Tri Khasanah

Guru di SD Negeri 1 Bojong Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga. ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Hanya dengan Bekerja

Hanya dengan Bekerja

Berpikir tentang kesuksesan, sungguh teramat jauh. Bagai langit dan bumi jika dalam perbandingan. Belum ada yang bisa dibanggakan untuk saat ini. Rumah belum punya. Mobil apalagi. Hutang juga masih ada. Entah sampai kapan dunia kepedihan dapat menghilang dalam perasaan. Menengok ke atas. Banyak terlihat bintang bersinar terang. Bagai sahabat yang sudah sukses menikmati indahnya surga dunia. Bagaimana tidak, mereka punya rumah mewah, mobil bagus, dan hidup serba ada. Tidak ada kekurangan sama sekali jika dipandang kasat mata. Mungkinkah seperti apa yang aku bayangkan keadaannya.

Huuuffftt... Keringat hari ini semoga menjadi berkah atas kerja kerasku. Aku mencintai pekerjaan ini. Tidak ada pekerjaan yang lebih membahagiakan selain pekerjaan yang sedang aku tekuni. Apapun yang terjadi, biarlah aku fokus pada pekerjaan ini. Tidak ada salahnya jika dalam hidup ada tekad untuk membuka wirausaha. Ini impianku sejak duduk di bangku SMA. Aku membayangkan, betapa indahnya menjadi seorang pengusaha. Terlihat mapan dan bisa memberikan peluang kerja kepada orang lain. Usahaku sebagai sampingan di luar pekerjaan pokok.

Dahulu, di Desaku banyak seorang pedagang bisa menjadi juragan terkenal sampai ke luar desa. Aku mengamatinya. Rata-rata pedagang itu salah satu dari pasangannya menjadi seorang pegawai negeri. Menurut mereka, jika istri yang menjadi pegawai negeri, maka suaminya yang menjadi seorang pedagang. Hal itu dilakukan agar apa yang mereka kelola hasilnya bisa untuk saling melengkapi. Coba saja dalam hitungan Matematika. Istri dapat gaji setiap bulan, sedangkan suami dapat penghasilan setiap hari. Waaahhh sungguh luar biasa. Kehidupan mereka terlihat damai, tentram dan sukses dalam waktu singkat. Siapa yang tidak tertarik dengan kehidupan mereka. Upst... Tidak boleh menghitung penghasilan orang lain. Sebab, apa yang kita bayangkan belum tentu sama keadaannya.

Menengok ke belakang, mengamati tetangga yang ada di sekitarku. Sepertinya, kehidupan mereka sederhana. Pendidikan, penghasilan dan pola hidup masih tergolong belum mapan. Tidak semuanya, tapi hampir sebagian besar. Aku sering menjadi tempat curhat bagi mereka. Konon katanya, kehidupan mereka sangat menyedihkan. Hidup yang pas-pasan seringkali membuat mereka menjadi salah langkah dalam mengambil keputusan. Apa maksudnya ya? Oh iya, aku pernah keliling menemui beberapa tetangga dengan kondisi yang serba belum mampu. Ternyata, warga di sekitarku, terjajah oleh hutang sistem jemput bola.

Banyak penawaran pinjaman uang yang sistemnya tiap hari ditagih. Ada juga yang tiap Minggu atau setiap dua minggu sekali. Tetanggaku curhat begitu, dia pinjam uang untuk menutup angsuran satu hari. Itu baru pinjaman dalam bentuk uang. Ada juga bentuk hutang yang berupa barang-barang. Sistem kredit barang tiap hari namanya. Bekerja atau tidak pokoknya mereka harus mengangsur setiap harinya. Kemajuan teknologi membuat sebagian orang-orang yang tertinggal dalam pendidikan menjadi mangsa atau dibodohi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab di sekitarnya.

Kejadian itu bisa menjadi bentuk penjajahan kepada sesama. Aku turut bersedih menyaksikan kejadian ini. Melangkah ke depan bertanya apa penyebabnya. Ternyata efek dari perwujudan sebuah keinginan dengan cara instan. Aduuhhh... Kok bisa?... Faktor kemajuan teknologikah? Atau hanya sebuah pelampiasan amarah, karena ingin menggapai sebuah asa dengan menghalalkan segala cara.

Kalian harus berpikir jauh ke depan. Semua yang kita lihat, belum tentu sama dengan apa yang mereka rasakan. Berpikirlah realistis, berapakah penghasilan kita perharinya? Apakah pekerjaan kita akan tetap lancar untuk selamanya? Atau bagaimana dengan masa depan anak-anak kita. Di atas langit masih ada langit. Sepertinya itulah kalimat yang tepat untuk kondisi saat ini.

Aku pikir hanya aku yang merasa belum bisa berbuat apa-apa. Ternyata, di luar sana masih banyak orang-orang yang jauh lebih menderita. Bisakah aku membantu mereka. Untuk saat ini, hanya doa dan saran yang bisa aku berikan. Seorang sahabat datang dengan membawa sertifikat tanah untuk minta bantuan dipinjamkan uang ke bank. Aku heran, kenapa meminta bantuan ke aku. Bukankah lebih baik jika langsung datang ke bank. Aku bertanya tentang alasannya. Ternyata, dia sedang terlilit hutang. Dalam sehari, ada beberapa angsuran yang harus dia tutup. Tiap Minggu ada dan tiap bulan juga ada. Aku bertanya lagi, bagaimana dengan suaminya, apakah suami tidak bekerja. Ternyata, suaminya bekerja serabutan dengan penghasilan yang di bawah rata-rata dan tidak setiap hari bekerja. Sedangkan anak mereka semakin tumbuh besar, membutuhkan biaya untuk pendidikan dan lainnya.

Tetesan air matanya membuat aku menjadi sedih dan ikut berpikir untuk mencari solusi jalan keluarnya. Aku mencermati ceritanya, hingga akhirnya dapat mengambil kesimpulan. Jika jalan keluarnya mengambil langkah dengan cara meminjam uang ke bank. Maka nasibnya tidak akan menjadi lebih baik dari sebelumnya tetapi malah akan menderita. Coba dipikirkan, ketika kita pinjam uang ke bank untuk menutup hutang dengan jaminan sertifikat. Setiap bulannya kita harus mengangsur. Sedangkan penghasilan yang ada, belum tentu cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap harinya. Jangan lakukan itu jika ingin kondisinya lebih baik dari sebelumnya. Menurutku, jika penghasilan suami tidak menentu, dan menjadikan hutang keluarga bertambah banyak. Berarti seorang istri harus ikut bekerja membantu suami mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Tidak ada alasan yang lain selain bekerja. Merantaulah jika perlu. Melihat kondisi itu, hanya bekerja satu-satunya jalan keluarnya. Sahabatku mengangguk. Membawa pulang sertifikat tanah yang ada. Aku menjadi lega. Dilakukan atau tidak saran yang aku berikan, setidaknya aku sudah menasehatinya.

Beberapa hari kemudian, aku sudah tidak mendengar lagi kabar temanku itu. Aku bertanya kepada adiknya. Ternyata temanku sudah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Alhamdulillah, itu langkah terbaik untuk memperjuangkan masa depan anak-anaknya. Jika semua beban hidup dipikulkan kepada suaminya. Masa depan Pendidikan untuk anak-anaknya tidak akan lebih baik. Mengalah untuk menang tidak masalah. Jika sekarang berjauhan dengan keluarga untuk alasan ekonomi. Suatu saat nanti bisa berkumpul kembali setelah keadaannya lebih baik.

Kejadian itu menjadi sebuah renungan untukku. Betapa pentingnya sebuah keimanan. Jiwa yang sehat tidak akan berbuat nekad. Bersyukur dan bersabar menjadi kunci untuk menghadapi semuanya. Terima kasih suamiku. Tetesan keringatmu menjadi ibadah dalam memenuhi kebutuhanku. Bersyukur sekali, ternyata keadaanku lebih baik dari teman-teman yang ada di Desaku.

Purbalingga, 07 Maret 2018

Tri Khasanah

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Pentingnya iman di jiwa. Sip.

07 Mar
Balas

Subahanallah...mba Tri dititipi amanah yang luar biasa, syukuri dan nikmati semya yg hadir sudah pas, in sya Allah keajaiban kan selalu menyertai aamiin

07 Mar
Balas



search

New Post