Tri Sulistini

Guru di SMPN 6 Pamekasan...

Selengkapnya
Navigasi Web
Papan Nama Bu Syafa
Dok. Pribadi

Papan Nama Bu Syafa

Masih pagi ketika aku sampai di sekolah. Masih sekitar tiga puluh lima menit lagi bel berbunyi. Tapi Bu Syafa dan Pak Rafli sudah berdiri di pintu gerbang menyambut kami, para siswa.

Setelah mencium tangan Bu Syafa dan Pak Rafli aku menuju musala untuk mengambil wudu dan melaksanakan salat duha. Setiap pagi selalu seperti itu sejak kami di kelas tiga. Pak Hanan, guru agama, pasti sudah menunggu kami di musala untuk memastikan kami sudah melaksanakan salat duha atau belum.

Beberapa menit sebelum bel, aku melihat Bu Syafa berkeliling. Ke ruang guru, ke ruang perpustakaan, ke ruang tamu, ke ruang tata usaha, ke ruang bimbingan konseling dan ke kelas delapan. Bu Syafa berkeliling tempat itu sebanyak dua kali. Setelah itu aku melihatnya menuju halaman depan. Tak lama kemudian aku sudah melihatnya berjalan menunduk menuju tempat parkir sepeda. Terakhir, Bu Syafa mengitari halaman depan kelasku. Entahlah. Bu Syafa sepertinya sedang mencari sesuatu.

Tak lama kemudian, terdengar suara gaduh dari arah kelasku. Aku mengenal suara-suara itu. Suara Marion, Zeyna, dan Shaka. Aku bergegas menghampirinya.

"Tak usahlah. Lagian, ini tak mungkin diperlukan," kata Marion.

"Ya, betul. Nanti kita justru disangka mengambil atau mencuri," sahut Shaka.

Kedua anak laki-laki itu memang bersahabat sejak lama. Sejak mereka duduk di bangku kelas satu hingga sekarang di kelas empat. Seia sekata. Kompak dan tak pernah ada kata saling membantah. Di rumah pun mereka juga bertetangga, makanya mereka juga sangat akrab. Kemana-mana selalu berdua.

"Kembalikan saja. Siapa tahu itu dibutuhkan. Tak mungkin Bu Syafa menuduh kalian mengambil atau mencuri. Sebenarnya kau dapat dari mana?" tanya Zeyna.

"Tadi aku yang menemukan itu. Di depan kelas ini. Di halaman. Sebenarnya aku ingin mengembalikan, tapi Shaka tertarik dengan magnetnya. Katanya, dia mau ambil untuk mainan magnet di rumah," jelas Marion.

"Bu Syafa tak butuh itu. Kalau butuh, Bu Syafa pasti mencarinya," tegas Shaka seolah ingin memastikan bahwa dia tak salah jika menyimpan magnet milik Bu Syafa. Entah magnet apa.

Aku masih khusyuk menguping pembicaraan mereka ketika terdengar suara pengumuman dari pengeras suara sekolah. Suara Bu Syafa.

"Ibu kehilangan name tag atau papan nama dada milik Ibu. Papan nama itu memakai penguat magnet. Bagi siswa atau siapa saja yang menemukan mohon dikembalikan pada Bu Syafa di ruang guru. Terima kasih," demikian Bu Syafa mengumumkan kehilangan papan nama dada miliknya.

Rupanya, Bu Syafa sejak tadi mencari papan nama yang biasa dipakainya di kerudungnya. Memang, setiap hari, aku bisa melihat Bu Syafa memakai papan nama itu yang disematkannya di kerudungnya. Tempat-tempat yang didatangi tadi, mungkin adalah tempat-tempat yang tadi Bu Syafa lewati atau datangi sebelum menyambut kami di pintu gerbang sekolah. Kasihan sekali Bu Syafa, dia nampak kebingungan.

Seketika aku menyadari bahwa yang menjadi bahan pembicaraan Marion, Zeyna, dan Shaka tadi adalah papan nama dada milik Bu Syafa.

Aku segera mendatangi mereka yang masih saling pandang. Terutama Shaka. Dia sepertinya ragu untuk membawa pulang magnet yang melekat pada papan nama itu.

"Kembalikan saja, Marion. Kasihan Bu Syafa. Sejak tadi, aku lihat Bu Syafa mencari-cari benda itu ke mana-mana. Aku melihatnya dua kali memasuki setiap ruangan. Kasihan Bu Syafa. Jangan mengambil sesuatu yang sudah jelas-jelas ada pemiliknya. Kecuali, kamu menemukan sesuatu yang kamu tak tahu siapa pemiliknya. Pemiliknya tak mencarinya. Kembalikan saja, Shaka," paksaku pada mereka dengan nada yang sedikit tegas.

Marion menatap Shaka. Di tangan Marion masih ada papan nama dada Bu Syafa sedang tangan Shaka menggenggam erat magnetnya.

"Biarlah, Win. Toh, Bu Syafa bisa membelinya kembali. Ini tak akan mahal harganya," Shaka masih mencoba menahan barang itu di dalam genggaman tangannya.

"Baiklah, kalau kamu dan Marion tidak mau mengembalikannya ke Bu Syafa, aku yang akan melaporkan pada Bu Syafa kalau kalianlah yang menemukan. Kalian lebih suka cara itu ya? Nanti kamu justru dituduh sebagai pencuri, sudah tahu pemiliknya tapi masih tak mau mengembalikannya," jawabku dengan sedikit ketus dan mengancam.

"Jangan, jangan Winda. Kami akan mengembalikannya. Bukan begitu, Ka?" jawab Marion segera. Dia sepertinya benar-benar takut aku akan melaporkan penemuan mereka pada Bu Syafa.

Tak lama, mereka pun ke luar dari kelas. Aku yakin mereka akan menemui Bu Syafa dan mengembalikan papa nama milik Bu Syafa. Jam istirahat, aku melihat Bu Syafa sudah memakai papan nama itu di kerudungnya. Ah, lega rasanya.

****

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post