syarifah nihayati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

FOTO KEJADIAN ZAMAN NOW

Terjadi musibah dialun" banjarnegara saat dilaksanakanya pertandingan bola voli HUT PGRI. Tiba" hujan disertai angin kencang datang dan merobohkan be"rapa pohon beringin. Yang paling parah yaitu pohon beringin dibagian tengah yg roboh terdapat 4 korban yg sampai skrng masih blum bsa dselamatkan karena terjepit pohon beringin.

Kutipan berita di atas sempat wara—wiri di alam whatsapp pada 2 hari kemarin, 8 November 2017. Kejadian tak terduga itu menghebohkan wilayah Jawa Tengah khususnya Banjarnegara. Sesuatu yang menjadi highlight dalam benak saya adalah foto—foto kejadian yang menyertai berita itu. Tak usah dideskripsikan, mbok malah membuat perut saya mual—mual.

Marilah sejenak kita mengenang tampilan berita jaman dulu,, saat kita masih seusia anak SD atau SMP. Foto—foto yang menyertai berita pada waktu itu masih lebih menghargai nilai kemanusiaan, pengambil gambar pun bukan orang sembarangan, umpamanya wartawan atau pihak kepolisian. Misalnya, gambar—gambar yang dianggap mengenaskan atau mengerikan dibuat samar agar pemirsa atau pembaca tidak bergidik ngeri saat melihatnya; foto—foto para tersangka/terdakwa suatu kasus diberi label hitam pada bagian matanya, atau wajahnya disamarkan, mungkin untuk menghargai si pelaku. Sudah menjadi pelaku masih juga dihargai. Bahasa yang digunakan juga lebih terjaga dari sisi norma. Kita memiliki akses terbatas untuk memperoleh informasi tersebut.

Zaman now, foto yang menyertai suatu berita musibah atau peristiwa beredar tanpa sensor di berbagai media massa maupun media sosial. Bahkan suatu kejadian sering dimanfaatkan oleh penikmat media sosial untuk update status, dengan memfotonya lekat—lekat, agar kekinian.

Yap! Virus kekinian agaknya membuat banyak orang lalai akan nilai—nilai kemanusiaan; membuat orang dengan nyamannya mengambil gambar dari peristiwa yang tidak nyaman. Alih—alih menolong, berempati, malah sibuk berbalas komentar di dunia maya. Para penikmatnya pun dengan nyamannya mengekspresikan ketidaknyamanan mereka melihat dan mengomentari hal tersebut.

Sebagai manusia dengan label pendidik, semestinya kita tidak terhanyut dengan ketumpulan bersikap ini. Jika dapat menolong, tolonglah orang yang memerlukannya. Jika tak mampu atau sama—sama sedang dalam kondisi darurat, paling tidak kita mengeluarkan empati kita terhadap orang lain. Ketajaman bersikap, kecerdasan berempati tak dapat sepenuhnya kita peroleh di bangku kuliah, namun kita asah dalam sekolah kehidupan itu sendiri.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Betul bu. Budaya kekinian mulai menggeser nilai kemanusiaan dan kesopanan.

10 Nov
Balas

Betul betul betul...kadang kemajuan teknologi komunikasi belum seimbang dengan kemajuan pribadi bun...

10 Nov
Balas

Dampak media terlalu leluasa. Butuh kedewasaan kita bersama.

10 Nov
Balas



search

New Post