Menepis Luka (106)
Brrrukk ....
Suara benturan keras membuat mataku terbuka. Aku tak tahu apa yang terjadi. Yang aku tahu, aku seperti melayang dengan Fathiya masih dalam gendonganku. Sekuat tenaga aku memeluknya. Lalu, tubuhku yang terbang seperti meluncur turun, mendarat. Terhempas keras. Entah pada apa. Lalu, tiba-tiba gelap. Gelap dan hitam. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi dan setelah itu. Yang aku tahu, aku sudah berada di sebuah ruangan yang semuanya berwarna putih.
Begitu aku membuka mata, orang pertama yang aku lihat adalah seorang perempuan berwajah cantik. Berbaju serba putih. Aku tak tahu siapa perempuan itu. Wajahnya kabur. Aku mencoba menatapnya dengan membuka mataku lebih lebar, tetapi semuanya masih bergoyang. Pandanganku masih berputar. Kupejamkan mataku lagi. Sempat aku dengar ucapan perawat itu di telingaku.
"Alhamdulillah. Syukurlah Nyonya Tania sudah sadar," katanya.
Lalu, kata-kata itu hilang begitu saja. Aku tenggelam lagi dalam gelap. Hitam lagi. Aku tak lagi mampu membuka mata.
Entah berapa lama setelah itu aku tertidur lagi. Aku tak lagi tahu perputaran siang dan malam. Aku terbangun lagi. Membuka mata.
Aku melihat seorang perempuan, yang wajahnya tak bisa aku lihat dengan jelas, tapi aku begitu mengenal suaranya. Mama.
"Kau sudah bangun, Nak. Mama senang kau sudah sadar," kata-kata yang lembut sekali di telingaku.
Lalu pipiku terasa dingin. Basah. Entah apa yang membasahi pipiku ini. Aku berusaha membuka mata kembali. Sedikit terang. Aku lihat mama berdiri di sisi kananku bersama seorang perempuan. Berbaju biru.
"Kemarin kau sadar, Tania. Lalu, tak sadar lagi. Bangunlah, Tania. Jangan tidur lagi," bisik ma di telingaku.
Mataku masih nanar. Semua yang aku lihat masih samar, kuning dan bergerak. Bergoyang tepatnya. Kepala bagian belakangku terasa nyeri.
"Mama akan menemanimu. Mama ada di sini. Bicaralah, Tania!" kata mama lagi.
Aku ingin bicara, tapi aku tak mampu bicara. Aku juga tak tahu harus bicara apa. Aku tak tahu aku di mana dan mengapa aku ada di sini. Aku merasa lelah. Kucoba pejamkan mataku kembali. Tapi lagi-lagi mama mencegahku untuk memejamkan mataku.
"Jangan tidur, Tania. Bangunlah. Bicaralah pada mama. Kata dokter, jika kau terbangun, mama tak boleh membiarkanmu tidur kembali. Bangunlah!" kata mama lagi.
Dokter? Apa hubungannya aku dengan dokter? Apakah aku sakit hingga aku harus ditangani dokter?
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar tanpa jawaban. Memenuhi kepalaku, menyesakkan pikiranku. Nyeri kembali menghantam bagian belakang kepalaku dan aku tak sanggup menahannya. Aku kembali terjatuh dalam gelap. Apa yang terjadi denganku?
#bersambung
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi
Keren
Waduhh...Tania jgn tdr lg dong...hayuk bangun...keren bgt crt ini. Lnjt bund...
Cerpen yg keren... salam literasi