Trianto Ibnu Badar at-Taubany

BAGAIMANA MENULIS ITU? Menulis merupakan pekerjaan yang begitu berat, bahkan dapat membuat orang stress, frustasi, dan kolaps. Bagaimana tidak banyak d...

Selengkapnya
Navigasi Web
Sepenggal Kisah Kampung Halamanku (Bagian 3)
Leluhur Penulis Mbah Mbo (Mbah Putri dari jalur ayah), & Doke (Mbah Putri dari jalur ibu) dalam Upacara Temanten Kakak Ke-2 Mbak Muntik Tahun 1986

Sepenggal Kisah Kampung Halamanku (Bagian 3)

Sepenggal Kisah Penjajahan Belanda di Desa Prambontergayang

Penjajahan Belanda atas Indonesia selama ini diakui berlangsung selama 3,5 abad atau 350 tahun. Bila Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun, hal ini dihitung mundur dari tahun 1945 artinya Indonesia dijajah Belanda mulai dari tahun 1595. Sedangkan tahun 1596 Cornelis de Houtman baru pertama kali mendarat di Banten dan dalam catatan sejarah de Houtman adalah orang Belanda yang pertama kali menginjakkan kaki di Nusantara. Artinya, pada tahun 1595 belum ada seorang pun dari bangsa Belanda yang tiba di Nusantara. Saat Cornelis de Houtman mendarat di Banten itu tujuannya untuk berdagang, sekalipun de Houtman melakukan penjelajahan bukan semata-mata berdagang di tahun 1596, tentu saja yang dijajah bukan Indonesia.[1]

Penjajahan bangsa Barat atas Indonesia dalam cacatan sejarah di mulai pada tahun 1800 M. Belanda sendiri cuma 126 tahun sampai tahun 1942. Sejak tahun 1800-1811 itu masa Prancis, dan 1811-1816 itu masa Inggris. Kolonial Belanda murni menjajah Indonesia mulai tahun 1816-1942. Tapi keseluruhan masa kolonial penjajahan dari 1800-1942 selama 142 tahun.

Lepas dari perbedaan waktu tentang penjajahan Belanda atas Indonesia, yang jelas pada masa-masa tersebut memang telah terjadi imperialisme bangsa Barat atas Indonesia setelah runtuhnya masa kerajaan-kerajaan di Nusantara. Pada saat tersebut masih dikenal dengan nama Nusantara, yaitu suatu sebutan wilayah, tetapi sifatnya tidak mengikat, antara daerah satu dengan yang lain itu tidak ada ikatan. Nama Indonesia itu sendiri belum pernah ditulis orang pada tahun sebelumnya. Sebutan "Indonesia" baru dikenal 254 tahun sesudah de Houtman menginjakkan kakinya di Indonesia. Nama Indonesia pertama kali dipakai pada tahun 1850.

Catatan-catatan buruk menghantui pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. Sejak Cornelis de Houtman seorang Belanda yang mengemban ekspedisi mencari daerah sumber rempah-rempah. Ia mendarat pertama kali ke Indonesia tepatnya di Pelabuhan Banten pada tahun 1595 dengan armada berjumlah 4 kapal besar, 249 awak, dan 64 pucuk Meriam.[2] Saat itulah benih-benih keinginan untuk menjajah Indonesia mulai tampak. Dengan alasan untuk berdagang rempah-rempah yang memang sumber utama ada di Indionesia, Belanda kemudian mengirim armadanya dan melakukan hegemoni perdagangan di wilayah Nusantara. Keberhasailan de Hotman ini mejadi panduan bagi penjelajah Belanda yang menggelar ekspedisi besar-besaran ke Nusantara. Hal ini terbukti kemudian dengan berdatangannya armada-armada Belanda ke Nusantara seperti pada Maret 1599 Jacob van Neck tiba di 'Kepulauan Rempah-rempah' Maluku. Ia kemudian kembali ke Belanda dengan mengangkut banyak rempah-rempah.

Dari keberhasilan-keberhasilan Belanda tersebut, kemudian melahirkan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) kongsi dagang Belanda yang kemudian berkembang dan memonopoli perdagangan di kawasan Asia. Organisasi ini bisa menyaingi serikat dagang Portugis dan Inggris yang sudah dibentuk sebelum VOC berdiri. Adanya VOC tersebut menorehkan sejarah kelam bagi bangsa Indonesia dengan monopoli dagangnya.[3]

Pada kenyataan kemudian VOC melemah ketika para petinggi-petingginya tak lagi peduli dengan pembagian saham dan mulai ingin memperkaya diri. Melemahnya VOC mulai terlihat pada abad ke-18 di mana korupsi mulai merajalela den menimbulkan beban hutang yang menumpuk. Hal ini dimanfaatkan Inggris dan Perancis untuk memperkuat serikat dagangnya dan pelan-pelan menyerang daerah-daerah kekuasan VOC.

Penjajahan Belanda dengan trik yang dilakukan benar-benar menyengsarakan rakyat. Keganasan Belanda tidak saja menampatkan bangsa Indonesia sebagai kelompok Bumi Putera yang menempati kasta bawah dalam pemeirntahan Hindia Belanda, tetapi juga menjadikan mereka budak yang bekerja tidak mengenal waktu, dengan upah yang sangat-sangat minim bahkan memperlakukan rakyat Indonesia tidak manusia. Dan itu juga terasakan di kampung halaman penulis, Belanda melakukan penyerangan membabi buta – tidak saja terhadap para laskar pejuang tetapi juga masyarakat biasa.

Doke (Mbah Saminten)[4] menceritakan bagaimana beliau saat masih kecil diajak oleh sang ibu yang bernama Buyut Tumpek ke luar masuk dadah atau semak belukar (hutan kecil) saat Belanda menyerang desa-desa karena sedang mencari tentara dan/atau pejuang. Peristiwa yang sama juga saat terjadi baku hantam antara tentara atau laskar pejuang dengan Belanda, maka Masyarakat diminta untuk meninggalkan desa dan bersembunyi atau menyelamatkan diri ke tengah hutan atau semak belukar. Mereka umumnya lari ke Dusun Bopong, dan Desa Jati yang berada di sebelah Barat Desa Prambontergayang, atau Dusun Ngampon, dan Desa Cekalang yang berada di sebelah Barat Laut Desa Prambontergyang. Bahkan mereka tidak sedikit yang lari bersembunyi ke tempat yang lebih aman meski jauh yaitu Desa Tluwe karena di daerah ini dulu masih berupa hutan belantara. Daerah tersebut dijadikan persembunyian para wearga dewsa karena memang  wilayahnya masih berupa semak dan/atau hutan belantara serta sungai-sungai pada saat itu.

Satu kalimat yang dajarkan oleh para orang tua pengungsi kepada anak-anak mereka ketika bersembunyi dan melewati daerah atau tempat yang dianggap angker (keramat) adalah membaca semillah atau somillah (lafadz baca bismillah yang belum fasih) atau amit-amit mbah buyut (mohon ijin leluhur) kami lewat. Sedangkan bagi yang sudah fasih tetap membaca sesuai lafadz bismillah.

Satu peristiwa penting yang tidak pernah dilupakan oleh Masyarakat Desa Prambontergayang adalah penyerangan Belanda dengan mortir untuk membuyarkan dan membunuh masyarakat yang sedang hari pasaran.[5] Saat itu pasar yang berada di Dusun Jalin Desa Prambontergayang sedang hari pasaran Wage. Pada hari tersebut sedang ramai-ramainya penjual dan pembeli bertransaksi. Ribuan warga masyarakat sedang memenuhi pasar, tiba-tiba Belanda melakukan penyerangan dengan alasan ada laskar pejuang yang sedang menyamar sebagai rakyat biasa. Memang pada masa perjuangan tidak sedikit laskar pejuang yang nawur kawula atau membaur dengan masyarakat. Atas alasan itu Belanda melakukan penyerangan terhadap warga desa Prambontergayang yang sedang hari pasaran.

Tiga buah mortir di luncurkan oleh Belanda dari arah Telon Kenthi (nama pertigaan yang berada di Dusun Kenthi salah satu dusun yang mejadi wilayah Desa Prambontergayang) yang berjarak sekitar 10-an km dari keramaian pasar. Mendengar ledakan mortir, Masyarakat yang berada di pasar segera membuyarkan diri mereka lari dan bersembunyi untuk menyelamatkan diri masing-masing. Barang dagangan tidak dipedulikan lagi, ditinggal begitu saja di pasar atau kedai. Untungnya mortar tersebut tidak tepat jatuh di tengah pasar (tidak tepat sasaran). Dua mortir meledak di sebelah barat pasar yang berjarak kira-kira 0.5 sampai 1 km dari pasar. Sedangkan 1 mortir lagi meledak di utara pasar yang berjarak sekitar 300 meter dari pasar, tepatnya jatuh di pojok rumah seorang saudagar kaya saat itu bernama Mbah Thalib. Percikan atau pecahan mortar mengenai kaki kanan seorang penjaga rumah yang bernama Mbah Karidin. Akibat terkena pecahan mortir tersebut Mbah Karidin menjadi cidera tetap (seumur hidup), Kaki kanan Mbah Karidin hancur saat itu sehingga membuat dirinya pincang selamanya.

Ada cerita yang belum diketahui kebenarannya secara pasti, tetapi masyarakat sekitar meyakininya, bahwa saat itu Mbah Karidin diperkirakan sedang melakukan niatan yang buruk dengan menyatroni rumah Mbah Tahlib yang ditinggal pemiliknya lari dan sembunyi menyelamatkan diri karena serangan mortir pertama dan kedua Belanda. Memang begitu mortir Belanda yang ditujukan dengan sasaran keramaian pasar, jatuh di sebelah barat Pasar. Saat itu tidak hanya Masyarakat yang sedang di pasar yang lari berantakan menyelamatkan diri, tetapi juga Masyarakat warga desa Prambontergayang berlarian meninggalkan rumah mereka untuk sembunyi menyelamatkan diri. Saat itulah banyak rumah kosong dan terbuka tanpa dikunci serta begitu saja ditinggalkan pemiliknya menyelamatkan diri. Jadi bagi warga masyarakat yang berniat kurang baik dapat dengan mudah melakukan niatnya. Dan Mbah Karidin bagi warga di sekitar dianggap terkena tulahnya.

Dipihak lain penulis pernah mendengar cerita sendiri dari Mbah Karidin. Mbah Thalib yang kaya raya tersebut memperoleh harta kekayaan secara tidak wajar, dan diyakini menggunakan pesugihan[6] dengan cara memelihara thuyul.[7] Saat itu Mbah Karidin bermaksud memata-matai thuyul tersebut sambil membawa sebilah pedang untuk menikamnya. Benar juga, sekonyong-konyong Mbah Karidin melihat thuyul ke luar dari pojok rumah Mbah Thalib. Mbah Karidin segera membacokkan pedangnya ke tubuh Thuyul itu, tetapi naas. Tidak tahu datangnya, tiba-tiba ledakkan mortir jatuh tidak jauh darinya dan pecahan mortir itu melukai bahkan menghancurkan kaki kanannya. Mbah Karidin gagal menghabisi si thuyul, bahkan dirinya harus kembali pulang dengan menyeret kaki kanannya yang hancur dan berdarah. Ia mengikat kakinya yang hancur dengan sulur tanaman sembukan. Memang Mbah Karidin dikenal orang yang memiliki kelebihan atau kalua tidak boleh dibilang memiliki kesaktian. Hal ini terbukti, tidak begitu lama kakinya sudah pulih kembali meskipun harus menderita cacat seumur hidup (pincang). Dan setelah itu Mbah Karidin dipercaya Masyarakat sebagai penjaga makam Krapyak Prambontergayang bersama anaknya Karidin atau De Din (singkatan dari Pakde Karidin) yang melayani pemakaman warga di siang hari, dan saat malam hari menjadi penjaga Pasar Prambontergayang. Mbah Karidin ini berusia cukup panjang dan meninggal diusia sekitar 90-an pada tahun 1996.

Kembali pada penyerangan Belanda atas Pasar Prambon (nama untuk menyingkat nama Desa Prambontergayang). Setelah Belanda gagal melakukan serangan atas Pasar Prambon, tiba-tiba datang laskar pejuang, dan terjadilah baku tembak di daerah Telon Kenthi. Pertempuran terjadi sekitar 3 jam lebih. Bukti pertempuran di Telon Kenthi tersebut berhamburan selonsong peluru yang ditembakkan oleh kedua belah pihak. Tetapi karena jumlah dan peralatan laskar pejuang yang sangat terbatas (minim), mereka dapat dipukul mundur oleh pasukan Belanda. Akhirnya para laskar pejuang mundur ke arah Selatan dan masuk ke Makam Karangkali sebuah pemakaman yang dikenal dan diyakini masyarakat Desa Prambon angker, dan memiliki keramat. Di sini tantara Belanda pun tidak berani mengejar laskar pejuang untuk melanjutkan pertempuran.

Atas keberhasilan memukul mundur laskar pejuang, Belanda kembali ke distrik Rengel (sekarang kecamatan Rengel) tempat markas para tantara Belanda yang berjarak sekitar 40 km arah Timur Laut dari Desa Prambon.

[1] “Menguak Berapa Lama Sebenarnya Belanda Menjajah Indonesia" selengkapnya https://www.detik.com/jabar/berita/d-6612895/menguak-berapa-lama-sebenarnya-belanda-menjajah-indonesia.

[2] Kedatangan, Masa Kejayaan, hingga Keruntuhannya", Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2022/01/10/205234978/sejarah-voc-di-indonesia-kedatangan-masa-kejayaan-hingga-keruntuhannya?page=all#.

[3] "Sejarah VOC di Indonesia: Kedatangan, Masa Kejayaan, hingga Keruntuhannya", Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2022/01/10/205234978/sejarah-voc-di-indonesia-kedatangan-masa-kejayaan-hingga-keruntuhannya?page=all#.

[4] Mbah Saminten adalah nenek penulis dari jalur ibu yang biasa penulis panggil Doke singkatan dari Mbah Dok atau Mbah Putri atau Nenek. Beliu biasanya bercerita tentang bagaimana Belanda dan/atau Jepang menjajah Indonesia terutama di kampung halaman penulis. Cerita itu biasa beliau lakukan saat menjelang tindur (dongeng pengantar tidur), karena penulis saat masih kecil tidurnya bersama dengan nenek (doke). Beliau meninggal tahun 1997 dalam usia sekitar 100 tahun. Jadi beliau mengalami betul tentang masa Belanda, Jepang dan juga G 30S/PKI

[5] Pasaran atau Hari Pasaran adalah hari/waktu ramai-ramainya pasar, yang mana pada saat itu banyak penjual dan pembeli yang sedang bertransaksi. Pasar tradisional di desa umumnya tidak setiap hari ramai sebagamana pasar umumnya di perkotaan. Dalam satu minggu/hari pasarana umum hanya ada dua hari pasaran yang ramai. Misalnya untuk Pasar di Desa Prambontergayang (tempat lahir penulis) hari yang ramai di pasar/hari pasaran jatuh pada hari pasaran Wage dan Pahing. Sedangkan untuk hari pasaran kliwon, legi, dan pon sepi penjual dan pembeli. Mereka (para penjual) pada hari pasaran tersebut menjajakan/membuka kedainya di pasar lain (di desa/kampung sebelah). Misalnya untuk di kecamatan Soko hari pasarannya adalah Pon dan Legi.

[6] Cara mendaoatkan harta kekayaan dengan memuja sesuatu seperti memelihara makhluk halus semisal Thuyul, dan/atau memuja Blorong yaitu makhluk halus pemilik kekayaan. Bagi masyarakat Sunda di Jawa Barat yang melakukan menghimpun harta kekayaan dengan menjadi Babi Ngepet, yaitu babi jadi-jadian dari orang pemujanya.

[7] Makhluk halus yang berwujud bocah bayi atau lebih kecil lagi, berambut gundul (plonthos) kepalanya, dan memiliki gigi tajam menyeringai. Makhluk ini dikenal dan diyakini mampu mengambil simpanan uang seseorang dan diberikan ke majikannya (sang pemuja makhluk tersebut).

Ahad, 14 April 2024

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap surantap ulasannya Mas senior. Sukses selalu

14 Apr
Balas

Terimakasih apresiasinya pak Burhani

14 Apr

Mantap ulasannya, Pak

15 Apr
Balas

Terima kasih bunda

17 Apr

Terima kasih admin

14 Apr
Balas

Mantap banget, sukses selalu untuk Bapak

14 Apr
Balas

Terimakasih apresiasinya Opa Sunin

15 Apr

Keren bgt ulasannya p Tri. Sy jg sering bertanya dlm hati, Cornelis de Houtman dtg 1596 mn mngkin 350 th mereka menjajah Indonesia? Smpe skrng blm terjwb faktanya

14 Apr
Balas

350 tahun dihitung mundur dari tahun 1945 sejak datangtnya de Hutman pada th 1595 bun. Jadi sebenarnya kalau bener2 menjajah tidak sampai 350 tahun. Mksh atas apresiasinya ...

14 Apr

Luar biasa kisahnya, Bapak. Sejarah yang jarang orang ketahui. Salamsukses.

14 Apr
Balas

Terimakasih apresiasinya Bunda

15 Apr

Luar biasa ulasannya pak Ibnu. Sukses selalu sahabat

15 Apr
Balas

Teriakasih apresiasinya sahabatku Pak Sultan

15 Apr

Keren ulasan sejarahnya.

14 Apr
Balas

Terimakasih apresiasinya bunda

14 Apr

Keren menewen ulasannya

14 Apr
Balas

Terimakasih apresiasinya Pak sandi

15 Apr

Sama sama

16 Apr

It is not true that Indonesia was colonized by the Dutch Colonial for 350 years. G. J Resink has discussed all of this, please read his article about straightening out history in Indonesia...

14 Apr
Balas

Terimakasih apresiasinya Ninas. Anda benar sekali. Hitungan 350 tahun itu jika dihitung mundur berarti 1895 s.d 1945. Padahal kita tahu Cornelis de Houtman baru masuk Nusantara (Banten) Thaun 1896. Dan itu belum menjajah baru berdagang, memang sbeelumnya sudah ada koloni Perancis, Portugis, & Inggris yang juga berdagang ke Nusantara. Jika VOC dianggap sebagai mulai menjajahnya Belanda maka VOC berdir tahun 1602. Padahal itu pun baru hegemoni perdagangan belum penjajahan sebenarnya karena masih banyak perlawanan raja2 Nusantara yang belum dalam genggaman Belanda. Selain itu Belanda sendiri sudah diusir Jeoang tahun 1942. Jika memang hirung sejak bangsa Eropa masuk Nusantara Albuquerque (Portugis) masuk Nusantara (Malaka) tahun 1511 dan saat itu Kerajaan Nusantara masih berdiri kokoh, dan sejak tahun 1800-1811 itu masa Prancis, dan 1811-1816 itu masa Inggris. Kolonial Belanda murni menjajah Indonesia mulai tahun 1816-1942. Jadi hanya sekitar 126 tahun, padahal masa itupun sebenarnya belum semua kerajaan2 Nusantara dapat dikuasai pada masa Stamford Raffles. Jadi sebenarnya 350 tahun itu merupakan penyemangat bangsa Indonesia (Nusantara) sendiri untuk bangkit dari keterpurukan dan hilangnya sendi2 kebangsaan yang semuala merupakan negara maju dari kerajaan2 Nusantara yang luar biasa. Sehingga jika dihitung benar2 penjajahan Belanda atas Indonesia itu hanya sekitar 40-50 tahun.

15 Apr

Terimakasih apresiasinya Ninas. Anda benar sekali. Hitungan 350 tahun itu jika dihitung mundur berarti 1595 s.d 1945. Padahal kita tahu Cornelis de Houtman baru masuk Nusantara (Banten) Thaun 1596. Dan itu belum menjajah baru berdagang, memang sbeelumnya sudah ada koloni Perancis, Portugis, & Inggris yang juga berdagang ke Nusantara. Jika VOC dianggap sebagai mulai menjajahnya Belanda maka VOC berdir tahun 1602. Padahal itu pun baru hegemoni perdagangan belum penjajahan sebenarnya karena masih banyak perlawanan raja2 Nusantara yang belum dalam genggaman Belanda. Selain itu Belanda sendiri sudah diusir Jeoang tahun 1942. Jika memang hirung sejak bangsa Eropa masuk Nusantara Albuquerque (Portugis) masuk Nusantara (Malaka) tahun 1511 dan saat itu Kerajaan Nusantara masih berdiri kokoh, dan sejak tahun 1800-1811 itu masa Prancis, dan 1811-1816 itu masa Inggris. Kolonial Belanda murni menjajah Indonesia mulai tahun 1816-1942. Jadi hanya sekitar 126 tahun, padahal masa itupun sebenarnya belum semua kerajaan2 Nusantara dapat dikuasai pada masa Stamford Raffles. Jadi sebenarnya 350 tahun itu merupakan penyemangat bangsa Indonesia (Nusantara) sendiri untuk bangkit dari keterpurukan dan hilangnya sendi2 kebangsaan yang semuala merupakan negara maju dari kerajaan2 Nusantara yang luar biasa. Sehingga jika dihitung benar2 penjajahan Belanda atas Indonesia itu hanya sekitar 40-50 tahun.

15 Apr

Referensi2 ini bisa dibaca dalam Sartono Kartodirdjo, 1992, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900, Dari Era Emporium sampai Imperium Jilid 1, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, dan/atau Marwati Djoened Posponegoro & Nugroho Notosusanto, 1992, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai Pustaka Depdikbud, dan/atau buku Penulis, Trianto. 2007. Falsafah Negara & Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Suwun

15 Apr



search

New Post