MEMBELAH TAPAK JEJAK BOLANGKU
Jiwa Bolang tidak serta merta hilang meski usia sudah lebih dari ½ abad. Bagaimana tidak, meski usia udah memasuki kepala 5 pada tahun 2024 ini tepatnya 57 tahun tetapi hasrat membelah tapak jejak bolang waktu usia belasan tahun masih menyeruak di sela-sela hati yang tiada mampu teredam.
Liburan panjang Kamis sampai dengan Minggu, 9 sampai dengan 12 Mei 2024 itulah aku gunakan pulang kampung di tanah kelahiranku Tuban. Saat itu pula rasa penasaran bagaimana menyusuri hutan jati antara wilayah Tuban – Bojonegoro tepatnya antara desa penulis yang masuk wilayah Tuban dengan Kota Bojonegoro yang berjarak sekitar 5 km di lembah Bengawan Solo yang waktu SMP dan SMA era 80-an selalu aku lalui saat mbajak (nglaju) dengan sepeda onthel. Peluh bercucuran, rasa haus yang amat sangat serta lelah menjadi pemandangan lazim bagi kita yang berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda onthel. Yah meski – saat ini aku lalui daerah tersebut tentunya bukan dengan sepeda onthel lagi, tetapi bayang-bayang grudugan (bersama-sama) bersepeda saat berangkat dan/atau pulang sekolah menjadi kenangan yang tidak mungkin dapat terlupakan.
Sesaat, aku termenung bagaimana di pagi buta sebelum subuh sekitaran jam 04.00 dini hari jika waktunya Pendidikan Djasmani (PD) sepeda kukayuh cepat-cepat karena di wilayah tersebut terkenal dengan nada yang angker. Tiga titik dipercaya angker yaitu: Pertama, Gumuk Jo Klithik, di situ dipercaya orang saat itu sebagai tempat wewe gombel. Kedua, Randu Alas Raksasa Menilo yang dikenal dihuni oleh Sundel Bolong yang suka tertawa melengking jika Tengah malam ada orang lewat. Ketiga, Randu Alas Kembar di atas bukat dekat Bengawan Solo dikenal sebagai tempat pasar setan. Banyak cerita orang melihat disitu biasanya, di tengah malam tampak ramai oleh suasana pasar padahal tempatnya sangatlah sepi. Karena yang ada hanya dua Randu Alas dan Semak-semak belukar. Ketika lewat tiga titik itu, segala doa pun terucap berkomat-kamit dari mulut disertai denganm tancap sekencang-kencangnya sepeda onthel. Dan jika udah lewat, baru pikiran plong.
Tetapi saat ini tempat-tempat tersebut sudah menjadi perkampungan, Gumuk Jo Klithik telah menjadi dusun Jo Klithik yang ramai dengan rumah-rumah penduduk. Sementara Randu Alas yang dulunya megah dan tampak di pinggir jalan, sekarang sudah rata dan di kiri-kanannya dibangun rumah-rumah penduduk. Tinggal Randu Alas Kembar yang masih, tetapi sekarang sudah dibuat tegalan untuk tanaman jagung, ketela pohon di bawahnya, bukan lagi Semak belukar. Begitupun sepanjang jalan telah berdiri rumah-rumah sehingga menjadi agak rame, dan seram seperti dahulu.
Meski demikian, sejatinya akses di tempat tersebut sangat indah, terlebih saat pagi hari. Hijau hutan pohon jati, dan semak-semak perdu menutup hamparan rumput hijau yang sangat-sangat mempesona. Di tempat tersebut juga ada aliran Sungai yang oleh orang-orang disebut dengan Kali Kethek. Belum jelas ceritanya mengapa disebut dengan Kali Kethek. Jika dari sudut bahasa, kata “Kali’ adalah kata Bahasa Jawa artinya Sungai, dan ‘Kethek’ artinya kera atau monyet. Jadi jika diartikan secara harfiah Kali Kethek artinya Sungai Monyet. Barangkali ditempat tersebut dahulu dipakai oleh para kera untuk minum, karena di bagian daratanya terdapat pepohonon rindang seperti pohon beringain, Pohon Panggang (sejenis beringin hutan), dan Randu Alas. Hilir dari Kali Kethek masuk di Bengawan Solo. Di seputaran Kali Kethek yang juga menjadi nama dari Dusun yang berada di wilayah tersebut, bisa digunakan untuk tempat latihan tembak-tembakan bagi anggota TNI Kodim 0813 Bojonegoro. Meski dilarang, jika ada latihan perang-perangan kita biasanya setelah pulang sekolah menunggu sampai selesai. Dan setelahnya kita mencari selongsong peluru yang berserakan di tempat latihan perang tersebut. Selongsong atau peluru yang tidak meledak tersebut kita buat sebagai bandul kalung, dan/atau bandul kunci sepeda. Dan rasanya saat sudah begitu hebat.
Cerita lain tentang Kali Kethek, meski penulis belum pernah melihatnya, di perengan sungai tersebut ada timbuh rumpun bambu tanpa duri. Rumpun bambu itu dipercaya sebagai tongkat Sunan Bonang yang saat itu Raden Sahid diperintahkan untuk menungguinya hingga kurang tahu dari sekala waktu. Ada menyatakan 40 hari, bahkan ada yang mengatakan tahunan. Sehingga tongkat tersebut tumbub menjadi rumpun bambu yang menyelimuti tumbuh Raden Sahid. Baru beberapa waktu kemudian Sunan Bonang kembali ke tempat tersebut untuk membangunkan Raden Sahid yang sudah menjadi lumut karena terbelit rumpun bambu, dan juga air sungai yang meluap saat banjir.
Cerita ini memang tidak lazim, tetapi cukup logis. Pertama, Sunan Bonang adalah salah satu dari Wali Songo yang memiliki wilayah dakwah di seputaran Tuban, Bojonegoro, sampai Rembang. Sedangakan Raden Sahid saat menjadi ‘Perampok Budiman’, memiliki wilayah operasi Tuban, Bojonegoro dan juga Rembang. Jadi dari sudut logika, masuk Kali Kethek berada di perbatasan Tuban – Bojongeoro, Sunan Bonang, dan Raden Sahid wilayahnya juga di Tuban-Bojonegoro – sehingga mereka mungkin bertemu dan peristiwa tersebut terjadi. Kedua, Kali Kethek tempat tumbuhnya rumpun bambu yang dianggap sebagai tongkat Sunan Bonang tepat bermuara di Bengawan Solo. Dengan demkian tempat bertapa Raden Sahid adalah di aliran sungai, yaitu muara dari Kali Kethek dengan Bengawan Solo. Jadi, Raden sahid bertapa atas perintahj Sunan Bonang tidaklah jauh dari wilayah Tuban dan Bojonegoro, dan berada di aliran sungai (kali) sebagai sebutan nama Raden Sahid setelah diangkat menjadi wali songo yaitu Sunan Kalijaga. Apakah hal ini merupakan kebetulan atau tidak, wallahu a’lam bi shawab.
Rabu, 15 Mei 2024
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen ulasannya, Pak. Salam literasi
Terima kasih apresiasinya pak Dede
Mantap surantap ulasannya Mas senior. Sukses selalu
Terimakasih apresiasinya pak Burhani
Asiknya bernostalgia masa kecil yang penuh petualangan. Ulasan yang keren, Pak
Bolang tua bunda hehehe.
Bukan Bolang (Bocah Petualang) lagi, sudah berubah Lalang ( Lansia Petualang), hehe.... Sehat selalu.
Hahaha ... betul betul betul bun
Terimakasih admin
Keren banget, sukses selalu untuk Bapak
Terima kasih apresiasinya opa Sunin
Ulasan keren
Terima kasih apresiasinya bunda
asyiknya napak tilas kisah masa lalu. Sukses Pak
Terimakasih apresiasinya pak Rochadi
Nostalgianya asyik banget, Bapak. Ulasannya siip. Salam sukses.
Terimakasih apresiasinya bunda
Masya Allah luar biasa
Terima kasih apresiasinya pak Sandi