"Yang berempat ini kok selalu duduk di meja sembilan ya?"

Sebuah pertanyaan dari seorang rekan seperjuangan diklat. Saya merasa bukan hanya sekedad pertanyaan, namum sebuah permyataan protes. Karena kami berempat selalu duduk di meja nomor sembilan pada saat makan, entah sarapan, makan siang ataupun makan malam.

Saya, mbaksis wiena, sista vina, dan om mayendri. Sejak hari pertama diklat entah kenapa terbentuk ikatan begitu saja. Awalnya kami saling panggil bapak ibu, biasalah suasana formal, laki-lai dipanggil bapak, perempuan dipanggil ibu.

Detik berganti menit, kemudian entah sejak kapan kami terbiasa bersikap non formal. Saya manggil bu wirna dengan mbaksis. Kadena beliau lebih tua daripada saya. Sedangkan bu vina ssya panggil sista. Karena usianya berada dibawah saya. Sedangkan pak mayendri ssya panggil om. Kenapq saya panggil om? Ada ceritanya. Nantilah saya cerita.

Kembali ke judul, misteri meja sembilan,

Saya tak tahu, entah kenapa kami berempat selalu duduk di meja sembilan. Padahal kita tak ada kesepakatan. Siapa yang duluan sampai, selalu menuju meja sembilan, dan yang belakangan akan ngikut. Anehnya rekan-rekan yang lain tidak pernah duduk dimeja tersebut.

Dan ini masih menjadi pertanyaan saya sampai sekarang. Kenapa kok kamk selalu duduk dimeja tersebut.

Jangan-jangan. Ada...

Au ah.. gelap.