Tyas Susilowati , M.Pd

Seorang guru dengan dua putra - putri yang beranjak dewasa. Mengawal perkembangan anak-anak dengan berbagai tantangan dan kenikmatan adalah karunia yang l...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kasih yang Terserak

Kasih yang Terserak

(2)

Oleh : Tyas Susilowati

Sambil dipapah dan disokong ibunya Mbak Inem masuk rumah mertuanya yang habis Ia renovasi bersama almarhum suaminya. Pelayat mulai pulang satu per satu. Mbak Inem duduk dan diberi minum oleh ibunya. Sementara Wawan bersama adiknya yang melayat dari kampung sebelah beda kecamatan.

Usai tujuh hari , yang tinggal di rumah adalah ibunya dan keluarga ibu mertuanya. Mbok Wariyah , sang ibu mertua mulai bertanya pada mbak Inem, " Nem, kamu gimana mau ikut simbok atau pulang ke rumah orang tuamu, suamimu sudah tidak ada, simbok tidak punya banyak uang untuk hidup kita bertiga".

Mbak Inem terkejut dengan pertanyaan ibu mertuanya, ditatapnya ibu kandungnya , berharap ibunya bisa membantu menjawab.

Dalam kebingungan , mbak Inem pun menjawab, " Kalau diperbolehkan yang penting Wawan dengan saya mbok, baik di sini maupun saya pulang ke rumah orangtua saya".

Mbok Wariyah memerah matanya, giginya beradu, " Tidak bisa , Wawan cucuku, dia pengganti Harjo, jadi biar kubesarkan, kamu yang pulang ke rumah orang tuamu".

Mbok Prihatin, ibu kandungnya gemetar mendengar besannya marah, diraihnya anak perempuannya, dan mengajak masuk kamar, disuruhnya anak perempuannya bergegas, membawa apa yang berharga dan kepunyaannya. Digendongnya Wawan dan berpamitan pada besannya.

" Karena Wawan masih kecil, dia butuh bimbingan ibunya , San, mohon maaf mungkin kita akan sering berkunjung ke sini."

Tak kalah galaknya, mbok Wariah merebut Wawan dari gendongan, dan Wawan pun meronta-ronta untuk tetap ikut ibunya. Tak kalah akal, dikeluarkan pisau yang biasa untuk menyembelih ayam, pisau tajam berkilat-kilat pun didekatkan pada leher Wawan.

Mbak Inem menjerit , dan ibunya pun menyuruh melepaskan Wawan, dengan sangat sedih Wawan pun berada di dekapan Mbok Wariyah.

Mbok Prihatin dan Mbak Inem pun berpamitan dengan baik-baik, " San, titip Wawan ya, saya percaya di tangan panjenengan Wawan akan jadi anak yang sholih, kami pamit dulu, seminggu atau kapan pun Inem kangen anaknya , Inem akan mengunjungi Wawan, atau kapan pun panjenengan dan Wawan bisa berkunjung ke rumah kami, rumah kami terbuka untuk Wawan dan besan".

Tangis ibu dan anak begitu menyesakkan dada, dipeluk dan diciuminya Wawan, untuk ditinggalkan bersama sang nenek. Wawan meronta-ronta minta ikut ibunya.

Bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren cerpen bu Tyas. Asyik mbacanya. Lanjut bu...

31 Oct
Balas

Terima kasih apresiasinya pak.Salam.literasi.

31 Oct

Seru cerpennya, Bunda. Kasihan Wawan. Semoga sukses selalu, Bunda. Ditunggu kelanjutannya.

31 Oct
Balas

Terima kasih apresiasinya bunda, insyaallah dilanjut.

31 Oct

Kalau ibu akan keluar rumah efek suara tangis bakal mengema..ikuttttt mantap bun

31 Oct
Balas

Benar bun, pilihan yang sulit bun, trimakasih sdh membaca, salam sukses bu.

31 Oct



search

New Post