Oleh : Tri Hanifah

Suatu senja, di teras rumahku, aku duduk di atas kursi bambu yang warnanya mulai coklat kering. Entah apa yang kupikirkan, kosong, dan merasa sangat jenuh. Kurasakan rutinitas sehari-hari yang mulai menjemukan.

Sejak duduk di bangku SD, jika ada yang menanyakan apa cita-cita ku, aku pasti menjawab menjadi guru. Dan aku merasa cita-cita ku itu akan kandas, sekedar mimpi.

Dan sore ini, aku merasa menjadi anak yang sangat tidak beruntung. Tiba-tiba melintas di jalan depan rumah, ibu Ningrum, mengendarai motor yang berjalan pelan. Dia ibu dari temanku Lesi. Setengah berteriak aku menyapanya.

"Mampir Bu Ning!" Sapaku. "Iya suwun mb." Bu Ningrum membalas dengan melambaikan tangan.

Tidak kusangka, setelah sapaan sambil lalu sore itu merubah cerita jalan hidupku. Dua hari kemudian, Ibu Ningrum datang ke rumah ku bersama Lesi. Lesi adalah temanku di SD Negeri yang ada di desaku.

"Hani, di daerah Mesuji ada SD sedang butuh guru honor. Karena kekurangan pendidik. Apakah kamu tertarik Nduk, jika kamu minat, bisa kesana dengan Lesi." Ibu Ning menjelaskan maksud kedatangannya.

"Saya cuma lulusan SMA Bu, apa saya bisa ya?" Aku ragu.

"Kamu pasti bisa Nduk. Disana butuh pelatih pramuka, menari, dan kegiatan-kegiatan lainnya supaya SD di desa Agung Batin menjadi maju." Ibu Ning menguatkan ku.

Aku senang sekali mendengar ini. Aku merasa ini jawaban Tuhan terhadap doaku. Menjadi guru adalah cita-cita ku. Dan aku siap meskipun akan tinggal di desa transmigrasi dan masih pelosok.

"Disana ada bu lek nya Lesi. Guru PNS di SD itu. Jangan khawatir, insya Allah ada yang mengawasi dan menjaga mu dan Lesi. Kalian nanti bisa tinggal di perumahan SD, mau ya Nduk?"

Lalu, apakah aku akan pergi merantau? Temui jawabannya di kisah selanjutnya.

#Tantangan Hari ke-18