MENDAHULUKAN DALAM DIAM

Kusambut kehadirannya di muka kelas, rindu mengalir deras lewat peluk erat dan tangan kami yang berjabat, ditengah gelombang kesibukannya mengunjungi para mahasiswa yang praktek di kota yang sama dengan tempatku mengajar, diantarkannya riak kecil waktunya untuk menemuiku.

“Hehehe, jadi ingat saat aku SD.” ucapnya terkekeh dengan mata sibuk melahap seluruh isi kelas, sedangkan mulutnya tak mengunyah satu pun apa yang kusuguhkan. Obrolan kami tak hanya panjang lebar, bahkan tinggi dan curam, hihihi.

“Aku bawa saja, untuk nanti di kereta.” Ia meraih satu botol air mineral dan snack box di atas meja, saat kami beranjak meninggalkan kelas.

Aku mengajaknya ke tempat kami dulu biasa menghabiskan waktu, dalam himpunan tahun.

“Tempat ini sudah berubah, jadi cafe rupanya.” matanya menyusuri setiap sudut, tepi, dalam dan luar bangunan.

“Plihlah apa saja yang kau suka, aku siap mentraktir sampai perutmu meledak, unlimited budget.” godaku menyodorkan daftar menu ke hadapannya.

Sesaat kulihat ia meragu, dibolak-baliknya halaman menu.

“Kalau kau tidak berkenan, kita bisa cari tempat nongkrong lain.” ucapku memberi gagasan.

Matanya beralih pada jam dinding di belakang tubuhku.

“Tadi katamu kereta berangkat pukul tujuh tiga puluh, ayolah ini baru pukul empat, masih cukup waktu untuk makan di tempat, atau take away saja?” tawarku memberi pilihan

“Hm, ngga usah, makan di sini saja.” putusnya cepat, "Sekalian lanjut ngobrolnya."

Pembicaraan yang tak bertema, tentu saja tak mencapai muara, apalagi menghabiskan tabungan rindu yang kami punya.

“Ojolnya sudah datang.” matanya menyeberangi dinding kaca Nomadic Cafe, “Terima kasih sudah mentraktirku hari ini. InsyaAllah next kita ketemu lagi.” pamitnya dalam kesenduan senja.

“Hati-hati di jalan, fii amanillah!” doaku mendekapnya hangat.

Bersambung