Raffa's Story (109)
Tingkah Mas Rafif sungguh di luar dugaanku. Mama sontak menarik tangannya dari genggaman tangan Om Muis. Matanya jalang menatap Mas Rafif. Seolah dia ingin menelan Mas Rafif bulat-bulat. Sementara, Mas Rafif masih penuh euforia. Senyum lebarnya belum pudar. Entah, sepertinya dia tak paham kemarahan mama. Mungkin juga, dia pura-pura tak paham.
Om Muis memberi reaksi yang berbeda. Senyum lebar Mas Rafif menularinya. Dia pun tersenyum pada Mas Rafif. Meski tangan kanannya tertolak oleh mama, Om Muis sama sekali tidak marah. Tangannya menyusuri punggung Mas Rafif, ke atas dan ke bawah. Berulang-ulang.
Mama kehabisan akal. Kemarahannya tak berbalas. Mas Rafif seperti tak merasa bersalah apa pun. Dia lalu melihat ke arahku. Tanpa pikir panjang aku panggil dia dengan isyarat tanganku. Seakan paham, dia beranjak meninggalkan kursi yang didudukinya.
"Maafkan Rafif ya, Bang," kata mama ke Om Muis.
"Tak ada yang salah. Jadi, tak ada yang perlu dimaafkan. Aku justru senang jika anak-anakmu mendukungku, Rin. Itu artinya, aku tak perlu berpura-pura dan mencuri hati mereka," jawab Om Muis.
Sejujurnya, aku sendiri merasa Om Muis hadir sebagai sosok pengganti papa di saat yang tepat. Di saat kami benar-benar limbung dan tak mampu menata hati dan hidup kami. Bukan saja soal ekonomi, tapi juga kami kehilangan figur kepala keluarga yang selalu mengayomi kami. Semuanya memang jauh lebih baik ketika mama mulai bekerja di sebuah bank swasta dan Om Muis hadir mengisi kekosongan kedudukan seorang papa.
Sayangnya, Om Muis tak punya cukup keberanian untuk mengatakan secara langsung kepada mama. Pun, mama. Dia selalu takut menterjamahkan setiap sinyal yang Om Muis coba pancarkan dari rasa hatinya. Andai aku orang dewasa seperti mereka, semua tak butuh waktu lama. Aku bisa pastikan itu. Mungkinkah kisah cinta orang dewasa jauh lebih rumit dibandingkan kami, anak muda? Tak tahulah.
"Aku mohon pamit dulu, Rin. Insyaallah, kalau aku sudah akan berangkat, aku akan berkabar lagi kepadamu," kata Om Muis kepada mama.
"Baiklah, Bang. Apakah dengan memberitahuku, itu berarti kamu masih memberiku kesempatan kedua seperti pintaku, Bang?" tanya mama.
"Ada atau tidak ada kesempatan itu, jika kau meyakini akan pentingnya hadirku untukmu, aku yakin, kau pasti akan memperjuangkan itu. Itu yang aku lakukan kepada selama ini. Meski aku tak tahu ujungnya nanti seperti apa, kau menerimaku atau justru menolakku, aku tak lagi peduli," jawab Om Muis.
Ah, itu sebenarnya lebih dari cukup. Sinyal yang kuat. Jika saja aku mama, aku tak akan berpikir dua kali lebih lama untuk sekadar menentukan pilihan. Kupikir, Om Muis adalah lelaki yang sangat baik. Melepaskannya adalah sebuah penyesalan panjang.
Om Muis pulang. Senyum lembutnya kembali menghiasi bibirnya. Aku lihat mamapun tersenyum. Aku masih mengintip dari balik tirai ruang tamu ini. Mama, mengapa tak segera kau iyakan saja? Tak akankah kau menyesal jika Om Muis memilih pergi dan tak akan pernah kembali lagi?
#bersambung
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ada yang ngintip rupanya
Hehehehe... Iya bund. Thanks ya bund
Aduhhh....makin baper sy bund. Hayuukk sgra lanjut ..he he
Sudah jadi buku bunda
Trims banget kunjungannya ya bund