Tri Agus Prasetijo

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

LOMBA LOMBO

Padat merayap. Bulan Mei adalah bulan yang penuh kegiatan. Ada OSN, O2SN, FLSN, Siswa Berprestasi, POPDA dan lain-lainya. Persoalan yang sering muncul dari berbagai kegiatan itu selama ini selalu saja sama. Ajeg, lomba ya lombo. Begitu sebagian besar peserta berucap. Ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, dalam beberapa kesempatan mereka pernah mengalami situasi dimana mengikuti lomba dan dirasa memiliki kualitas lebih baik namun masih saja kalah. Karena penilaian yang tidak objektif dari Juri. Orang bijak selalu mengatakan, kalau masih kalah ya latihan lagi. Mungkin lain waktu kita bisa juara. Benar itu. Tapi, orang bijak yang mana yang mau di kadalin (baca: dibohongin) tiap ikut lomba?

Pada awalnya mendengar lomba ya lombo saya sempat menjadi bingung. Hingga pada suatu kesempatan ada seseorang yang menjelaskan kepada saya bahwa lomba ya lombo itu adalah lomba yang sifatnya apus-apusan (bohongan). Karena menurut mereka sebelum lomba dimulai, juaranya sudah dapat ditentukan. Ini artinya perlombaan itu sudah dikondisikan sehingga para juara sudah bisa dipastikan. Sama artinya dengan pembunuhan karakter bagi peserta lain.

Sungguh ironis memang jika hal semacam ini masih saja terjadi. Banyak sekolah yang mempersiapkan diri dengan serius dalam mengikuti berbagai ajang perlombaan. Banyak mimpi dari anak-anak kita untuk menjadi juara. Dan banyak pelatih dari luar dengan biaya yang tidak murah terlibat di dalamnya. Jika kemudian perlombaan masih saja diwarnai dengan “juara pesanan” maka ini perlu di habisi saja di era jaman sekarang ini. Gregetan kalau melihat ini semua.

Trik-trik mereka sudah terbaca sebenarnya. Masa iya sebelum lomba dimulai, jauh-jauh hari si calon Juri didatangkan ke tempat latihan siswa oleh salah satu sekolah. Si calon juri diminta sarannya apa kekurangan dari penampilan siswanya. Setelah itu si calon juri pulang dengan selembar amplop di tangannya. Dengan cara seperti ini tentu saja Juri akan sungkan menilai jelek pada penampilan siswa itu saat lomba. Bagaimana tidak? Juri sudah memberikan masukan pada saat siswa latihan.. Dan pada akhirnya keputusan juri adalah juara bagi siswa yang di datangi pada saat latihan sebelumnya.

Hal yang menjengkelkan ini pernah juga saya alami. Dulu ketika anak saya kelas 5 (sekarang sudah kuliah semester 6) ikut lomba nari banyak orang mengatakan wah ini calon juaranya. Pada saat diumumkan, jangankan juara. Juara harapan 3 pun tidak. Sebagai alumni Sendratasik (Seni Tari Drama dan Musik) di Unnes Semarang, tentu saja istri saya bertanya-tanya. Kok bisa sih nggak dapat apa-apa. Terus kriteria penilainnya bagaimana sih? Apakah benar tari gaya Banyumasan dengan Gaya Solo Raya begitu berbeda jauh? Mungkin saja benar demikian. Maka untuk memastikan itu, saya dan istri mencoba menemui salah satu Juri beberapa hari setelah perlombaan selesai.

Kami langsung menyampaikan maksud kedatangan kami ke rumah beliau. Sebagai lulusan Sendratasik istriku menanyakan secara teknis penilaian tanpa menyampaikan terlenih dahulu nomor undi anakku saat lomba. Karena ditanya soal teknis penilaian lomba seni tari maka beliau dapat membaca maksud kedatangan kami adalah menanyakan perihal hasil lomba seni tari beberapa hari yang lalu. Dengan sedikit gugup beliau mengeluarkan berkas penilaian yang kebetulan dibawa pulang. Diberikannya lembar penilaian itu kepada kami. Seakan beliau ingin menunjukkan bahwa apa yang dilakukannya sebagai juri sudah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh panitia lomba. Namun ternyata hal ini justru menunjukkan aib besar kepada kami. Dari daftar peserta lomba yang dinilai, ternyata tidak terdapat nilai di nomor undi anakku saat itu yaitu nomor 16. Kami menanyakan kepada beliau mengapa nomer 16 tidak ada nilainya. Awalnya beliau berbelit-belit menjawabnya. Tetapi setelah kami desak terus menerus akhirnya beliau berkata jujur. Kaget kami mendengar jawaban beliau. “Nomer 16 tidak perlu dinilai pak, karena hanya peserta eksibisi saja. Silahkan nilai yang lainnya”. Begitu katanya pesan panitia kepada beliau saat itu.

Pantas saja anak saya tak masuk dalam 6 besar. Jangankan masuk, punya nilai saja tidak. Emosi tingkat dewa rasanya saya saat itu. Andai saya bawa pistol wis tak bedil bathuke (baca: kepala) juri itu. Akhirnya dengan nada tinggi saya sampaikan bahwa no 16 itu adalah anak saya. Dan istri saya ini adalah lulusan Sendratasik di Unnes Semarang. Jadi kami hanya minta keadilan saja. Masa sudah latihan susah payah, sewa pakaian mahal, nunggu lomba sampai berjam-jam, malah pada saatnya tidak dinilai sama sekali. Baliau pucat pasi seketika mendengar saya berbicara dengan nada tinggi. Pada akhirnya saya pun mengendalikan diri. Apapun yang dilakukan beliau atas permintaan panitia. Jadi yang perlu diingatkan nampaknya panitianya saja.

Kepada teman-teman yang terlibat di dalam kepanitiaan lomba apapun itu. Tolong, jangan mengatur juri sedemikian rupa sehingga mematikan karakter peserta lomba. Tunjuk saja sekolah tertentu untuk mewakili lomba. Tidak usah mengadakan seleksi jika pada akhirnya yang lolos sudah ditentukan. Terlalu banyak biaya yang dikeluarkan sekolah-sekolah peserta yang tidak lolos. Ini kan bisa disimpan untuk kegiatan lain yang lebih penting. Dari pada sekedar membiayai lomba lombo tadi. Dan beri kesempatan pada sekolah lain yang benar-benar pantas menjadi juara.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post