Taufiku

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Menggugat Keharaman Politik di Sekolah

Menggugat Keharaman Politik di Sekolah

"Pak Guru pasti pilih Jokowi,” ujar salah seorang siswa dengan nada setengah sinis, “apa, Jokowi itu membela Kristen,” imbuhnya.

Kalimat itu diucapkan oleh siswa saya yang masih kelas empat. Ia mengucapkannya saat mengumpulkan tugas di meja. Kemudian ia kembali ke kursinya meninggalkan saya yang sedikit terperangah. Ya, sedikit saja karena bukan hanya kali ini ia berbicara tentang presidennya berikut politiknya. Ia pun bukan satu-satunya. Selain dia, banyak siswa lain di kelas saya yang berujar sentimen terhadap Jokowi. Bahkan, mungkin semuanya punya perasaan yang sama terhadap sosok yang fotonya terpampang di hadapan mereka, foto yang berdampingan dengan gambar burung garuda. Orang yang harusnya dikagumi dan dimuliakan justru mereka benci dan caci.

Inilah realita yang kita temukan saat ini. Bau politik yang menyengat tidak hanya dihirup oleh orang dewasa, tapi juga diendus anak-anak. Calon-calon pemimpin di masa depan ini turut mendengar isu-isu politik yang tidak semuanya benar. Otak mereka dipenuhi informasi yang sebagian sengaja dihembuskan dengan bumbu kebohongan juga pedasnya fitnahan.

Institusi pendidikan saat ini dan sejak dulu, bukan hanya pada saat Jokowi menjadi presiden, dilarang keras bersentuhan dengan kegiatan politik praktis. Lembaga tidak boleh menjadi kepanjangan tangan suatu partai. Guru berpantang memihak pada satu kelompok politik.

Pasti, ada dasar yuridis yang menjadi pijakan pemerintah dalam menerbitkan regulasi tentang aktifitas politik di sekolah. Tentu ada alasan sosiologis hingga pemerintah mensterilkan institusi pendidikan dari tindakan yang berpotensi menyulut api permusuhan.

Di sekolah, siswa tidak menjumpai kegiatan politik, tetapi di lingkungan rumah, mereka menyaksikan kerasnya pertarungan politik. Mereka mendengar obrolan politik dengan kebrutalannya dari lingkaran penikmat kopi di warung yang mereka datangi untuk membeli jajan. Mereka mendengar hujatan atasnama politik dari tayangan televisi yang setiap hari menyala. Melalui android di tangannya, mereka belajar mengartikan politik.

Karena siswa mendapat referensi politik dari dunia luar dan liar, maka mereka menyimpulkan poitik sebagai permusuhan. Teman yang berbeda politik itu musuh. Tetangga yang berbeda pilihan itu musuh. Orang lain yang beberda dukungan itu musuh. Arti musuh adalah orang yang tidak disenangi, sosok yang dibenci, tidak perlu dihormati. Kemenangan musuh itu kekalahan dirinya dan kekalahan musuh adalah kebahagiaannya.

Persepsi politiik seperti itulah yang bercokol dalam pikiran siswa yang di sekolahnya tak menemukan realitas politik yang sebenarnya. Kurikulum politik yang mereka pelajari di sekolah berbeda dengan politik yang mereka lihat, dengar, dan rasakan. Atmosfer politik di sekolah tidak sepanas politik di lingkungan tinggal mereka. Mereka gagal menafsirkan politik dengan benar karena sekolah tidak memberikan mereka pengalaman politik seperti yang mereka saksikan di media.

Saatnya berpikir ulang tentang haramnya politik di sekolah. Tidakkah lebih baik bila politik dibiarkan merambah ke lingkungan ke sekolah. Lembaga pendidikan bisa saja menunjukkan kedekatannya terhadap salah satu kubu politik tanpa mengintervensi apalagi memaksa warga sekolah lainnya untuk sama dengan pilihan lembaga. Salah seorang guru bisa menunjukkan dukungannya terhadap salah satu calon presiden kepada siswa tanpa menampakkan permusuhan kepada salah satu calon lainnya. Guru lain yang berbeda dukungan juga memiliki hak yang sama untuk menjagokan calonnya. Kedua guru yang berbeda pilihan ini menunjukkan persahabatannya di hadapan siswa.

Lingkungan sekolah yang ramah politik ini akan membentengi siswa dari paparan politik negatif di luar sekolah. Siswa akan menemukan politik yang sejuk tanpa permusuhan. Politik yang memuji calon idolanya tanpa mencaci calon rivalnya. Pada guru-guru inilah siswa menemukan panutan dalam berpolitik santun. Politik tanpa kekerasan kata apalagi intimidasi raga. Di sekolah seperti inilah, siswa membuktikan berbeda politik tidak harus bermusuhan.

Guru bisa menjelaskan perbedaan informasi yang berupa fakta dan hoax seperti berikut:

Jokowi itu anak PKI adalah hoax, sedangkan keturunan dan simpatisan PKI mendukung Jokowi itu benar.

Jokowi anti Islam adalah hoax, sedangkan Jokowi makan semeja dengan penyerang masjid itu benar.

Jokowi mengkriminalisasi ulama itu hoax, sedangkan Jokowi didukung partai bernaungnya kaum syiah, dan sekuler itu benar.

Prabowo dalang kerusuhan 98 itu hoax, sedangkan Prabowo menjadi Pangkostrad pada tahun 1998 itu benar.

Prabowo tidak pernah salat Jum’at itu hoax, sedangkan Prabowo tidak bisa membaca Al-quran dengan benar itu benar.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post