempat yang diperkirakan banyak butiran emasnya. Mereka diberikan gaji besar atas keterampilannya itu. Karena banyak uang inilah menyebabkan mereka laku di pasaran. Mereka dengan mudah mendapatkan gadis pilihannya, tetapi begitu mudah pula meninggalkannya. Disinilah letak masalahnya. Karena mereka tidak bertanggung jawab atas gadis yang digaulinya. Ada hamil tapi tidak dinikahinya. Ada juga yang sempat dinikahi tetapi ditinggal begitu saja setelah kegiatan penambangannya tutup. Mereka lenyap, hilang entah kemana. Tinggallah perempuan-perempuan malang itu tanpa suami, banyak pula anak tak yatim tanpa ayah.

Lantas bagaimana tanggapan pemerintah? Sejauh ini aktifitas penambangan sudah diatur pemerintah dalam UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Dengan kewenangannya pemerintah mengatur seluruh aktifitas penambangan yang terdiri dari Pertambangan Mineral dan Batubara. Penambangan emas termasuk kedalam kelompok mineral. Penambangan emas yang ada daerah, umumnya masuk ke dalam klasifikasi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Wilayah yang termasuk dalam WPR ditetapkan oleh bupati/walikota setelah mendapat persetujuan dari DPRD. Artinya kalau penambangan emas tidak berada dalam WPR dan tidak memperoleh izin berarti illegal.

Kebanyakan pertambangan emas ini memang illegal. Karena statusnya itulah maka kegiatan ini tidak menguntungkan rakyat. Yang kaya itu justru cukong. Meraka itu adalah pemilik modal, pemilik mesin dan pemilik tanah. Pekerja hanya dapat sepihan atau remah dari penambangan. Mereka tetap hidup miskin setelah gaji mereka habis untuk membayar hutang selama tambang belum panen. Atau uang mereka habis karena perilaku konsumtif. Sawah habis, kebun karet binasa pula. Kalau sudah begini memang miriplah kubangan. Berlumpur dan berlepotan dimana-mana.***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post