Tuti S Susilawati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Yang Menunggu di Tepian Waktu

Tak pernah lagi kuhitung berapa lama aku sudah bertugas di sini. Harapan untuk segera dipindahkan ke tempat yang lebih baik, dalam persepsiku, kini bagai kerdip lampu-lampu nun jauh di sana. Semakin kecil, bahkan semakin hilang. Mulai kunikmati perjalanan yang semakin hari semakin akrab dengan seluruh indraku. Gunung batu, bukit pasir, debu dan asap tebal yang dikeluarkan dari truk-truk raksasa menjadi pemandangan yang biasa. Goncangan mobil yang merayap di jalan dengan bongkahan batu seirama dengan goncangan hidup yang kulewati.

Pukul 6.00 kurang 15 menit, seperti biasa aku berkemas seperti orang yang takut ketinggalan pesawat. Perjalanan satu jam menungguku. Pukul 6.45 aku harus sampai di gerbang sekolah, menyambut siswaku yang datang berbekal harap.Mobil tua kesayanganku melaju dengan terburu-buru. Aku hampir hafal setiap kelokan, turunan dan tanjakan yang kulewati. Aku hafal kapan dan di tempat mana aku bisa melewati truk yang bermuatan pasir atau batu- batu besar yang terlihat lelah tanpa tenaga. Aku hafal benar ada sungai besar yang kulewati setiap pagi yang ditunggui perempuan tua.

Wanita tua itu, menurut kabar yang kudengar hampir 4 tahun menunggu di tepian sungai. Ketika matahari masuk di sela-sela jendela dia terburu- buru berangkat dengan khayal yang tak pernah bertepi. Anak gadisnya hilang tak tahu rimbanya.

Subuh yang mendung, seperti layaknya perempuan dewasa di desanya, Mina menuntun dua adik kecilnya bergegas ke sungai memenuhi segala hajatnya. Sungai adalah bagian tak terpisahkan dari rumahnya yang sederhana. Tidak berselang lama kabar duka membahana di seantero desa. Air bah yang tak diundang menghanyutkan semua yang ada. Bersama dua adik kecilnya teman dan tetangga Mina taka ada, tak pernah kembali.

Perempuan tua itu setia menunggu dan menunggu. Guliran waktu, udara berdebu, tak pernah dia tahu. Matanya kosong menatap gumpalan air sungai yang kadang tenang, kadang menderu. Harapan tak berlogika, air sungai yang besar mengembalikan ketiga buah hatinya. Sesekali tangannya direntangkan seolah siap memeluk buah hatinya yang akan datang tiba-tiba. Kali lain dia tergopoh- gopoh mengulurkan tangannya yang makin keriput seolah bersiap menarik buah hatinya dari dasar sungai. Bahkan tak jarang berteriak memanggil nama buah hatinya.

Taka ada yang sanggup melarang, taka da yang sanggup menghalang. Tepian sungai adalah paling indah yang dia punya. Tempat yang membiarkan khayal dan harapnya berlomba. Empat tahun menunggu di tepian waktu.

Pagi ini laju mobilku terhenti. Iring-iringan pengantar jenazah di jalan penuh debu. Penuh rasa haru kudengar cerita pilu ini. Perempuan tua itu jatuh di sungai saat dia masih menunggu. Menunggu buah hati di tepian waktu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Huhuhu.... Sedih... Latarnya familiar, namun tokohnya tak ku kenal... :)

05 Oct
Balas

Htr nuhun ka sadayana

13 Oct
Balas

Terharu sekali membacanya....mengena di hati

05 Oct
Balas

Follback mba

05 Oct
Balas



search

New Post