TUTIK HARYANTI

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Misteri..bag. 7

#TantanganGurusiana hari 44

Bapak kepala sekolah sebelumnya telah menegaskan bahwa apapun hasilnya, jangan sampai anak-anak yang lain tau bahwa dua orang anak ini dipanggil. Sebagai bentuk hak asasi mereka. Tempat untuk memanggil merekapun di ruangan beliau. Diputuskan nanti yang akan menginterogasi mereka adalah bapak kepala sekolah, bu Wita, walikelas tujuh, bu Risa dan aku sendiri. Kami sepakati skenario yang akan kami lakukan nanti dalam penyelidikan. Benar-benar permainan yang luar biasa ini, pikirku.

Karena jumlah murid yang tak lebih dari seratus orang, maka sengaja jadwal terakhir dibuat kegiatan bersih-bersih lingkungan sekolah, agar anak-anak tidak fokus pada satu sama lain. Sehingga saat dua anak ini kami panggil, tak sampai ternampak oleh yang lain. Dan alhamdulillah, situasi telah dapat kami kondisikan. Begitu dua anak ini masuk ruangan kepala sekolah, pintu dan hordenpun kami tutup rapat. Hatiku benar-benar berdegup kencang, dan tanganpun terasa dingin meski cuaca di luar panas terik. Karena terus terang baru kali ini aku tangani kasus seperti ini di sekolahku, dan selama aku jadi guru. Biasanya yang kami hadapi hanyalah kasus anak-anak yang terlambat masuk sekolah, seringkali tak kerjakan tugas, ataupun saling ejek antar kawan. Tapi ini sungguh sangat mengejutkan dan membuat kami para guru cukup berkernyit dengan dua kasus yang bisa dibilang berturut-turut ini.

Kami dudukkan mereka di tengah, sementara kami guru-guru berada di samping kanan kiri mereka. Raut wajah mereka cukup tenang. Tak nampak kegelisahan ataupun kecemasan. Ada keraguan dalam hatiku. Jangan-jangan kami telah salah dalam permainan ini, sementara sang pelaku yang sebenarnya melenggang dan tertawa di luar sana. Cara apa lagi yang harus kami lakukan. Justru aku yang cemas dan gelisah menghadapi situasi di ruang kepala sekolah. Akhirnya bapak kepala sekolahpun mengawali pembicaraan. Setelah beberapa hal disampaikan, bapak kepala sekolahpun mengajukan beberapa pertanyaan. Dan keduanyapun menjawab pertanyaan-pertanyaan kepala sekolah dengan cukup lancar dan begitu datarnya ekspresi yang mereka tunjukkan. Akhirnya, bu Wita menambahkan, dengan nada sedikit dinaikkan. Anak yang satunya mulai menunjukkan gelagat yang mencurigakan. Karena ada keterangan yang bertentangan dari saat ditanya kepala sekolah dengan pengulangan pertanyaan dari bu Wita. Akupun ambil celah itu untuk ikut mencecar mereka. Sedikit kutinggikan suaraku, dan kulebarkan mataku. Tetapi mereka tetap saja tidak mau mengaku. Anak yang mulai gelisah dan nampak pucat tadi, makin memerah mukanya. Tangannya pun diremas-remasnya dan kulihat sedikit gemetar. Namun anak yang satunya, tetap datar saja mukanya.

Tiba-tiba bapak kepala sekolah menggebrak meja sambil teriak, "ngaku tak kalian!! mencla mencle pula jawaban kalian!" Tersentak kaget kami semua. Seketika anak yang sudah pucat tadi menangis dan langsung menjawab, "ii iya iiyaa pak". Lalu dengan serta merta dia menunjuk kawan disebelahnya, bahwa dialah yang menyuruhnya untuk ambil HP Desi. Anak yang ditunjukpun tertunduk lesu. Barulah nampak raut ketakutannya. Yang sedari awal tadi nampak kokoh tak tergoyahkan, kini luluh lantak segalanya. Ngeri juga bapak ini, bisa juga marah rupanya, pikirku.

Saat istirahat pertama, saya tidak langsung ke kantin, tapi disuruh menunggu di WC, setelah semuanya ke kantin, kelas kosong, saya masuk dan ambil HP itu, sementara dia jaga dekat luar kelas untuk melihat kalau ada anak yang sudah balik dari kantin. "HP itu dia yang bawa pak, nanti pas pelajaran bu Ika, dia mau ijin pulang karena sakit", jelas anak itu pada kami. Astaghfirullah, inikah yang ada dalam pikiran anak muridku, begitu runtut bagai sebuah sinetron.

"Trus HP Dion kalian simpan di mana sekarang? Udah kalian jual yaa, laku berapa, cecar bu Wita. Kalau itu saya tidak tahu bu, kelitnya. Bohong, udah ketangkap basah macam ini tak usah kamu berdusta lagi, apalagi kamulah otaknya. Bu Wita makin geram. Akhirnya kudekati anak satunya. Kupegang pundaknya dan kucoba bicara dengan nada yang setenang mungkin. Apakah kalian juga yang ambil HP Dion, karena kasus ini akan terus diselidiki sampai tuntas. Sekarang kalau memang kalianlah yang mengambil HP Dion, maka masalah ini ya akan kami cukupkan sampai di sini. Bahkan tak perlu juga sampai orang tuamu tahu, tapi kalau sekiranya tak bisa juga selesai, sekolah akan minta bantuan pihak kepolisian. Dan kalau udah masuk kepolisian, maka kasusnya akan jadi makin rumit. Bisa-bisa kena penjara kalian, tak bisa lagi sekolah. Panjang lebar kucoba sentuh perasaannya. Meski harus dengan menakut-nakuti. Ampun bu, saya minta maaf, jangan laporkan saya ke polisi ya bu, akhirnya sang dalang yang dari tadi nampak tegar, tertunduk pasrah dan keluar juga butiran bening dari matanya. Runtuh sudah benteng pertahanannya. Saya sebenarnya tak bermaksud ambil HP Dion, sayapun tak tahu itu HP nya Dion bu, tapi pas saya masuk kantor, dan melihat di kotak penitipan masih ada satu HP tertinggal, makanya saya pikir bukan punya siapa-siapa. Belum sempat anak itu menyelesaikan keterangannya, bapak kepala sekolahpun menyela, "sudah, sudah, intinya sekarang kalian mengakui perbuatan kalian kan, jadi sekarang kalian juga yang harus bertanggung jawab untuk mengembalikan HP kawan-kawanmu. Nanti walikelas yang akan menyampaikan ke orang tua kalian. Tapi kalian akan tetap menandatangani surat pernyataan yang bermaterai, untuk tidak mengulangi perbuatan kalian. Dan siap menerima sanksi apapun yang diberikan sekolah jika terbukti melakukannya lagi.

Akhirnya setelah anak-anak itu menandatangani surat pernyataan, mereka kami persilakan untuk bergabung dengan teman-temannya untuk kerja bakti. Hari ini kurasakan lebih cerah dari hari-hari sebelumnya. Kemudian kepala sekolah memanggil walikelas untuk pergi ke rumah orang tua anak-anak tersebut. Namun dengan skenario lain. Sekolah meminta mereka untuk membantu mengganti 'kerusakan' yang ditimbulkan anak-anak tersebut terhadap HP kawan-kawannya. Sengaja diambil keputusan dan kesepakatan tentang alasan ke orang tua, harus membantu mengganti 'kerusakan', supaya mereka tidak terbebani dengan sanksi moral yang akan mereka terima, seandainya tahu yang sebenarnya. Dan juga menghindari akan adanya tindakan kekerasan terhadap anak-anak tersebut.

Alhamdulillah, insyaAllah inilah langkah terbaik untuk seluruh komponen di sekolah. Semoga menjadi pempelajaran untuk hari-hari selanjutnya.

#Tamat

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post