Uki Lestari

Perempuan kelahiran Sitiung II, 30 Juli 1987 ini adalah anak ke-5 dari tujuh bersaudara. Dibesarkan dari almarhumah ibu yang juga guru, membuat cita-citanya jug...

Selengkapnya
Navigasi Web

Dia telah Pergi

Dia telah Pergi

Oleh: Uki Lestari

Bulan ini adalah bulan terakhir para siswa belajar bersama guru kelasnya, khususnya kelas 6. Tentu saja ini masa-masa sulit, baik bagi guru maupun siswa. Apalagi di masa pandemi yang entah sampai kapan berakhir ini. Pembelajaran yang dilakukan tak seoptimal hari-hari normal sebelum pandemi tiba. Untungnya, anak-anak diwajibkan ujian akhir dengan sistem tatap muka. Lebih lumayan daripada tahun kemarin yang meniadakan ujian akhir bagi kelas 6, 9, dan 12.

Sebagai guru kelas 6, saya ikut berpartisipasi dalam persiapan ujian akhir tersebut. Tadi pagi, sekolah kami melaksanakan pertemuan dengan wali murid alias rapat wali murid. Tentu saja tak lupa mengedepankan protokoler kesehatan. Tujuan kami tidak muluk-muluk, membincangkan tentang ujian anak-anak kami dan perihal lain yang urgen.

Namun, sesuatu hal terjadi. Hal yang entah harus bagaimana saya rasakan saat itu. Kepergiannya membuat nurani saya menjerit. Dia yang selama ini membuat para guru ngamuk, kini pergi dengan sebuah alasan yang sangat tak dia inginkan. Ya, mungkin saja sekarang dia tak terlalu menyesalkannya, tapi suatu hari nanti pasti akan menjadi hal berkesan baginya. Ya, hari ini dia benar-benar telah pergi. Reyhan.

Hehe, ini bukan cerpen saya, ya. Cerpen yang selalu tokoh laki-lakinya saya beri nama Reyhan. Saya pun tidak tahu alasan apa yang membuat saya suka dengan nama itu. Dan memilih nama itu sebagai nama abadi di cerpen-cerpen saya. Saya hanya nyaman dengan nama itu, tak lebih.

Namun, entah kebetulan atau memang takdir, ternyata ada siswa saya bernama Reyhan. Bukan di kelas yang saya ajar sih, tapi di kelas 6A. Sedangkan saya mengajar di kelas 6B. Anak itu pindahan dari kota lain. Dia pindah saat semester 2 kelas 5 tahun lalu. Sekarang dia telah duduk di kelas 6.

Saat ini Reyhan tinggal bersama neneknya. Orang tuanya telah berpisah. Ayah beristri baru, begitu pun dengan ibunya, telah mendapatkan tambatan hati baru di pulau yang jauh. Reyhan hidup terkatung-katung. Tidak saja dia, adiknya pun bernasib sama. Yaa Allah.

Tinggal bersama nenek yang renta dan mencari nafkah hanya dengan menjual sayur. Saya baru sadar, tidak salah jika Reyhan berperilaku seperti itu. (Maaf) perilakunya sangat memprihatinkan. Ulahnya memang benar-benar membuat emosi para guru di sekolah tempat saya mengajar penuh. Dia tak dapat diajari secara klasikal. Mungkin dengan pendekatan psikologi, Reyhan akan mengerti. Namun, lagi-lagi pandemi menghukum semuanya. Bimbingan dan konseling guru ke siswa terhambat. Guru tentu saja tak mungkin memperhatikan satu siswa saja dalam waktu yang lama. Apalagi dibatasi oleh waktu yang jauh sedikit dari hari-hari sebelum korona datang.

Singkat cerita, dulu di saat Reyhan masuk ke SD kami untuk meminta surat bersedia menerima, sudah kami berikan. Namun, ketika Reyhan dan neneknya datang ke sekolah di hari pertama, surat-menyuratnya tidak cukup. Neneknya memohon agar pihak sekolah menumpangkan dahulu cucunya agar tak tertinggal pelajaran sembari beliau mengurus surat-surat tersebut. Kami pun menerima dengan dalih kasihan. Toh tugas dasar kami memang mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan tentunya Reyhan sebagai warga negara berhak mendapatkan pendidikan seperti yang tertuang dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945.

Hari berganti hari, bulan pun berjalan, tahun tak mau ketinggalan. Berkali-kali pihak sekolah menanyakannya, namun tak ada tanggapan dari keluaga Reyhan. Surat-menyurat yang dijanjikan pihak Reyhan tak kunjung datang. Kini,Reyhan akan menghadapi ujian akhir. Namun, di saat pihak sekolah mendaftarkan peserta ujian akhir, nama Reyhan tidak bisa terbaca oleh sistem. Ternyata, pihak sekolahnya yang lama belum mengeluarkannya dari data dapodiknya. Apa daya kami, Reyhan tak bisa dimasukkan ke data dapodik sekolah kami sebelum sekolah lama mengeluarkannya.

Sebenarnya ini bukan hal yang patut menjadi masalah jika pihak Reyhan bersungguh-sungguh mengurus surat-surat tersebut. Namun, mungkin saja karena keadaan keluarga yang serbatidak ada, mencari informasi saja begitu sulit bagi mereka. Reyhan sudah pindah sekolah berkali-kali. Dan di sekolah terakhirnya sebelum pindah ke sekolah kami pun dia tidak terdaftar. Lalu, di sekolah manakah nama Reyhan itu terdaftar. Entahlah!

Jika memang orang tuanya sayang kepada anaknya agar tidak menjadi penyesalan di kemudian hari, pasti mereka akan mengusahakan mencari data tersebut. Baik ibu ataupun ayahnya. Namun, tak satu pun yang peduli. Sejatinya orang tualah yang bertanggung jawab penuh atas nasib Reyhan ke depannya. Kami pihak sekolah sudah membantu dengan sekuat tenaga, tapi hasilnya nihil. Semoga saja orang tuanya dibukakan pintu hatinya agar lebih peduli pada darah dagingnya sendiri.

Inilah akibat dari perpecahan rumah tangga, perceraian. Bukan istri ataupun suami saja yang akan menanggung akibatnya, tapi anak. Buah hati yang sejatinya diberikan kasih sayang di masa tumbuh kembangnya, diberikan pendidikan, malah tidak diurusi dan ditinggalkan. Sedangkan orang tua, bersenang-senang di atas penderitaan, kehausan kasih sayang, dan hidup terombang-ambing di tangan nenek yang makin lemah, makin tak berdaya.

Kini, dia telah pergi. Tidak ada lagi Reyhan yang selalu mengganggu kelas saya yang sedang fokus belajar. Tidak ada lagi tatapan muak tapi iba padanya, tidak ada lagi yang menggendang-gendang kaca kelas kami di saat kami serius membahas pelajaran, tidak ada lagi sapaan santainya pada saya yang tak bisa marah lagi padanya.

Ya, Reyhan benar-benar pergi. Siswa yang selalu menyapa saya di jalan jika bertemu. Selalu dan selalu. Bahkan, siswa yang saya anggap baik saja enggan menyapa saya yang masih mengajarnya di kelas jika bertemu di jalan. Tapi, tidak dengan Reyhan. Ini Reyhan, anak yang kurang kasih sayang, yang membuat eneg para guru, anak yang dengan santai melawan guru-guru di sekolah, dan anak yang semena-mena pada kawan sebayanya.

Reyhan, semoga nasibmu lebih baik di kemudian hari. Meskipun tak ada orang tua yang menjagamu, namun ada Allah, Maha Pencipta Maha Segalanya. Hanya itu doa yang dapat ibu kirimkan pada Sang Kuasa. Ibu tahu, ini bukanlah keinginanmu, ini bukan kehendakmu. Keegoisan orang tuamulah yang mau menelantarkan keadilan untukmu.

Solok, 4 Maret 2021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Saya juga punya murid seperti itu. Korban perceraian ortu. Tinggal dg nenek. Endingnya ia pun pergi

04 Mar
Balas

Ksihan

04 Mar
Balas

Memang terkadang kita ikut prihatin dengan kondisi siswa yang seperti itu, tetapi disatu sisi kita pun tidak berdaya untuk membantunya. Keren kisahnya, Bu. Salam sukses selalu.

05 Mar
Balas

Di tempat saya mayoritas siswa broken home juga Bun. Smg reyhan2 lainnya Allah berikan khidupan yg lbh baik kelak. Aamiin

04 Mar
Balas

Kereeeen.

05 Mar
Balas

mantap keren cadas...terbawa Reyhan... sukses selalu... salam literasi... mohon ijin follow dan follow back, makasih

04 Mar
Balas

Aamiin. Makasih, Pak. Dipersilakan, Pak. Insyaallah siap.

04 Mar



search

New Post