Uki Lestari

Perempuan kelahiran Sitiung II, 30 Juli 1987 ini adalah anak ke-5 dari tujuh bersaudara. Dibesarkan dari almarhumah ibu yang juga guru, membuat cita-citanya jug...

Selengkapnya
Navigasi Web
Gegara Rujak Esi

Gegara Rujak Esi

Gegara Rujak Esi

Oleh Uki Lestari

Lima sekawan ini bagaikan pinang dibelah lima. Tentu saja bukan rupanya, namun kekocakannya di saat mereka bertemu. Ada saja yang dibahas dan pada akhirnya gelak tawa pecah seolah hanya mereka berlima penghuni bumi ini.

MUCEF nama yang mereka sepakati untuk kesejatian persahabatan mereka. MUCEF merupakan kumpulan huruf awal nama mereka. Mul, Uki, Chu, Esi, dan Fitra. Entah apa yang menyebabkan mereka menjadi sahabat sejati. Dan dengar-dengar kabar, di antara mereka begitu banyak perbedaan, namun mereka bisa menyatu padu bagaikan santan dan bumbu pada rendang.

Esi yang memiliki pohon buah yang begitu banyak, suka membagi-bagikan hasil kebunnya untuk sahabatnya. Dan sahabat yang paling dekat rumahnya dengan rumah Esi adalah Uki. Uki sangat beruntung bertetangga dengan Esi.

Seperti hari ini, tak ada angin, tak ada hujan, tetiba Uki diterpa badai buah-buahan. Esi membawakannya berbagai macam buah. Bahkan, paketnya komplit!

Esi itu dermawan ulung. Jika memberi tak tanggung-tanggung. Jika dia memberi jambu, bengkuang, kedondong, dan mangga muda, maka dia akan memberi lengkap dengan kuah kacang pedas. Ya, jadilah rujak.

Uki terkejut bukan main. Dia teramat bersyukur. Badai nikmat seperti apa yang sedang ditanggungnya saat ini. Saking pekanya Uki atas kehadiran Esi dengan rujaknya, Uki berlari-lari kecil dengan selendangnya ke selasar rumah. Angin cinta yang dibawa Esi begitu hebat. Hingga terjadilah badai cinta. Rujak cinta.

Uki terharu atas kebaikan sahabatnya satu ini. Sampai-sampai dia menangis tersedu. Begitu terharunya, air mata melimpah ruah. Uki segera mengelapnya dengan kain lap tangan yang dipakai Esi saat rujak.yang dibawakan untuk Uki tadi berlepotan.

Bukannya mereda, malah Uki semakin menangis bombay akibat salahnya sendiri. Esi yang tak tega, memberikan bantuan dengan membasuh mata Uki dengan air bekas cucian cabe pada kuah rujak yang sengaja dibawanya yang entah untuk apa.

Uki berterima kasih. Kali ini dia tidak merasakan sakit lagi. Tapi, matanya sudah mati rasa. Matanya membengkak kepanasan. Mereka memutuskan untuk pergi berobat ke dukun beranak.

Di saat Esi dan Uki beranjak, ternyata ada Paparazi yang sedang mengintip. Ya, Fitra dan Chu memantau dari jauh. Mereka sedih, ternyata Esi tidak memberi mereka rujak.

"Mentang-mentang Uki itu dekat rumahnya dengan Esi, Esi hanya ngasih Uki saja ya, Chu," bisik Fitra.

"Iya, Fit. Kita gak dikasih Esi. Esi tega, ya. Kita 'kan juga sahabatnya. Apa dia tidak ingat saat kita bertiga berlari-larian di pelataran rumah sakit saat kita baru pandai berjalan? Apa dia lupa di saat kita saling sisiran di saat kepala kita masih plontos di umur 7 bulan?" balas Chu.

"Pokoknya Esi tega ya, Chu. Sekarang selagi Esi tidak di rumahnya, bagaimana jika kita panjat saja pohon kedondong Esi. Kebun Esi 'kan gak ada yang jagain!" lanjut Fitra penuh tekad.

"Iya ya, Fit. Ayo, kita berangkat! Gue lihat tadi buahnya lagi lebat-lebatnya," jawab Chu bersemangat.

Berjalanlah mereka tergopoh-gopoh ke kebun Esi. Tak butuh waktu lama, mereka sampai di tempat tujuan. Dengan lirikan ke kiri dan ke kanan bentuk sikap siaga, mereka mulai beraksi.

Saat mereka memulai memanjat pohon kedondong, mereka terperanjat. Mereka kaget, ternyata Mul sudah berada di atas pohon sambil memakan kedondong dengan posisi duduk santai dan kaki bergoyang.

"Hah, lo kok bisa di sini juga, Mul?" tanya Fitra sambil mendongak tak percaya ke atas.

"Hahahahaaa, ya iyalah. Gue kan punya indra keenam. Saat buah-buahan Esi sudah mulai ranum dan Esi belum juga mengantarnya ke rumah gue, naluri gue berkata untuk merealisasikan ilmu panjat tebing gue dulu."

"Wah, lo juga gak dikasih Esi, Mul?" sela Chu yang makin membara karena merasa dibeda-bedakan Esi sebagai sahabat.

"Oke, kita lanjut ambil kedondongnya, lalu kita panjat juga pohon mangga Esi," lanjut Chu beringas.

"Okeee, lo nunggu di bawah aja ya, Chu! Biar gue yang manjat. Lo tukang kumpulin aja!"

"Siap, laksankan!" Chu telah bersiap dengan keranjang rotan yang telah tersedia tak jauh dari pohon kedondong tersebut.

Tak lama kemudian, saat mereka asyik-asyiknya memetik kedondong, Fitra terpekik histeris.

"Aduuuuuuh, sakiiiiit!!!!" pekik Fitra.

Ternyata Fitra digigit semut hutan yang merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Fitra menangis tersedu-sedu. Chu yang panik menyuruh Fitra segera turun. Mul yang melihat Fitra kesakitan, menjadi geli apakah semut hutan itu juga akan menggigitnya.

Fitra berhasil turun dengan selamat. Namun, kakinya bengkak dan memerah akibat gigitan semut itu. Mul yang masih di atas menjadi lasak karena ada sesuatu yang masuk ke bajunya. Dan tiba-tiba...

"Brukkkk!!!!"

"Aduuuuuh,,," teriak Mul dan Chu serentak.

Mul terjungkal karena geli saat ada sesuatu yang masuk ke bajunya. Mul jatuh tepat di atas kepala Chu.

Ketiganya sekarang merasakan sakit yang berbeda-beda. Mereka mengerang seperti bayi ingin meminta makanan. Di saat mereka menangis bersama, Uki dan Esi pulang berobat dan melewati kebun Esi.

"Hey, Guys. Pada ngapain di sini? Kok pada menangis sih?" tanya Esi iba dan penasaran. Sedangkan Uki, matanya masih diperban dan berjalan dipapah Esi.

"Maafkan kami, Si. Kami sudah berani-beraninya mengambil buah-buahan lo tanpa permisi," ucap Mul yang masih merintih kesakitan.

"Iya, Si, maafin kami ya, sudah ambil punya lo. Sebenarnya kami sedih saja, lo panen buah dan bikin rujak gak ngasih kami, hanya Uki yang lo kasih," sambung Chu.

Fitra masih mengelus kakinya yang bengkak. Dia hanya mengangguk-angguk tanda setuju karena telah berbuat salah.

"Sahabat-sahabat yang gue sayangi. Maafkan gue ya, bukannya gak mau ngasih kalian. Tapi, semua sudah gue sediakan buat kalian berempat. Karena Uki paling dekat rumahnya dengan gue, ya dia duluan yang gue antar."

Pernyataan Esi makin membuat mereka salah tingkah dan malu. Bukan saja mencuri buah-buahan Esi, mereka juga sudah suuzan kepada sahabatnya sendiri tanpa tabayun terlebih dahulu.

"Kalau lo-lo pada gak percaya, yuk ke rumah gue. Udah gue persiapkan satu per satu buat kalian."

"Maafin kami ya, Si. Lo emang sahabat terbaik. Lo gak saja baik, lo juga penyabar dan dewasa. Lo gak marah-marahin kami yang sudah mencuri dan buruk sangka sama lo," ucap Fitra.

"Iya, Ayang-Ayang gue... Lupakan saja. Yuk lah kita ke rumah. Kita makan rujak dulu. Baru kalian pulang dengan jatah masing-masing yang sudah gue bungkusin."

Uki tersenyum manis di balik perban matanya yang tetiba mulai membaik. Energi positif yang sedang terjadi ternyata mengalir secara kasat mata pada matanya. Mereka pun berjalan berpegangan tangan berlima menuju rumah Esi dengan bahagia.

Itulah MUCEF, sahabat yang terdiri dari tipikal yang berbeda-beda, karakter yang gak sama, namun ada cinta yang bersemai di antara mereka. Sehingga apa pun masalah yang ada, bisa diselesaikan dengan baik pula.

"Sahabat sejati itu adalah dia yang menasihatimu di saat kamu salah dan membelamu di saat kamu telah tiada". Bravo, MUCEF.

Solok, 12 Februari 2021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren....semua dapat bagian...

12 Feb
Balas

Iya, Buk. Esi memang baik. Hihihi

12 Feb

Wow, cerpen yang keren Bund. Sukses selalu dan barakallahu fiik

12 Feb
Balas

Luar biada tapacak tangih

12 Feb
Balas

Luar biada tapacak tangih

12 Feb
Balas



search

New Post