Tri Sulistini

Guru di SMPN 6 Pamekasan...

Selengkapnya
Navigasi Web
Raffa's Story (106)
Namakulo.com

Raffa's Story (106)

Padahal, kami berdua bukan anak muda. Jika bukan karena banyak hal yang harus dipertimbangkan, tak butuh waktu lama untuk memutuskan kami bisa bersama atau tidak.

"Aku menunggumu, Rin. Kukira kita berdua cukup paham itu. Kita bukan anak muda lagi. Tapi, saat ini, sepertinya sudah tak mungkin. Herdi sudah kembali. Sudah bukan saat yang tepat," jawab Bang Muis getas.

Tepat. Seperti yang aku duga. Bang Muis datang dengan luka. Kecewa karena penantian selama ini tak berbuah apapun. Wajah ibu seketika terbayang. Harusnya aku ikuti semua kata-katanya. Menarik diri dan memintanya menjauh ketika hatimu tak sanggup menerima atau segera membuka hati saat dia memberi tanda untuk sebuah kebersamaan. Tapi, dua-duanya tak aku lakukan. Aku terus bertahan dengan sikap mengambang. Menunggu kejelasan. Kejelasan hatiku dan kejelasan sinyal dari Bang Muis. Mungkin, seperti kata ibu, sinyal Bang Muis sudah sangat jelas. Hanya, akulah yang tak mampu membaca. Tepatnya, aku pura-pura buta dengan semua kode yang diberikan oleh Bang Muis tentang keinginannya menemaniku dalam membangun masa depan bersama. Rafif, ya Rafif, lebih mampu membaca semua itu rupanya. Atau mungkin Rafif tak pura-pura buta sepertiku.

Aku kembali dikejutkan dengan suara Bang Muis yang masih duduk di depanku.

"Kedatanganku kemari, aku ingin pamit, Rin. Aku dimutasi. Tepatnya, aku yang meminta mutasi itu. Kota ini membuatku terluka dua kali. Aku tak punya cukup alasan untuk bertahan lebih lama di kota ini. Setiap sudutnya membuatku perih karena penuh kenangan. Manis dan getir," kata Bang Muis.

Sekali lagi, tepat dugaan ibuku. Begitulah, orang tua, tak pernah salah tentang hidup buah hati mereka. Bang Muis kecewa. Kecewa karena Lila. Kecewa karena tak ada sedikitpun tanggapan dariku untuk hatinya. Sekarang, aku harus bagaimana?

"Abang mau ke mana, Bang? Mutasi ke mana?" tanyaku penasaran.

Rafif tiba-tiba datang. Senyumnya mengembang melihat Bang Muis. Senyum yang nampak jauh lebih bahagia dibanding saat Mas Herdi datang. Memang, aku selalu mengabaikan sinyal yang ditunjukkan oleh Rafif tentang Bang Muis. Aku sibuk menata hatiku sendiri.

"Yang jelas aku tidak lagi di kota ini. Cukup sudah aku menunggumu. Kukira kau akan paham makna kehadiranku di sini. Kita bukan anak-anak lagi. Nyatanya aku salah. Kau mungkin masih berharap Herdi kembali. Sekarang dia benar-benar kembali dan aku harus tahu diri," jawab Bang Muis seperti tak ada jeda sedikitpun.

#bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantapp, Bun

16 Sep
Balas

Keren ceritanya Bu Tri Sulistini

16 Sep
Balas

Terima kasih Pak Haji

16 Sep

Terima kasih Pak Haji

16 Sep

Terima kasih Pak Haji

16 Sep

Terima kasih Pak Haji

16 Sep

Waduuhh...sy ikut hancur bund....

16 Sep
Balas



search

New Post