Ahmad Syarif Sulaeman

Mengabadikan momen melalui coretan sederhana. Lahir dan besar di Pinrang Sulawesi Selatan, kini ia mengabdi sebagai guru di MAN 2 Probolinggo...

Selengkapnya
Navigasi Web

Tanggung Jawab Bersama (TGM H-40)

Tantangan menulis hari ke-40

Bahasa tak hanya sekadar alat untuk berkomunikasi, melainkan juga sebagai identitas. Sering kali ketika bertemu seseorang, dan mendengarkan bahasa yang ia gunakan, atau dialeg yang ia pakai, sudah bisa menebak asal daerahnya. Tak jarang pula, berkat bahasa jalinan silaturahim akan terjalin erat, khususnya bagi para perantau yang jauh dari kampung halaman.

Dikaruniai keragaman suku serta ragam bahasa yang luar biasa banyak, masyarakat Indonesia harusnya bangga dan melestarikan anugrah tersebut agar tak punah tertelan zaman. Sebab, banyak generasi sekarang yang mulai enggan menggunakan bahasa ibu dengan berbagai alasan, mulai dari lupa, tidak keren, bahkan malu.

Secara sederhana, bahasa ibu merupakan bahasa yang telah dituturkan seseorang sejak lahir, dan dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan sekitarnya. Berdasarkan defenisi tersebut, setiap orang tentu punya bahasa ibunya masing-masing, contohnya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, dan bahasa daerah yang menjadi ciri khas.

Di tengah masyarakat, fenomena orang-orang yang bisa menggunakan bahasa asing lebih dihargai dan dianggap cerdas sering kali ditemui. Hal ini terkadang memicu keengganan seseorang menggunakan bahasa ibu karena menilai bahasa asing lebih keren daripada bahasa sendiri. Tentu tidak ada salahnya ketika mampu menguasai bahasa asing, namun miris jika malah pamor bahasa sendiri justru malah dipinggirkan.

Penulis jadi teringat dengan sebuah lagu berjudul “Makassar bisa tonji” yang dipopulerkan oleh art2tonic (Band asal Makassar). Lagu ini menyindir orang-orang yang cenderung tidak bisa menempatkan situasi penggunaan bahasa yang sesuai, dan selalu menilai bahasa dan dialeg daerah tertentu lebih unggul dan keren daripada bahasa daerahnya sendiri.

Menjelang 21 Februari yang diperingati sebagai hari bahasa ibu, momen ini jangan sampai disia-siakan, dan juga hanya sekadar menjadi acara-acara seremoni yang diagendakan setahun sekali. Perlu tindakan nyata untuk mempopulerkan penggunaan bahasa ibu di tengah masyarakat, khususnya generasi muda.

Pembelajaran bahasa daerah perlu diperkuat, khususnya pada lembaga pendidikan. Meskipun digunakan dalam keseharian, bahasa ibu tetap perlu dikenalkan dan diajarkan. Terlebih banyak pesan-pesan moral yang mengandung banyak nasehat kehidupan yang bisa diperoleh, warisan paling berharga dari nenek moyang yang tak akan dapat tergantikan.

Misalnya saja pribahasa bugis yang merupakan bahasa ibu penulis, “Pura babbara sompe’ku’, pura tangkisi’ golikku, ulebbirenni tellenge nato’walie”. Pribahasa tersebut bermakna, “layar sudah terkembang, kemudi sudah terpasang, aku lebih baik tenggelam daripada surut langkah”.

Pesan moral yang terkandung dalam pribahasa tersebut mengajarkan bahwa segala hal perlu dipersiapkan sebelum melangkah, dan ketika telah mengambil langkah awal, perkara tersebut harus dituntaskan sampai selesai. Seprti halnya ketika penulis memulai tulisan ini, targetnya harus bisa diselesaikan sesuai dengan kriteria dan batas waktu yang telah ditetapkan.

Kalimat-kalimat bijak seperti yang telah dicontohkan di atas, bisa dikemas dengan menarik dan kekinian. Melalui karya kreatif seperti konten video, gambar, maupun status di sosial media, bisa menjadi wadah untuk mempopulerkan pesan-pesan tersebut sekaligus menarik perhatian agar orang-orang tidak melupakan bahasa ibu.

Penulis yang sekarang sedang merantau, tetap menggunakan bahasa bugis dalam interaksi bersama dengan keluarga atau orang-orang yang berasal dari daerah yang sama. Tujuannya agar penulis senantiasa mengingat identitas sebagai orang Bugis, dan tak jarang pula orang-orang di sekitar menjadi tertarik mengetahui bahasa yang penulis gunakan.

Kuncinya ada pada kesadaran diri masing-masing. Kalau bukan penuturnya yang melestarikan bahasa ibu, siapa lagi? Jangan biarkan generasi masa depan tidak mengenal dan mengetahui bahasa ibunya. Ini menjadi tugas dan tanggung jawab bersama.

"Mali siparappe, rebba sipatokkong, malelu sipakainge. Padaidi padaelo, sipatuo sipatokkong"

Jika hanyut saling mengaitkan (Menolong), jika tumbang saling menegakkan, jika lupa saling mengingatkan. Seia-sekata saling membantu dan saling memajukan

My room, 9 Februari 2022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

keren, semoga berhasil sukses...

09 Feb
Balas

Amin, makasih banyak untuk supportnya

10 Feb



search

New Post