Tri Sulistini

Guru di SMPN 6 Pamekasan...

Selengkapnya
Navigasi Web
Jalan Panjang Zed (11)
Anni Spratt

Jalan Panjang Zed (11)

Ombak mulai tenang. Angin berhembus sepoi. Matahari sudah sangat tinggi. Terik. Cahaya membias di riak ombak yang terus berjalan seiring laju kapal. Sekawanan burung terbang rendah. Paruh mereka menyentuh air. Tak lama, mereka kembali terbang tinggi dengan ikan-ikan kecil dimulut mereka. Ah, mereka pasti akan membawa ikan-ikan itu ke tempat tinggal mereka untuk dinikmati bersama keluarga mereka. Bahagianya burung itu, bisa memiliki keluarga yang utuh. Tidak sepertiku.

Pikiranku melayang pada kehidupan keluargaku yang tak lengkap. Tak ada papa. Aku berpikir, betapa bahagianya burung-burung itu. Padahal, bisa saja, yang mencari makan itu bukan burung jantan. Tetapi burung betina. Keluarga burung itu, bisa saja sepertiku. Tak ada burung jantan.

Hari pertama perjalanan ini sungguh membuatku antusias dengan beberapa alasan. Selain karena ini untuk pertama kalinya aku naik kapal laut seperti yang telah aku ceritakan, hari ini aku akan mendengar kisah yang tersimpan sebegitu lama, langsung dari mama.

“Papamu tak seperti yang orang lain bayangkan, Zed. Dia tak sejahat yang semua orang kira. Papamu sangat baik. Perhatian dan penuh kasih sayang,” mama mengawali kisahnya tentang papa.

Inilah kisah yang aku dengar untuk pertama kalinya. Kisah tentang lelaki yang telah menjadikan aku terlahir ke muka bumi ini. Kisah tentang lelaki yang tak pernah kurasakan kehadirannya. Kisah tentang lelaki yang hanya kukenal wajahnya.

Aku membiarkan mama berhenti sejenak. Aku tahu dia sedang menata hatinya untuk melanjutkan kisah yang tak pernah tuntas ini.

“Kami menikah tanpa persetujuan kakek dan nenekmu di tanah Jawa. Alasannya, papamu bukan seorang muslim. Taka da satupun keluarga kami yang menikah dengan orang yang berbeda agama, kecuali mama. Itu membuat kakek dan nenekmu marah luar biasa,” kisah mama selanjutnya.

“Wajar, Ma. Setiap orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Itu kan yang mama seiring ucapkan pada Zed?” aku menanggapi perkataan mama.

“Betul, Zed. Kakek dan nenekmu pun begitu. Mereka menentang kami habis-habisan. Kami menikah secara kristiani. Mama memilih mengikuti papamu. Itu penyebab hubungan mama dengan keluarga di Jawa terputus,” mama melanjutkan.

“Mama tak pernah pulang ke Jawa, Ma?” tanyaku.

“Setelah mama masuk Islam kembali dan berpisah dengan papamu, mama pernah satu kali pulang ke Jawa. Usiamu waktu itu baru setahun lebih. Kamu mama titipkan pada Bu De Darsih. Mama hanya beberapa hari di Jawa, lalu kembali lagi,” mama menjelaskan.

“Tapi Zed lupa kalau mama pernah menitipkan Zed pada Bu De Darsih,” jawabku dengan senyum.

“Kamu masih terlalu kecil untuk mengingat, Zed. Tapi Bu De Darsih sangat baik. Dia merawatmu dengan baik sampai mama datang. Mama bersyukur mengenalnya. Suatu saat nanti, kamu harus bisa membalas kebaikannya, Zed. Berjanjilah pada mama,” kata-kata mama begitu lembut. Jari jemarinya hangat menyentuh tanganku seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa hutang budinya kepada Bu De Darsih mampu aku balaskan suatu saat nanti.

#bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

ditunggu lanjutannya bun...salam sukses

02 Feb
Balas

Salam

02 Feb
Balas



search

New Post