Part II

“Gimana Kang hujannya makin deres. Apa ndak sebaiknya kita masuk aja ke rumah ini. Apalagi dagangan sampean materialnya kain, eman kalo basah kena hujan,” ucap Wignyo sambil melepas helm yang mulai tadi bertengger di kepalanya.

“Kita tunggu dulu Wig, sapa tau bentar lagi reda. Kalo terus-terusan seperti ini takutnya pas banjir di daerah kebun. Mau balik pulang juga tanggung bentar lagi malem.”

Sementara itu kami masih bertahan untuk berteduh di teras rumah kosong ini. Hujan masih cukup deras. Suara petir di kejauhan makin menambah kacau suasana hatiku. Teringat tadi pagi istriku meminta untuk tidak berangkat ke pasar Kalisanen karena terlihat mendung mulai bergerak ke arah sana. Namun aku harus berangkat biar dapur bisa tetap ngebul. Ternyata feeling istriku benar. Sampai di Blater hujan cukup deras dan belum reda sampai saat ini.

“Jam berapa sekarang Wig kok kliatan sudah gelap.”

“Jam setengah enam Kang”, ujar Wignyo sambil melirik jam tangan kuning keemasan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

“Sudah masuk waktu salat magrib Kang, sebaiknya dagangan ini kita masukkan supaya tidak basah. Terus kita cari sumur untuk ambil wudlu. Mungkin di bagian belakang rumah ini ada sumur atau kamar mandi yang bisa digunakan.”

“Tumben otakmu agak encer kali ini,” ujarku sambil memindahkan motorku ke dalam agar dagangan yang kubawa tidak terkena cipratan air hujan.

Sayup-sayup kudengar kumandang azan magrib dari masjid dan musala di sekitar.

Bersambung..