Tri Sulistini

Guru di SMPN 6 Pamekasan...

Selengkapnya
Navigasi Web
Maafkan Aku (3-Tamat)
Stefano Pollins

Maafkan Aku (3-Tamat)

“Siapa pemilik suara itu, Mas. Aku seperti mengenal sekali suara itu. Tapi aku lupa,” tanyaku pada Mas Rifan.

“Kau pasti sangat mengenalnya. Itu suara Henny. Perempuan yang dulu menjadi tunanganku. Perempuan yang telah mencoba menggagalkan pernikahan kita. Perempuan yang kemudian bunuh diri karena aku tak mau menikahinya. Perempuan yang lebih memilih main belakang dengan sahabatku tetapi kemudian ditinggal begitu saja,” jawabku.

Aku terpana dengan jawabannya. Rupanya, Henny tetap ingin menghancurkan kehidupanku dan Mas Rifan meski dunia kami tak lagi sama. Dia masih terobsesi memiliki Mas Rifan, padahal peristiwa itu sudah lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Anak-anak kami bahkan sudah dewasa.

“Ayo kita pulang. Kita doakan Henny tak lagi mengganggu hidup kita. Kau ikutlah denganku, kita pulang ke rumah kita yang baru. Aku sudah menyiapkan rumah baru untukmu yang lebih indah dari rumah kita, Dik Mariana,” kata Mas Rifan.

“Ke mana, Mas? Aku akan selalu ikut denganmu. Aku ikut ke manapun kamu akan membawaku. Jangan tinggalkan aku, Mas,” kataku pada Mas Rifan.

Mas Rifan menggenggam tanganku. Erat sekali. Menatap wajahku lalu tersenyum. Wajah putihnya nampak semakin putih terkena lampu jalanan.

“Kau cantik sekali, Dik Mariana. Kau terlihat begitu putih,” kata Mas Rifan. Ah, rupanya, Mas Rifan pun memperhatikan aku. Bahagia sekali aku. Aku pun tersenyum menggandeng erat tangan Mas Rifan. Kami bahagia sekali.

Tapi mengapa aku justru melihat tiga buah hati kami menangis? Berderai-derai? Ada juga mama dan ibu mertuaku. Mereka juga menangis. Harusnya mereka sebahagia kami yang sedang bergandengan tangan. Apakah mereka tak diajak Mas Rifan ke rumah baru kami sehingga mereka menangis begitu menggugu?

Aku ingin sekali bertanya mengapa mereka menangis dan menghibur mereka, tapi aku tak bisa. Tubuhku terbaring tak berdaya. Di sampingku, di tempat tidur yang berbeda, suamiku juga tertidur lelap. Matanya pun terpejam rapat. Setelah itu, aku dan suamiku dipindahkan ke sebuah mobil.

“Kami mohon izin membawa kedua jenazah pulang ke rumah duka. Putra dan putri almahum dan almarhumah boleh naik ke atas ambulance atau boleh membawa kendaraan sendiri mendahului atau di belakang kami,” kata seorang perempuan berwajah cantik dengan kacamata dan baju putih yang dipakainya. Aku tertegun.

*****

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ternyata Mariana dan Mas Rifan sudah berpindah rumah. Kisah yang menarik Bunda.

15 Jan
Balas

Iya. Betul Bund. Hehehe.... Makasih Bunda sudah mampir.

15 Jan

Kisah yang apik, Bu Tri. Sebuah perjalanan hidup. Salam bahagia.

15 Jan
Balas

Terima ksih bnyak bunda. Salam untuk bunda cicik juga

17 Jan



search

New Post