Tri Sulistini

Guru di SMPN 6 Pamekasan...

Selengkapnya
Navigasi Web
Jalan Panjang Zed (9)
Anni Spratt

Jalan Panjang Zed (9)

Udara masih basah. Embun masih menempel di daun-daun hijau yang menghiasi halaman rumah Bu De Darsih. Halaman rumah Bu De Darsih sebenarnya tak terlalu luas. Tak seluas rumah di perdesaan pada umumnya. Namun di kota besar, halaman seluas ini sangatlah cukup membangun satu rumah. Rumah Bu De Darsih pun tak terlalu besar. Tak seperti rumah Rocky atau Darren, sahabatku yang kaya raya dan punya rumah besar.

Bu De Darsih orang yang sangat pandai menata rumah. Halaman dan seisi rumahnya tertata rapi. Tak banyak perabot di dalam rumah Bu De Darsih, tetapi semuanya ditata dengan unik dan menarik. Siapapun yang menginjakkan kakinya di rumah Bu De Darsih pasti akan merasa nyaman dan betah. Tapi, rupanya kami memang tidak bisa berlama-lama di rumah ini.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Nis? Kenapa kamu buru-buru sekali pergi? Tinggallah sehari dua hari di sini, sekalian nemenin aku,” kata Bu De Darsih pada mama.

Aku gelisah menunggu. Pertanyaan yang diajukan Bu De Darsih itu sama persis seperti pertanyaan yang berputar di kepalaku beberapa hari ini. Aku tak tahu alasan apa yang membuat mama harus pergi meninggalkan kota kami. Kota yang sudah membesarkanku hingga seusiaku ini.

“Aku sebenarnya ingin bercerita, Mbakyu. Tapi ceritanya panjang. Tak cukup waktu kami. Nanti saja jika semuanya sudah baik-baik saja pasti akan aku ceritakan semuanya,” jawab mama.

Udara dingin yang lembab tiba-tiba terasa hangat olehn rasa kecewa yang menyergap hatiku. Taka da harapan lagi untuk mendengar jawaban langsung dari mama tentang alasan kepergian kami sejak kemarin.

“Kami mohon maaf jika kami harus segera pergi, Mbakyu. Tak bisa lagi berlama-lama di sini. Zed juga harus segera bersekolah. Kami mohon pamit,” kata mama lagi.

Bu De Darsih tersenyum. Aku menatap wajah Bu De Darsih yang lembut. Wajah perempuan Jawa pada umumnya. Sama seperti mama. Sangat mudah membedakan antara perempuan Jawa dan perempuan asli di daerah ini. Dari warna kulit, jenis rambut, dan nada bicara siapapun pasti bisa membedakan mereka dengan mudah.

Setelah berpamitan dan menyenangkan hati Bu De Darsih dengan membawa beberapa oleh-oleh yang sudah disiapkan, meski membawa barang sendiri saja rasanya kami tak mampu. Bu De Darsih dan putranya mengantarkan kami hingga ke pinu gerbang, halaman depan. Mama berpelukan dengan Bu De Darsih.

“Singgahlah jika kau butuh tempat untuk singgah. Tinggal di sini jika kau butuh tepat untuk tinggal. Jangan ragu. Semoga takdir allah mempertemukan kita kembali suatu saat nanti,” kata Bu De Darsih sambil memeluk erat mama. Ada genangan air mata di ujung mata keduanya. Aku tahu, mama dan Bu De Darsih sekuat tenaga menahan agar air mata itu tak meluncur deras ke bawah di depanku. Tapi, melihat adegan itu, tak urung mataku pun mengembun.

Dua perempuan ini begitu lama terpisah. Tetapi sua keduanya begitu singkat untuk sekadar menuntaskan rindu. Keadaan memaksa mereka untuk kembali terpisah dalam waktu yang sama-sama tak menentu. Berharap kepastian sua itu diamini oleh para malaikat dan ditakdirkan oleh Allah suatu saat nanti.

#bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Lanjut ka,,, Masih bingung siapa yang meninggalkan siapa.hehe

31 Jan
Balas

Ikuti dari awal yaaa.

31 Jan

Baik ka terimakasih

31 Jan
Balas

Sama-sama. Terima kasih atas kunjungan dan apresiasi untuk tulisan saya

31 Jan

Baik ka terimakasih

31 Jan
Balas



search

New Post