MENYIKAPI KEBENCIAN DALAM NOVEL 'SENIOR'
Tantangan Hari 73
Judul: Senior Pengarang: Eko Ivano Winata Penerbit: Pastel Books Terbitan: VI, September 2018 Tebal: 320 halaman
Membaca buku ini, saya yang hampir memasuki usia setengah abad, seolah-olah dibawa kembali pada masa ketika saya menikmati seragam putih abu-abu. Masa, pada umumnya, remaja atau anak muda menghabiskan waktu, tenaga dan pikirannya untuk menemukan jati diri, mengekspresikan semua yang ada di hati dan pikirannya dengan tanpa beban dan membuka diri dengan peradaban baru yaitu peradaban menuju kedewasaan. Sedikit banyak, novel ini membawa memory saya yang timbul tenggelam tentang masa putih abu-abu, tentang teman sekelas, tentang guru-guru, tentang mata pelajaran favorit tapi begitu mendebarkan karena gurunya yang killer naudzubillah, tentang kegiatan ekstrakurikuler yang selalu bikin rindu dan tentang kenakalan ala remaja yang kadang kita yang tidak ikut melakukan tapi harus ikut menerima hukuman atas nama jiwa corsa, kebersamaan.
Novel ini ditulis oleh seorang anak muda, Eko Ivano Winata, yang umurnya hanya selisih empat tahun dengan putra pertama saya. Rasa bangga membaca novel ini, karena di usia semua itu sudah mampu menghasilkan novel yang mampu menembus penerbit mayor dan menjadi salah satu best seller. Penikmatnya pun tentu saja sebagian besar remaja atau orang tua semacam saya yang memang senamg membaca apa saja. Bangga, karena saya yang hingga setua ini tak mampu menghasilkan satu karya yang luar biasa macam ini. Sungguh saya angkat topi pada anak-anak muda semacam ini atau siapapun yang mampu berkarya dan berprestasi di bidangnya masing-masing. Dan yang lebih mengagetkan lagi, sebagai kaum adam, Eko tidak seperti pada umumnya. Eko sebagai pengarang mampu menuliskan kata-kata romantisme, indah dan punya kelembutan rasa. Yang begini ini jamak dimiliki oleh kaum hawa. Eko mampu menggambar setiap rasa, emosi dan pikiran para tokohnya dengan lugas diselingi beberapa kata romantis ala-ala anak muda.
Novel ini sejatinya merupakan buku pertama dari trilogi Lunakula. Lunakula sebenarnya adalah perpaduan nama dari dua tokoh sentral dalam novel ini yaitu Aluna dan Nakula. Masih ada lagi dua novel sebagai kelanjutan dari novel ini, Inestable dan Atlas. Di buku pertama ini pengarang memperkenalkan seorang tokoh laki-laki bernama, Nakula. Dari namanya, kita akan langsung tahu bahwa nama ini adalah nama dari salah satu putra Pandawa yang memiliki saudara kembar bernama, Sadewa. Sama, di novel ini pun, Nakula diceritakan memiliki kembaran bernama Sadewa, yang sedang koma hampir dua tahun lamanya di sebuah kota di Spanyol yaitu Seville. Sadewa tinggal bersama papanya, sementara Nakula memilih tinggal bersama mamanya. Meski kembar, dalam novel ini, dua orang ini digambarkan memiliki sifat yang bertolak belakang. Nakula, seorang lelaki yang dingin, disiplin dan teratur, acuh tak acuh, keras kepala, terkesan apatis terhadap lingkungan sekitar, terlihat kuat meski dalam hal sebenarnya dia rapuh dan tidak mampu mengungkapkan dengan sempurna apa yang ada di dalam hati dan pikirannya. Sementara Sadewa adalah lelaki yang humoris, familiar, peduli dengan sekitar, slengekan dan terkesan sembrono, dalam beberapa kesempatan terlihat seperti childish tapi nyatanya dia mampu bersikap dewasa. Sejatinya, memang Sadewalah yang terlahir lebih dulu ke muka bumi, tapi sepertinya dalam adat jawa justru yang terlahir lenih akhir yang di sebut kakak, sehingga Nakula yang mendapat gelar kakak.
Sikap Nakula yang acuh tak acuh, dingin, disiplin, teratur dan kaku ini bukan hanya ditunjukkannya kepada kembarannya. Di beberapa bagian dalam novel ini, terkesan Nakula kurang menghargai Sadewa sebagai saudara kembarnya, meski dalam bagian yang lain Nakula sungguh tak mau kehilangan Sadewa yang berada dalam posisi koma atau tidak sadarkan diri. Sikap dingin dan acuh tak acuh ini pun ditunjukkan kepada hampir seluruh makluk di muka bumi ini, termasuk kepada Aluna. Gadis cantik, terkesan rapuh secara fisik, ceplas-ceplos, menentang keras ketidakadilan dan terlahir yatim. Perkenalan mereka yang dimulai dari sebuah ajang Masa Orientasi Siswa (MOS). Nakula adalah ketua panitia MOS dan sedangkan Aluna adalah siswi baru di sekolah itu. Alunalah yang berani menentang hampir semua aturan-aturan yang dibuat oleh Nakula dan timnya, Kainan, Galih, Nabila, Milo dan Arjuna. Alunalah yang berani menegakkan keadilan di depan para senior-seniornya itu alias kakak-kakak tingkatnya. Keberaniannya itu didorong oleh rasa kemanusiaan yang kuat mengakar di dalam dirinya, hasil didikan keluarga utamanya sang ibunda. Tak jarang Aluna terkena hukuman baik secara individu maupun menjadi penyebab hukuman berkelompok bersama teman-temannya yang lain seperti Natasha, Rara, Hans, Zifal dan Kinan. Permusuhan keduanya terus berlanjut seiring belum berakhirnya masa orientasi siswa (MOS)
Perseteruan mereka mereda ketika, mama Nakula dan ibunda Aluna, yang ternyata berteman akrab, harus berangkat ke Seville. Maka, Nakula menjadi orang yang diminta oleh ibunda Aluna untuk menjaga Aluna. Dari sinilah romantisme itu dimulai. Nakula dan Aluna menjadi lebih sering bersama sejak kepindahan Nakula ke rumah Aluna. Rasa benci yang amat sangat, karena tak sekali dua kali Nakula memberi hukuman fisik pada Aluna, mulai luntur. Berganti dengan rasa lain ala anak muda masa itu. Saya jadi ingat peribahasa Jawa, "Sing Gething Nyanding", yang artinya siapapun yang membenci biasanya akan mendampingi, atau menjadi orang yang terdekat. Begitu pula, akhir dari novel ini, Nakula dan Aluna memutuskan menjadi sepasang kekasih. Mereka mampu menyikapi kebencian yang ada dalam diri mereka berdua dan memahami bahwa sejatinya tak perlu ada yang dipertahankan dari sebuah rasa benci selain rasa sakit hati.
Lepas dari jalan cerita yang memang identik dengan dunia anak muda, tak heran jika novel ini menjadi best seller, novel ini memang sangat ringan untuk dibaca. Diksi yang dipilihpun tidak "mbulet" alias berputar-putar. Ada sisi pembelajaran yang bisa dipetik dari kehidupan remaja di dalam novel ini yaitu bagaimana anak muda seusia mereka, mungkin memang jamak terlihat di SMA, mampu secara mandiri mengelola kegiatan-kegiatan besar melalui wadah OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Namun demikian, MOS ala novel ini memang sudah banyak mengalami perbaikan karena lebih menekankan pada pemberian hukuman secara fisik. Bahasa anak muda dan bahasa pergaulan sehari-hari yang dipakai dalam novel ini, sering takut dipakai oleh angkatan tua, membuat novel ini makin mudah dipahami oleh mereka yang seusianya. Untuk saya sendiri, saya mungkin terburu-buru dilahirkan ke dunia ini sehingga terkadang butuh berpikir sepersekian detik untuk me-recall bahasa yangbsaya pakai xaman saya dulu, yang tidak jauh berbeda tapi jelas berbeda dengan saat ini.
Sebagai orang yang harus menghabiskan waktu delapan hari di kamar karena dekapan sakit yang tak kunjung sembuh dan tanpa melakukan apapun selain tidur, membaca novel ini, buat saya pribadi, sangatlah menghibur.
#TantanganGurusiana
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Resensi yang luar biasa,jadi penasaran... Keren menewen bunda...
Ayo baca bunda.. Hee... Makasih bnyak bunda apresiasinya.
Oce
Tengkiyu banget bunda Fauziah.... Thx untuk support tiada batas untuk setiap tulisan saya
Jadi inspirasi dlm novel anda juga ya? ..itulah novel Eko Ivano..saya jg Eko,.tp blm nulis novel ha.ha..cepat sembuh...semangat..jangqn corona lho ya..
Hahaha.. Kok serba kebetulan ya... Kemarin tokohnya Adrian. Sekarang penulisnya Eko... Haha... Wah.. Saya blum layak nulis novel pak de... Blum prof.. Hee..makasih pak de apresiasinya ya...