Episode Cinta Untuk Alif Kecilku
EPISODE CINTA UNTUK ALIF KECILKU
Tri Retnosari
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 22.00. Malam kian larut, sementara Alif belum tiba di rumah. Biasanya sebelum azan Isya berkumandang putra sulung kami sudah berada di rumah. Kami khawatir jika terjadi sesuatu yang buruk padanya. Mas Bagas suamiku menarik nafas panjang, berusaha untuk tidak menampakkan gurat-gurat kegelisahan di raut wajahnya. Sesekalia ia memandang ke luar jendela.
“Apakah Alif ada izin pulang terlambat hari ini bun? Coba telpon sekali lagi ke HPnya mudah-mudahaan kali ini diangkat ”
Untuk yang ke sekian kalinya masih tidak ada respon jawaban darinya. Mama mertuaku yang baru saja ditelpon Mas Bagas juga tidak mengetahui keberadaan cucu kesayangannya. Bahkan teman-teman sekolahnya pun tidak ada yang tahu di mana anakku berada.
Jelang dini hari kami putuskan untuk tidur meskipun sesaat. Naufal dan Aufa sudah masuk ke kamar masing-masing untuk istirahat, sementara aku dan Mas Bagas memutuskan tidur di ruang depan sembari menunggu kepulangan Alif.
Sayup-sayup kumandang azan subuh dari mushola membuat kami terjaga dari tidur yang tak lelap. Aku beranjak perlahan menuju kamar Alif, penuh harap ia tengah terlelap di balik selimut tebalnya. Namun hanya kamar yang kosong dengan selimut yang masih terlipat rapi. Alif belum pulang… aku terkulai lemas tak mampu membendung air mata yang tumpah.
“Ya Allah yang jiwa kami ada dalam genggamanMu, kami mohon perlindunganMu, jagalah anak kami anak kami dari hal-hal yang tidak baik..” seruku dengan lirih.
Di penghujung doa Subuh, aku mencoba memuhasabah dan mengingat kembali peristiwa yang berkaitan dengan putra sulung kami yang saat ini duduk di kelas 9 SMP. Dua pekan terakhir Alif memang menunjukkan sikap yang berbeda dari biasanya. Ia terlihat murung, nafsu makannya menurun dan cenderung mengurung diri di kamarnya.
“I’m ok bun…,” ujarnya ketika aku menanyakan perubahan sikapnya..
“ Bunda.. kenapa rambut Alif ikal ya bun, padahal rambut bunda dan ayah lurus begitu pula rambut De Naufal dan De Aufa, warna kulit alif juga lebih gelap?” meluncur pertanyaan Alif pekan lalu yang membuat jantungku berdegup kencang.
“Ooh.. kamu tahu lif rambut kamu sama ikalnya dengan rambut Oma Laras, sementara warna kulit sepertinya kamu menurun dari Opa,” jawabku seraya bersikap tenang berharap Alif bisa menerima penjelasan singkatku.
Ingatanku melayang pada Alif kecil yang lucu yang kami sayangi dengan sepenuh hati. Kehadiran alif yang menjadi penawar rindu akan kehadiran buah hati yang sudah kami nantikan sekian lama.
Tok-tok...terdengar suara ketukan memecah keheningan.
“Mila sedang apa kamu di dalam?” suara Mas Bagas terdengar dari balik pintu.
“ Ya Mas aku baru selesai shalat, sebentar lagi aku keluar.”
Aku bergegas melipat mukena shalat dan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anak yang akan berangkat.
Sarapan kali ini terasa berbeda, begitu senyap, tidak ada celoteh Alif . Naufal dan Aufa juga tidak banyak bicara. Ruangan ini kosong karena ketiadaan kakak sulung mereka. Sesekali Mas Bagas melontarkan kata-kata untuk menetralkan suasana, namun belum mampu mengusir kesedihan mereka.
Selesai sarapan Naufal dan Aufa mencium tangan ayah dan bundanya seraya bergegas berangkat ke sekolah karena mobil jemputan sudah menunggu di depan rumah.
Tinggal kami berdua masih di ruangan ini sambil menyeruput teh panas di hadapan kami.. “Sudah siang Mas, sudah jam tujuh ayo siap-siap berangkat kerja!”
“ Aku sudah izin ke kantor nggak berangkat, mau ikhtiar muter-muter cari Alif di sekitar sekolah dan ke rumah teman-teman bermainnya.” ujar Mas Bagas.
“ Mas Bagas..masih ingat nggak obrolan dengan anak-anak, hari Senin kemarin lusa ketika makan malam, ” sapaku lirih.
“Tentang apa ya .. kok aku lupa,” lanjut Mas Bagas.
“Mas Bagas waktu itu pulang telat, anak-anak sudah menunggu di meja makan,” ujarku.
“ O iya aku ingat .. waktu itu aku minta maaf karena pulang agak telat. Ada pekerjaan kantor yang harus diselesaikan karena siang hari ada kegiatan donor darah.” jawab Mas Bagas.
“ Iya, saat itu Alif menanyakan apa golongan darah Mas Bagas, lalu Mas jawab golongan darah A,” lanjutku. ”Lalu ia juga menanyakan golongan darahku juga, aku jawablah kalau golongan darahku O.”
“Iya benar, sesudah itu ia tidak banyak bicara sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Ada baiknya kita tanyakan sajake Bu Ratina wali kelas Alif, semoga beliau bisa membantu kita“ sambut Mas Bagas.
Mas Bagas segera bangun dari kursinya, mengambil handuk menuju kamar mandi dan aku melanjutkan rutinitasku merapikan meja makan dan mencuci piring.
Dari dalam kamar HP Mas Bagas memanggil berdering-dering, “ Maaas …HP nya berdering …” Bunyi air keran sepertinya cukup mampu mengalahkan nyaringnya dering HP termasuk nyaringnya suaraku. Mas Bagas masih terus melanjutkan aktifitas mandi paginya.
Aku bergegas setengah berlari untuk meraih Hp tersebut, namun suara dering tiba-tiba berhenti. Tidak lama kemudian dari Hp ku terdengar suara berdering.
“ Assalamualaikum ..halo apa benar ini ayah atau bunda dari Muhammad Alif Al Ghifari?” terdengar suara laki-laki paruh baya.
“ Ya benar ini dengan bundanya, maaf saya bicara dengan siapa ya?” Jawabku
“ Saya Bapak Rasyid, Bidang Kesiswaan SMP Tunas Cendekia. Apakah ayah dan bunda bisa hadir ke sekolah hari ini?” lanjut suara dari Hp.
“ Ada apa ya pak… baik pak kami segera meluncur sekolah. Terimakasih atas infonya” ujarku diiringi jantung yang berdegup kencang.
Tidak sampai 15 belas menit kami sudah sampai di loby sekolah. Bapak Satpam mengantarkan kami menuju Ruang Kepala Sekolah. Di sana sudah menunggu Bapak Kepala sekolah, Bapak Rasyid, Guru BK dan Bu Ratina wali kelas Alif. Bapak Kepala sekolah menyampaikan alasan memanggil kami orang tua Alif
“ Sebelumnya kami sampaikan terimakasih dan mohon maaf jika mengganggu aktivitas ayah dan bunda. Pagi ini bapak satpam yang bertugas keliling menemukan ananda Alif sedang tidur di masjid sekolah dalam kondisi masih mengenakan seragam kemarin. Ananda tidak mau diantar pulang ke rumah. Alhamdulillah sudah sarapan dan sedang beristirahat di ruang BK, namun sampai saat ini belum mau menceritakan alasan mengapa tidak pulang ke rumah. Kami sarankan ananda istirahat dulu di rumah. Jika sudah tenang dan nyaman insya Allah akan bicara dari hati ke hati dengan ayah bundanya. Untuk selanjutnya silakan ayah dan bunda untuk berkomunikasi guru BK dan wali kelas sehingga kita bersama-sama bisa mensupport Alif,” ujar beliau.
Selama perjalanan pulang Alif tidak banyak bicara, meskipun demikian aku dan Mas Bagas tetap berupaya bersikap tenang, mengajak berbincang-bincang untuk mencairkan suasana hati Alif.
Siang harinya, Naufal dan Aufa belum pulang sekolah, kami duduk bersama di ruang keluarga. Alif masih dengan diamnya.
“Alif anak ayah dan bunda.. mau cerita apa yang sedang Alif pikirkan? Ujarku memulai pembicaraan. “ Kamu mau cerita kenapa semalam tidak pulang ? Ayah, bunda, De Naufal dan De Aufa khawatir sekali memikirkan Alif. Ayo ceritalah nak.. Ayah, bunda tidak marah kok.”
“Benar .. ayah dan bunda tidak akan marah?”
“ Ya nak.. kami cuma ingin kamu cerita mengapa bersikap seperti ini, ”lanjutku.
“Ayah, bunda… apakah benar Alif bukan anak kandung ayah dan bunda ?” ujarnya lirih.
Pertanyaan sederhana ini membuat hatiku semakin teriris, “Apa yang membuat Alif berfikir seperti itu nak?”
“ Bunda masih ingat waktu Alif bertanya apa golongan darah Ayah dan bunda. Ternyata golongan darah ayah A sedangkan bunda O. Pelajaran IPA dikelas sedang membahas pewarisan sifat termasuk golongan darah. Alif bersama teman-teman dijadikan contoh cek golongan darah. Golongan darah Alif ternyata B dan dak mungkin berasal dari orang tua yang bergolongan A dan O. Begitu juga rambut ikal dan warna kulit yang berbeda dengan ayah, bunda dan adik-adik. Alif mau ayah dan bunda berterus terang pada Alif ” lanjutnya
Aku dan Mas Bagas saling berpandangan … saling memberi isyarat bahwa sudah waktunya untuk mengungkap rahasia yang selama ini kami tutup rapat-rapat.
“Baik nak .. bunda akan ceritakan kisah Ayah dan bunda, tapi alif harus berjanji yaa untuk menyimak ini sampai selesai. Alif dengarkan baik-baik ya…. Ayah dan bunda menikah sembilan belas tahun yang lalu. Hingga tiga tahun pernikahan kami belum juga dikaruniai Allah keturunan. Berrkali-kali bunda mengalami keguguran. … Begitu dalamnya kerinduan akan kehadiran bayi mungil dalam kehidupan ayah dan bunda. Barulah di tahun ke empat bunda hamil, itu pun dengan kondisi kehamilan yang lemah hingga harus bed rest. Pada saat yang bersamaan Bibi Lastri, ART yang bekerja di rumah Oma Sarah-ibundanya ayah juga sedang hamil . Beliau janda yang ditinggal wafat suaminya pada saat hamil 2 bulan. Setelah menanti delapan bulan lamanya akhirnya bunda melahirkan bayi laki-laki putra pertama bunda. Namun qodarullah bayi tersebut tidak bisa bertahan hidup ..beberapa jam setelah persalinan ia meninggal dipelukan bunda. Bunda sangat berduka …bunda sempat stress nak. Selama dua pekan bunda menutup diri. Alhamdulillah, Allah mendengar doa ayah bunda. Oma Sarah datang dengan membawa kabar wafatnya Bibi Lastri ketika proses persalinan. Beliau meninggalkan seorang bayi laki-laki sebatang kara. Oma menanyakan apakah ayah dan bunda mau menerima dan membesarkan bayi laki-laki ini. Bibi Lastri memang sudah dianggap keluarga sendiri oleh Oma dan Opa. Beliau sempat menitipkan putranya kepada Oma Sarah jika terjadi sesuatu pada dirinya selama persalinan. Dan bayi laki-laki itu adalah kamu …Anak ayah dan bunda tersayang,” tuturku tak sanggup menahan tumpahnya air mata di hadapat Alif.
Alif terdiam..air mata berlinang membasahi pipinya yang kokoh.” Jadi benar kan bunda... alif memang bukan anak Ayah dan bunda. Alif anak Bi Lastri.” Tangis Alif pun pecah
Segera kurengkuh buah hati kami “ Alif sayang…kamu adalah anak Ayah dan bunda. Dalam tubuhmu mengalir air susu bunda. Bunda yang menyusui kamu selama dua tahun. Bunda adalah ibu susu kamu sepeninggal Bi Lastri. Waktu itu hari ke 14 masa berduka bunda, Oma dan Opa datang membawa Alif di kehidupan Ayah dan bunda. Kendatipun kamu mewarisi sifat dan golongan darah ayah ibu Alif, namun kamu sudah menjadi bagian dari keluarga kami. De Naufal dan De Aufa adalah saudara sesusuan kamu. Bunda berharap kita menjadi satu keluarga, saling menyayangi dan saling menjaga ya nak...”
“ Maafkan Alif.. ayah, bunda. Terimakasih sudah merawat dan membesarkan Alif dengan sayangnya Ayah dan bunda, “ ujar Alif
‘Ya Alif ..satu pesan bunda buat kamu, jangan lupa doakan ayah dan ibu mu, Bi Lastri dan suaminya. Mereka menunggu doa dari anak sholeh seperti kamu nak,” lanjutku sambil memeluknya yang diikuti oleh rengkuhan Mas Bagas membersamai kami.
Siang itu menjadi satu episode yang tak akan pernah kami lupakan. Dengan izinNya kami bisa mengungkapkan rahasia yang selama ini kami simpan rapat. Alhamdulillah atas segala nikmat yang engkau berikan kepada kami.
Suara azan Dzuhur mengingatkan kami untuk segera menyambut panggilan dan bersujud padaNya. Ya Allah terimakasih atas semua karuniaMu pada hari ini. Jadikanlah anak-anak kami sholeh dan sholehah dan senantiasa taat pada Mu. Aamiin.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kewreeen bu tri
Kewreeen bu tri
Kewreeen bu tri
Kewreeen bu tri
Kewreeen bu tri
Kewreeen bu tri