Tri Sulistini

Guru di SMPN 6 Pamekasan...

Selengkapnya
Navigasi Web
Jalan Panjang Zed (12)
Anni Spratt

Jalan Panjang Zed (12)

Percakapan kami terhenti. Jadwal makan siang. Perutku minta diisi lagi. Rasa lemas sebenarnya menyiksaku sejak tadi. Hanya saja, aku bertahan demi mendengarkan potongan-potongan kisah hidup kami di masa lalu. Keping-keping yang terserak dan tak pernah aku ketahui sebelumnya. 

Menunaikan salat setelah makan siang membuat seluruh tubuhku terasa lebih segar. Aku mulai sedikit bersahabat dengan goncangan kapal karena terjangan ombak. Aku yakin, dua hari ke depan, semua akan baik-baik saja. Tak akan ada lagi mual dan muntah hingga membuat tubuhku tak berdaya. 

Aku mengambil musaf kecil yang dibawa mama. Membacanya perlahan. Tiba-tiba bayangan Kyai Mursyid, guru ngaji, menari-nari di depan mataku. Aku tak sempat pamit pada Kyai Mursyid. Lalu, muncul wajah Hamid, Burhan dan Fahri. Mereka teman mengajiku selama ini. Teman remaja masjid. Mengurusi pengajian kampung dan pengajian anak-anak muda. Kami senang melakukan semuanya. Aku pun tak sempat pamit pada mereka bertiga. Semuanya serba tiba-tiba dan mendadak. 

Aku tutup musaf yang kubaca. Aku lirik mama di tempat tidur. Matanya terpejam lembut. Ah, perempuan ini. Apa yang sebenarnya kau simpan dalam hatimu? 

Mama tak seberapa tua. Aku menebak umurnya tak jauh dari angka empat puluhan. Tapi, kehidupan yang keras tanpa hadirnya seorang suami, membuat mama terlihat lebih tua dari usianya. Meski begitu, sikap mama yang ceria dan mudah tersenyum kepada semua orang, ditambah kulitnya yang putih, membuat mama terlihat tetap cantik. 

"Istirahatlah, Zed. Tidurlah. Nanti mama akan lanjutkan cerita mama," kata mama dengan netranya yang masih terpejam. Mungkin mama merasa, aku menatapnya tajam. 

"Zed ke luar kamar saja, Ma. Bosan di kamar terus. Mau ketemu penumpang yang lain," jawabku. 

"Jangan sekarang, Zed. Besok-besok saja. Tubuhmu belum bisa menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan goncangan ombak dan angin laut yang kencang. Nanti kau malah mabuk laut lagi. Muntah-muntah dan lemas lagi. Tidurlah dulu," mama melarangku pergi. 

Seperti biasa. Aku menuruti semua yang mana katakan. Aku tak bergerak ke luar kamar. Aku menata bantal dan membersihkan tempat tidurku. Hemmm ... Bau sarung bantal dan sprei tempat tidurku ini, harum sekali. 

Keesokan harinya, barulah aku tahu. Tak semua penumpang mendapat kamar dan tempat tidur. Mereka tidur meringkuk di lorong-lorong kapal, di lekukan-lekukan ruangan yang sedikit tersembunyi sehingga tak terkena hembusan angin yang kencang dan hempasan ombak yang terkadang naik ke dek kapal. Anak-anak kecil tidur diselimuti sarung, kain panjang, jaket atau selimut. Kasihan sekali. Tubuh mereka pasti kedinginan di malam hari. Beruntung, seharian, tidak ada hujan. Tak terbayang nasib mereka jika hujan datang. Harusnya kapal ini, memberlakukan sistem, satu tiket untuk satu penumpang dengan satu tempat tidur. Aku termasuk orang yang beruntung, karena mama membelikanku tiket untuk penumpang dengan tempat tidur.

 

#bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post