Motor Listrik Dandy
*Motor Listrik Dandy*
Ramai sekali halaman depan rumah. Seperti suara banyak orang. Aku dan mama berhamburan ke luar dari dalam rumah. Ada apa di luar?
“Bu Yasri, ini Mas Dandy nabrak pohon mangga di depan rumah saya. Ini kepalanya bocor dan kakinya luka,” teriak Bu Wisnu dengan nada tegang dan tergesa.
Pak Wisnu, Bu Wisnu dan Bu Zakiya membopong Dandy. Di belakang mereka, Farhan, putra, Pak Wisnu, mengikuti dari belakang, membawa sepeda adikku yang rusak.
Mendengar itu, mama sontak berteriak histeris. Mama berlari seperti terbang ke halaman. Kakinya seperti tak lagi menginjak bumi. Wajah putihnya semakin pias dan pucat. Ada air yang mulai membasahi pipinya. Mama menangis dan panik. Apalagi, sore itu papa tak ada di rumah.
Aku yang menemani mama tak kalah panik dan bingung. Kami menerima tubuh Dandy dari gendongan Bu Wisnu dan Pak Wisnu. Kepanikan membuat kami lupa mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah menolong Dandy. Mereka masih membantu kami di rumah merawat Dandy. Beruntung, luka di kaki dan tangan Dandy tak terlalu parah. Hanya luka ringan. Tetapi, luka di kepala Dandy sepertinya cukup lebar dan menganga, sehingga darah segar terus mengucur.
Lalu meletakkannya di sofa besar di dalam rumah. Mama memeriksa kepala Dandy. Aku segera menuju kamar, mengambil perban, alkohol, kapas dan obat merah. Darah di kepala Dandy harus segera dihentikan dengan cara diberi kapas, perban dan obat merah. Luka-lukanya pun harus segera dibersihkan dengan alkohol agar tidak mengalami infeksi. Dandy harus mendapatkan pertolongan pertama sebelum mama memutuskan untuk membawa ke dokter, puskesmas atau ke rumah sakit.
“Telepon papa, Sya. Beritahu papa, Dandy akan mama bawa ke rumah sakit. Biar papa nyusul ke sana nanti. Ayo, ambil sepeda motormu. Kita bawa Dandy ke rumah sakit,” perintah mama yang segera saja aku lakukan tanpa membantah sedikitpun.
“Biar diantar Pak Wisnu saja, Bu Yasri. Pakai mobil kami saja. Kalau pakai sepeda motor kasihan Dandy. Nanti dia kesakitan,” kata Bu Wisnu yang langsung menyuruh Pak Wisnu mengambil mobil dan mengantarkan kami ke rumah sakit.
Di perjalanan hingga sampai di rumah sakit mama memeluk Dandy dan menasehatinya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
“Mama kan sudah nggak mau belikan Dandy sepeda motor listrik itu. Mama sudah bilang Dandy masih kecil. Masih SD. Belum boleh bawa sepeda motor listrik seperti itu. Tapi, Dandy maksa. Kalau sudah begini bagaimana?” tanya mama pada Dandy.
Memang ukuran sepeda motor listrik itu kecil. Mirip dengan sepeda biasa. Cocok untuk anak-anak sekolah dasar. Tetapi kecepatannya jauh melebihi kecepatan sepeda biasa. Itu sungguh membahayakan. Mama dan papa tak ingin Dandy terjatuh seperti sekarang ini.
Segala cara dilakukan Dandy untuk memaksa mama dan papa membelikannya sepeda motor listrik itu. Katanya beberapa teman di sekolahnya membawa sepeda motor listrik itu ke sekolah.
“Si Azriel, Dea, Kevin, dan Sheila tiap hari bawa sepeda motor kecilnya ke sekolah, Ma. Padahal tubuh mereka kan lebih kecil dari Dandy. Ayolah, Ma. Dandy nggak mau sekolah lagi jika mama dan papa tidak membelikan Dandy sepeda itu,” rengek Dandy hampir setiap hari.
Dan benar saja, Dandy tidak mau sekolah hingga tiga hari. Guru-gurunya datang ke rumah membujuknya untuk bersekolah, tetapi Dandy tetap teguh dengan pendiriannya. Dia tak mau sekolah jika tak dibelikan sepeda motor listrik kecil itu. Mama dan papapun mau tak mau harus membelikan sepeda motor listrik itu untuk Dandy.
Dandy diam seribu bahasa. Tak ada kata-kata yang meluncur dari mulutnya. Mungkin Dandy sangat menyesal. Air mata Dandy mulai turun. Dia sepertinya benar-benar menyesal dengan kejadian ini, apalagi, kepalanya yang bocor harus dijahit, sesuatu yang membuatnya ketakutan dan menangis.
“Maafkan Dandy ya, Ma. Dandy janji nggak akan makai sepeda itu lagi. Dandy akan simpan sepeda itu sampai nanti Dandy SMP. Maafkan, Dandy ya, Ma,” kata Dandy sambil memeluk mama.
“Ya, mulai sekarang Dandy nggak boleh memaksa mama dan papa menuruti semua keinginan Dandy. Kami tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk Dandy dan Mbak Tasya,” kata papa yang tiba-tiba saja sudah ada di sebelah kiri tempat tidur Dandy dengan senyum lembutnya.
Dandy mengangguk dan membalas senyum papa.
***
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
antap ceritanya, Bu Tri. Salam sehat selalu!
antap ceritanya, Bu Tri. Salam sehat selalu!
Terima ksih bnyak, Bunda. Lama tak menulis saya, Bunda. Kangen ini.
Terima ksih bnyak, Bunda. Lama tak menulis saya, Bunda. Kangen ini.
Ngalir begitu saja....Renyah dibaca dan mencabik rasa.Salam literasi, mbak Tri...
Makasih ya lek apresiasinya. Salam literasi juga. Itu kisah nyata Si Hafiz. Aku tambahi imajinasi di beberapa bagian. Hahaha ....