Tri Khasanah

Guru di SD Negeri 1 Bojong Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Cerebral Atrophy pada Gitraf

Cerebral Atrophy pada Gitraf

Cerebral Atrophy pada Gitraf

Semua Ibu adalah perempuan, tetapi tidak semua perempuan bisa menjadi seorang ibu. Kalimat itu masih terngiang di telingaku ketika menonton Televisi beberapa tahun yang lalu. Aku membenarkan kalimat itu. Faktanya memang demikian, ada beberapa perempuan yang ditakdirkan tidak mempunyai keturunan. Berbahagialah bagi perempuan yang bisa menjadi seorang Ibu.

Hari ini, aku berkunjung ke rumah Satya Gitraf Hanafi. Seorang anak yang menderita Cerebral Atrophy (Otak yang Mengecil). Rumahnya di Desa Bojong Kecamatan Mrebet. Gitraf adalah panggilan akrabnya. Gitraf lahir pada tanggal 25 Februari 2006. Di bulan ini usianya genap 12 tahun. Bu Yanti bekerja sebagai pedagang sembako kecil-kecilan. Sedangkan Pak Agus bekerja membuat bahan bangunan dari kayu. Bu Yanti dan Pak Agus adalah orang tua Gitraf.

Gejala Cerebral Atrophy pada Gitraf diketahui pada usia enam tahun. Sebelumnya Gitraf pernah bersekolah di SD Negeri 1 Bojong Kecamatan Mrebet. Saat pelajaran olah raga, Bu Yanti kaget melihat kondisi Gitraf yang tidak bisa melakukan gerakan tubuh untuk menahan keseimbangan badan. Guru olah raga menyuruh Gitraf untuk mengangkat kaki kirinya sambil berjalan, tetapi Gitraf tidak bisa melakukannya dan berkali-kali terjatuh. Akhirnya Bu Yanti memeriksakan Gitraf ke Rumah Sakit terdekat. Bu Yanti berkonsultasi dengan dokter tentang kejadian yang dilihatnya pada diri Gitraf. Dalam sekejap dokter sudah bisa mendeteksi yaitu ada syaraf yang kurang normal pada diri Gitraf. Bu Yanti segera membawa ke poli syaraf dan di CT. Scan. Ternyata dokter syaraf di RS Purbalingga tidak mampu mengobati dan Gitraf di rujuk ke Rumah Sakit Karyadi Semarang. Setelah di Rujuk ke RS Karyadi Semarang, Gitraf harus MRI dengan biaya yang mahal. Bu Yanti dan keluarga tidak mampu untuk membayar biaya itu. MRI dilaksanakan di RS Elisabet. Sedangkan orang tua Gitraf tidak memiliki kartu BPJS atau Jamkesmas yang bisa dipakai untuk mengurangi biaya pengobatannya. Akhirnya Bu Yanti dan keluarga tidak menyanggupinya.

Bulan Desember 2014 Gitraf mengalami demam tinggi dan kejang-kejang. Bu Yanti membawa Gitraf ke rumah sakit dengan bantuan obat seadanya. Alhamdulillah, kejang-kejang Gitraf menjadi sembuh. Pulang dari rumah sakit, anggota tubuh Gitraf menjadi bertambah lemah tidak seperti keadaan semula. Hal itulah yang membuat Bu Yanti dan keluarga bertambah sedih. Gitraf yang tadinya bisa berjalan berubah menjadi lemah. Kekuatan tubuh Gitraf hilang seketika oleh demam tinggi hingga kejang itu.

Keseharian Gitraf hanya tidur terbaring sambil menonton Televisi. Bu Yanti sangat bersedih ketika melihat anak-anak seusia Gitraf memakai seragam dan bersekolah. Bagaimana dengan masa depan Gitraf nanti. Apakah Gitraf akan selalu terbaring untuk selamanya. Tetesan air mata membasahi pipi Bu Yanti membayangkan masa depannya nanti. Walaupun lemah, Gitraf masih bisa berkomunikasi dan menonton televisi. Tiba-tiba ketika Bu Yanti mendekati Gitraf, entah sadar atau tidak Gitraf bercerita, "Bu, kata Upin Ipin, jika tidak bersekolah cita-cita hanyalah angan-angan" Astaghfirullohal'adziim betapa terharunya hati Bu Yanti. Seolah-olah Gitraf sedang membayangkan dirinya sendiri. Anak seusia Gitraf sudah memikirkan masa depannya. Bu Yanti terharu dan langsung memeluk Gitraf sambil meminta maaf karena tidak mampu berbuat apa-apa.

Gitraf sudah merasa nyaman walau tidak bersekolah. Hal itu terjadi karena di rumah Gitraf selalu ada hiburan. Diantaranya menonton Televisi dan ada anak-anak yang bermain menemani Gitraf. Untuk sesaat orang tua Gitraf dapat merasa nyaman melihat Gitraf bisa tersenyum bersama teman-temannya. Namun kesedihan akan selalu muncul jika membayangkan untuk masa depannya kelak. Apakah Gitraf akan tetap berbaring untuk selamanya. Walau demikian Bu Yanti tetap bersyukur setidaknya Gitraf masih bisa berkomunikasi dan berfikir normal seperti anak-anak pada umumnya.

Sebagai sahabat Bu Yanti, aku memberikan motivasi jika Bu Yanti bukanlah satu-satunya seorang Ibu yang merasakan hal itu. Di sekeliling kita masih banyak perempuan yang mempunyai penderitaan sama. Sebagai seorang Ibu kita tidak boleh lemah. Jika kita tidak mampu memberikan pengobatan karena alasan biaya. Maka kita masih bisa memberikan kasih sayang untuk mengurangi penderitaannya. Kasih sayang dapat mengubah rasa sakit menjadi sebuah senyuman dengan sebuah ketulusan. Seorang Ibu harus mampu meyakinkan anaknya kalau semuanya baik-baik saja.

Bukan hal yang mudah untuk bisa melakukan semua itu. Beban mental seorang Ibu pasti akan lebih berat untuk menghadapi kenyataan. Ketika keluar dari rumah melihat ke arah sekitar, rasa percaya diri seorang Ibu akan berkurang. Apalagi jika bertemu dengan teman yang bertanya tentang anak mereka. Sekarang umur berapa dan sekolah dimana. Sungguh jawaban yang teramat berat untuk diucapkan. Teman yang bertanya tidak bermaksud untuk menyakiti kita, tetapi kita akan merasa terluka jika ada teman yang bertanya. Entah sengaja atau tidak hati seorang Ibu yang mengalaminya terasa rapuh. Meskipun kita tahu jika semua itu adalah ujian dan kita tidak akan mampu untuk menolaknya. Kita harus tetap besemangat dan mengambil langkah yang bijaksana untuk menghadapinya.

Purbalingga, 06 Februari 2018

Tri Khasanah

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post